Skip to main content
728

Ukraina Sukses Permalukan Rusia setelah Gempur 41 Pesawat Moskow, Termasuk Bomber Nuklir | Sindonews

 Dunia Internasional, 

Ukraina Sukses Permalukan Rusia setelah Gempur 41 Pesawat Moskow, Termasuk Bomber Nuklir | Halaman Lengkap

Ukraina sukses mempermalukan Moskow dengan gelombang serangan drone menghantam 5 pangkalan udara Rusia. Sebanyak 41 pesawat, termasuk bomber nuklir, dihantam. Foto/Screenshot video Sky News

MOSKOW 

-

 Ukraina 

telah membombardir lima pangkalan udara

 Rusia 

dengan gelombang serangan drone pada hari Minggu. Serangan berani itu dianggap sukses mempermalukan Moskow karena menyasar 41 pesawat, termasuk pesawat pengebom (

bomber 

) nuklir.

Serangan dahsyat di bawah komando operasi khusus Dinas Keamanan Ukraina dengan nama sandi "Pavutyna" atau "Jaring Laba-laba". Operasi mengejutkan ini butuh perencanaan selama 18 bulan.

Kementerian Pertahanan Rusia mengakui lima pangkalan udaranya jadi target gelombang serangan drone FPV Ukraina.

"Hari ini [Minggu], rezim Kyiv melancarkan serangan teror dengan menggunakan pesawat nirawak FPV di lapangan udara di wilayah Murmansk, Irkutsk, Ivanovo, Ryazan, dan Amur. Semua serangan teror di lapangan udara militer di wilayah Ivanovo, Ryazan, dan Amur berhasil digagalkan. Tidak ada korban jiwa yang dilaporkan, baik dari kalangan prajurit maupun warga sipil. Beberapa dari mereka yang terlibat dalam serangan teror tersebut telah ditahan," kata Kementerian Pertahanan Rusia dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga: Ukraina Bombardir 5 Pangkalan Udara Rusia: Lebih dari 40 Pesawat Dihantam, Termasuk Bomber Nuklir

Pernyataan kementerian itu mengakui beberapa pesawat militer terbakar akibat serangan drone tersebut, namun tidak merinci jumlah dan jenisnya.

"Sebagai akibat dari peluncuran pesawat nirawak FPV dari wilayah yang dekat dengan lapangan udara militer di wilayah Murmansk dan Irkutsk, beberapa pesawat terbakar. Api berhasil dipadamkan," imbuh kementerian tersebut.

Menurut militer Ukraina, 41 pesawat Rusia telah rusak akibat operasi tersebut, termasuk pesawat pengebom strategis Tu-95 dan Tu-22 yang berkemampuan nuklir.

Di antara rentetan serangan tersebut adalah serangan terhadap unit militer di desa Sridni, serangan pertama di Siberia, yang dikonfirmasi oleh gubernur Rusia di wilayah Irkutsk.

Sejarawan Inggris Peter Frankopan, yang menulis di Substack, mencoba menyesuaikan peristiwa hari Minggu ke dalam konteks yang lebih luas. Dia menggambarkan serangan tersebut sebagai "kemunduran militer terbesar Rusia sejak Perang Dunia II."

"Ini adalah salah satu hari paling luar biasa dalam sejarah militer Rusia, dengan kerusakan yang lebih parah pada pertahanan Kremlin dalam satu hari dibandingkan selama Perang Dunia Kedua—jauh lebih parah daripada Pertempuran Bukit 3234 yang membawa bencana atau Serangan Panjshir selama invasi Soviet ke Afghanistan," tulis Frankopan, seraya menambahkan bahwa itu adalah "hari terpenting" dalam perang tersebut sejak Rusia melancarkan invasi pada Februari 2022.

"Ini merupakan kejutan dan rasa malu bagi militer Rusia. Namun, itu juga telah menghancurkan triad nuklirnya," katanya, seperti dikutip The Times, Senin (2/6/2025).

"Apa yang dicapai Ukraina tidak hanya mengesankan, tetapi juga mengubah permainan untuk perang—dan untuk status Rusia sebagai kekuatan nuklir."

"Industri pertahanan Rusia sudah kewalahan oleh tuntutan perang dan sanksi Barat yang berat, yang berarti Rusia menghadapi kekurangan komponen penting," paparnya.

“Membangun atau memperbaiki pesawat pengebom strategis melibatkan keterampilan dan fasilitas khusus, yang banyak di antaranya beroperasi dengan kapasitas terbatas," lanjut dia. “Dengan kata lain, ini adalah pukulan telak.”

Menurut pandangan Frankopan, target spesifik yang dihancurkan Ukraina sangat penting bagi kredibilitas Rusia sebagai negara berkekuatan nuklir.

“Ukraina telah melakukan lebih dari sekadar mempermalukan Rusia: pada kenyataannya, sulit untuk melebih-lebihkan kerusakan yang telah dilakukannya terhadap Rusia, arsitektur militernya, dan seluruh kemampuan pertahanan dan serangannya,” katanya.

“Pesawat pengebom Tu-95 dan Tu-22M3 adalah platform utama untuk meluncurkan rudal jelajah yang digunakan dalam misi konvensional dan nuklir," terangnya.

“Mereka merupakan bagian dari trad nuklir yang mendasar bagi negara adikuasa—yaitu mampu menyebarkan senjata nuklir di darat, di udara, dan di laut," imbuh dia.

Serangan tersebut, kata Frankopan, secara taktis brilian, signifikan secara militer untuk perang di Ukraina, tetapi juga memiliki konsekuensi bagi kemampuan Rusia yang lebih luas.

“Dan tentu saja, mereka juga mengirimkan pesan, yaitu peringatan kepada Moskow bahwa ilusi jarak tidak lagi menjadi jaminan keselamatan," katanya.

Dijulukui sebagai Pearl Harbour Rusia

Untuk mempersiapkan Operasi Jaring Laba-laba, Ukraina menyelundupkan ratusan pesawat nirawak yang mematikan melintasi perbatasan Rusia. Drone-drone tersebut, yang disembunyikan di kompartemen khusus di dalam truk pengangkut barang, kemudian dibawa ke beberapa lokasi yang terpisah ribuan kilometer satu sama lain. Drone-drone tersebut menembus hingga Siberia, sekitar 5.000 km dari Ibu Kota Ukraina, Kyiv.

Sasaran lainnya berada di Murmansk di Lingkaran Arktik, Ryazan di tenggara Moskow, dan Ivanovo di timur laut ibu kota Rusia.

Truk-truk tersebut melepaskan drone pada saat yang bersamaan, meluncurkannya ke pangkalan udara Rusia, tempat drone-drone tersebut menimbulkan kekacauan.

Tak lama kemudian, Dinas Keamanan Ukraina membanggakan bahwa Angkatan Udara Putin "terbakar secara massal".

Menurut militer Ukraina, 41 pesawat rusak atau pun hancur, termasuk pesawat pengebom Tu-95, yang membawa hingga delapan rudal Kh-101 dengan hulu ledak 400 kg dan jangkauan lebih dari 4.000 km. Ukraina merilis video pesawat-pesawat yang dihancurkan di landasan pacu.

“Hasil yang benar-benar brilian. Hasil yang dicapai hanya oleh Ukraina,” kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky setelah briefing dengan Jenderal Vasyl Maliuk, kepala Dinas Keamanan Ukraina.

“Satu tahun, enam bulan, dan sembilan hari dari awal perencanaan hingga pelaksanaan yang efektif. Operasi jarak jauh kami," paparnya.

“Tentu saja, tidak semuanya dapat diungkapkan saat ini, tetapi ini adalah tindakan Ukraina yang tidak diragukan lagi akan tercatat dalam buku sejarah. Ukraina membela diri, dan memang seharusnya begitu. Kami melakukan segalanya untuk membuat Rusia merasa perlu mengakhiri perang ini," lanjut Zelensky.

“Rusia memulai perang ini. Rusia harus mengakhirinya," tegasnya.

Dia menekankan, “Orang-orang kami yang terlibat dalam persiapan operasi berhasil keluar dari Rusia."

Analis militer tercengang oleh skala operasi Ukraina. “Tidak ada operasi intelijen di dunia yang pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya,” kata Serhii Kuzan, seorang pakar militer dan Ketua Pusat Keamanan dan Kerja Sama Ukraina saat ini.

“Pesawat pengebom strategis ini mampu meluncurkan serangan jarak jauh terhadap kami. Jumlahnya hanya 120 dan kami menyerang 40. Itu angka yang luar biasa.”

Pakar militer Ukraina lainnya, Oleksandr Kovalenko, mengatakan bahwa pesawat pengebom yang dimaksud tidak lagi diproduksi di Rusia, dan karena itu mungkin terbukti mustahil untuk diganti.

Di bidang politik, koresponden BBC; Svyatoslav Khomenko, mengingat percakapan baru-baru ini dengan seorang pejabat pemerintah Ukraina.

"Masalah terbesarnya adalah bahwa Amerika telah meyakinkan diri mereka sendiri bahwa kita telah kalah dalam perang ini. Dan dari asumsi itu, semua hal lainnya mengikuti," kata pejabat tersebut.

Perlu dicatat bahwa, menurut pejabat dari kedua negara, Ukraina tidak memperingatkan Amerika Serikat sebelum meluncurkan operasi.

Suara-suara terkemuka Ukraina mengaitkannya secara langsung dengan sikap pemerintahan Presiden AS Donald Trump, yang telah mendorong Zelensky untuk mencari kesepakatan damai, yang mungkin dengan persyaratan yang tidak menguntungkan.

“Inilah yang terjadi ketika sebuah negara yang sombong dan diserang tidak mendengarkan semua itu: ‘Ukraina hanya punya waktu enam bulan lagi'. ‘Anda tidak punya kartu'. ‘Menyerah saja demi perdamaian, Rusia tidak akan kalah',” kata jurnalis Illia Ponomarenko.

Salah satu kutipan itu merujuk langsung pada kata-kata Donald Trump selama pidatonya yang terkenal dalam konfrontasi di Oval Office dengan Zelensky.

Waktu serangan juga mencolok, mengingat serangan itu terjadi sebelum perundingan perdamaian awal antara perwakilan Ukraina dan Rusia di Turki.

Pesan Ukraina, bahwa mereka mampu menyerang jauh di dalam Rusia, dapat dirancang untuk memberinya lebih banyak pengaruh dalam negosiasi tersebut.

Phillips O'Brien, profesor studi strategis di Universitas St Andrews di Inggris dan analis terkemuka konflik tersebut, menyebut serangan itu sebagai "operasi perang yang paling luar biasa dan sukses".

"Ini merupakan pukulan besar bagi kekuatan udara strategis Rusia, yang sulit untuk dilebih-lebihkan. Kami tidak tahu seperti apa reaksi Rusia nantinya. Namun, kami dapat berasumsi bahwa itu akan menjadi kekerasan," katanya.

Rybar, akun di platform pesan Telegram yang dekat dengan militer Rusia, menyebutnya sebagai "pukulan yang sangat berat" bagi Moskow dan menunjuk pada apa yang disebutnya sebagai "kesalahan serius" oleh intelijen Rusia.

Beberapa blogger militer pro-Rusia menggambarkan serangan itu sebagai "Pearl Harbour Rusia".

Pemerintahan Trump tidak mengetahui serangan pesawat nirawak itu sebelum terjadi, kata pejabat AS dan Ukraina kepada Axios.

(mas)

Posting Komentar

0 Komentar

728