Lebih 50 Negara Antre Gabung BRICS, Ancam Kekuasaan AS di Panggung Global | SINDONEWS
Dunia Internasional,
Lebih 50 Negara Antre Gabung BRICS, Ancam Kekuasaan AS di Panggung Global | Halaman Lengkap
Rangkaian KTT BRICS Plus 2024 di Kazan, Rusia pada 22-24 Oktober 2024. Menlu RI Sugiono tengah belakang dalam sebuah sesi foto bersama. FOTO/AP
- BRICS kian mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan ekonomi global. Hingga Agustus 2025, lebih dari 50 negara menyatakan minat untuk bergabung dengan aliansi ini. Dari jumlah itu, 23 negara telah mengajukan permohonan resmi, sementara 28 negara lainnya menyampaikan ketertarikan secara informal.
Vietnam menjadi negara terbaru yang menunjukkan minat bergabung. Kehadiran negara ini menambah panjang daftar calon anggota, sekaligus menegaskan meluasnya pengaruh BRICS yang kini menjangkau hampir seluruh kawasan dunia.
Saat ini, BRICS telah berkembang menjadi aliansi yang terdiri dari 11 anggota penuh, termasuk Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Iran yang baru bergabung. Dengan ekspansi ini, BRICS kini mewakili hampir setengah populasi global dan lebih dari 41 persen produk domestik bruto (PDB) dunia.
Baca Juga: BRICS Dilanda Isu Skandal Korupsi Elite, Para Pemimpinnya Sembunyikan Miliaran Dolar di Bank Swiss
Selain anggota penuh, BRICS juga memiliki negara mitra yang menjalin kemitraan strategis, antara lain Belarus, Bolivia, Kuba, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Uganda, dan Uzbekistan. Skema ini menunjukkan fleksibilitas BRICS dalam memperluas pengaruh tanpa mengharuskan keanggotaan penuh.
Fenomena menarik muncul di Eropa. Meski menghadapi tekanan dari Barat, beberapa negara di kawasan tersebut tetap aktif mendekati BRICS. Belarus, Serbia, dan Turki tercatat sebagai negara yang paling vokal. Belarus mencari alternatif ekonomi untuk mengatasi sanksi Barat, sementara Turki, meski anggota NATO, secara terbuka menyatakan ketertarikan pada BRICS. Serbia bahkan menjadi negara Eropa pertama yang mengungkapkan minat tersebut.
Dari Asia dan Afrika, daftar negara yang ingin masuk ke BRICS terus bertambah. Negara-negara seperti Azerbaijan, Bangladesh, Kamboja, Pakistan, Sri Lanka, Suriah, Venezuela, Zimbabwe, hingga Palestina menyatakan ketertarikan. Fenomena ini menandakan bahwa banyak negara tengah mencari alternatif dari sistem keuangan global yang didominasi dolar AS.
Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva menilai perkembangan ini sebagai perubahan besar dalam tatanan geopolitik. "Kita menyaksikan keruntuhan multilateralisme yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Lula, dikutip dari Watcher Guru, Kamis (28/8).
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump justru mengecilkan pengaruh BRICS. Dalam pernyataannya, Trump menyebut "BRICS sudah mati," sambil mengancam akan mengenakan tarif hingga 100 persen terhadap negara-negara yang mendukung ekspansi blok tersebut.
Namun, ancaman tersebut tampaknya tidak menghalangi ketertarikan negara-negara lain. Dorongan kuat datang dari China, Rusia, dan Iran yang mendesak ekspansi lebih cepat. Mereka menilai semakin banyak negara yang bergabung, semakin besar kekuatan BRICS dalam membentuk tatanan ekonomi global yang baru.
Baca Juga: 8 Efek Mata Uang Baru BRICS terhadap Dollar AS jika Sudah Berlaku
KTT BRICS yang akan digelar di Rio de Janeiro pada akhir 2025 diperkirakan menjadi momen penting dalam menentukan anggota baru. Namun, proses konsensus di antara anggota kerap menjadi tantangan, mengingat perbedaan pandangan soal kecepatan ekspansi.
Ekspansi besar-besaran ini menandai transformasi global yang signifikan. BRICS bukan lagi sekadar aliansi ekonomi, melainkan simbol pergeseran kekuasaan global yang mengancam dominasi lama Barat, terutama Amerika Serikat.
Perubahan ini akan menentukan arah hubungan internasional beberapa dekade ke depan. Dengan semakin banyak negara yang mencari kedaulatan ekonomi dan politik, BRICS dipandang sebagai jalur baru menuju tatanan dunia multipolar.
(nng)