Siapa Pembuat Film Animasi Merah Putih One For All yang Tuai Kontroversi? - suara
Siapa Pembuat Film Animasi Merah Putih One For All yang Tuai Kontroversi?

Kolase foto film animasi kontroversial Merah Putih One For All. [Suara.com]
Suara.com - Film animasi yang dimaksudkan untuk merayakan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, berjudul Merah Putih One For All, menuai kritik dan cemoohan meski baru dirilis dalam bentuk trailer di platform YouTube, Jumat (8/8/2025).
Lalu, timbul pertanyaan dari publik, siapa pembuat film animasi ini?
Dijadwalkan tayang serentak di bioskop pada 14 Agustus 2025, film ini ternyata diproduksi oleh Perfiki Kreasindo.
Namun, siapa saja yang duduk di struktur manajerial Perfiki Kreasindo tak bisa diketahui, lantaran tak terdapat satu pun informasi di mesin peramban Google.
Ada satu laman yang merujuk pada Perfiki Kreasindo, yakni perfiki.com.
Tapi, ketika Suara.com mau mengakses laman itu. Hanya ada tulisan "403 forbiden" saja.
Baca juga: Acha Septriasa, Ternyata Hidup dengan Satu Ginjal Sejak Lahir

ini mengusung misi mulia untuk menyebarkan semangat persatuan melalui petualangan seru delapan anak dari berbagai suku di Indonesia.
Berdasarkan sinopsis resmi yang beredar, Merah Putih One For All menyajikan premis yang patriotik.
Baca Juga: 7 Fakta Viral Film Kartun Merah Putih One For All Banjir Dikritik, Kalah Jauh dari Jumbo?

Sinopsis
Film ini berpusat pada sekelompok anak yang tergabung dalam Tim Merah Putih.
Mereka mengemban tugas mulia untuk menjaga bendera pusaka yang akan dikibarkan pada upacara kemerdekaan.
Konflik dimulai ketika bendera tersebut hilang secara misterius, tiga hari sebelum hari H.
Kedelapan anak pemberani ini pun harus memulai petualangan berbahaya, menyusuri hutan lebat, menyeberangi sungai deras.
tak hanya itu, mereka juga menghadapi badai demi menemukan kembali sang saka dan memastikan bendera itu berkibar di hari yang bersejarah.
Misi mereka bukan hanya sekadar pencarian fisik, tetapi juga perjalanan untuk mengatasi perbedaan latar belakang, ego, dan pandangan masing-masing.
Tentu saja itu narasi yang relevan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, terutama dalam menyambut momen bersejarah bangsa.
Meskipun ide ceritanya dianggap positif dan relevan, eksekusinya dinilai belum maksimal oleh sebagian warganet.
Baca juga: Demi Cinta, Vincent Verhaag Resmi Tinggalkan Kewarganegaraan...
Panen kritik
Kritik terutama datang dari aspek visual dan kualitas animasi yang ditampilkan dalam trailer.
Di tengah industri animasi lokal yang sedang menunjukkan geliat pertumbuhan pesat, ekspektasi penonton kini semakin tinggi.
Standar baru ini salah satunya ditetapkan oleh film Jumbo yang rilis beberapa waktu sebelumnya.
Kekecewaan ini terekam jelas dalam berbagai komentar di media sosial.
Seorang pengguna platform X (sebelumnya Twitter) dengan lugas membandingkannya dengan karya sebelumnya, “Umm... Didn't we just had Jumbo few months ago?” tulisnya.
Komentar ini mewakili sentimen banyak penonton yang merasa ada penurunan kualitas jika dibandingkan dengan standar yang telah dicapai industri.
Perbandingan dengan Jumbo memang tak terhindarkan. Film arahan sutradara Ryan Adriandhy tersebut dianggap berhasil membawa angin segar dan menetapkan tolok ukur baru bagi animasi Indonesia.
Dengan dukungan lebih dari 400 kreator, Jumbo memukau dari segi visual yang halus dan penuh warna.
Tak hanya itu, Jumbo juga menyajikan cerita universal tentang persahabatan, keluarga, dan empati yang mampu menyentuh penonton dari segala usia.
Kesuksesan Jumbo menjadi bukti bahwa film animasi Indonesia mampu bersaing, baik dari segi teknis maupun kedalaman narasi, dan secara tidak langsung membentuk ekspektasi baru di benak penonton.
Fenomena ini menyoroti dinamika menarik dalam industri kreatif Tanah Air.
Pertumbuhan industri animasi Indonesia sendiri menunjukkan tren yang sangat positif.
Dalam kurun waktu 2015-2019 saja, industri ini tumbuh hingga 153 persen.
Dengan lebih dari 120 studio animasi yang tersebar di seluruh negeri per 2020, potensi Indonesia untuk menjadi pemain besar di pasar global semakin terbuka.
Banyak animator Indonesia bahkan telah sukses di kancah internasional, terlibat dalam proyek-proyek besar dunia.
Kritik terhadap Merah Putih One For All bisa jadi merupakan "efek samping" dari kemajuan ini, di mana audiens yang semakin teredukasi kini menuntut kualitas yang konsisten dari setiap karya yang dirilis.