Tunjangan Rumah DPR Rp50 Juta, tapi Rakyat Sulit Punya Hunian - Tirto
Tunjangan Rumah DPR Rp50 Juta, tapi Rakyat Sulit Punya Hunian
tirto.id - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dikabarkan menerima tunjangan rumah yang nilainya mencapai Rp50 juta per bulan. Informasi ini kembali menyeruak di tengah isu adanya kenaikan gaji anggota DPR menjadi Rp3 juta per hari atau Rp90 juta per bulan.
Meski isu soal kenaikan gaji ini kemudian dibantah oleh Ketua DPR Puan Maharani, ia menyebut tak ada kenaikan gaji bagi anggota DPR. Namun, Puan tak menampik adanya pemberian tambahan kompensasi, yang merupakan pengganti dari dihilangkannya rumah jabatan untuk para wakil rakyat yang baru menjabat.
"Enggak ada kenaikan (gaji), hanya sekarang DPR sudah tidak mendapatkan rumah jabatan, namun diganti dengan kompensasi uang rumah. Itu saja. Karena rumahnya sudah dikembalikan ke pemerintah. Itu saja," kata Puan Maharani saat ditemui di Istana Merdeka, seperti dikutip Antara, Minggu (17/8/2025).
Tak Sensitif Prioritas Kepentingan Publik
Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, menilai kebijakan tunjangan rumah bagi anggota DPR tidak mencerminkan prioritas kepentingan publik, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang tengah lesu. Ia menyebut kebijakan ini lebih mengutamakan kenyamanan pribadi anggota legislatif dibanding kebutuhan rakyat.
“Kebijakan pemberian tunjangan rumah dinas tampak kurang mendesak dan relevan dibandingkan alternatif memperbaiki rumah dinas yang sudah ada dengan pengelolaan yang transparan dan akuntabel,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (19/8/2025).
Terpisah, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan menilai di tengah sulitnya masyarakat mendapatkan akses terhadap hunian layak, serta janji program pembangunan tiga juta rumah rakyat yang masih terseok-seok realisasinya, pemberian tunjangan rumah kepada anggota DPR mencederai rasa keadilan publik.

FITRA mencatat bahwa saat ini anggota DPR telah menerima berbagai jenis tunjangan, di luar gaji pokok yang tercatat sebesar Rp4,2 juta. Antara lain, tunjangan suami-istri, tunjangan anak, uang sidang, tunjangan jabatan, tunjangan beras, PPh 21, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, hingga bantuan listrik, telepon, dan asisten pribadi. Jika dijumlahkan, nilai tunjangan yang diterima anggota DPR bisa mencapai sekitar Rp54 juta per bulan.
“Jadi menurut saya ketika kemudian anggota DPR ini masih mendapatkan tunjangan rumah Rp50.000.000, saya rasa ini mencederai rasa keadilan masyarakat yang bahkan untuk mendapatkan rumah layak saja masih sulit,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (19/8/2025).
Surat Edaran (SE) Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015 mengatur gaji pokok dan tunjangan anggota DPR RI.
Tunjangan istri misalnya, besarannya adalah 10 persen gaji, atau sekitar Rp420 ribu rupiah. Sementara, tunjangan jabatan bervariasi berdasarkan jabatan mulai dari Rp9,7 juta (anggota DPR) sampai Rp18,9 juta (Ketua DPR). Ada juga tunjangan kehormatan yang jumlahnya Rp5,58 juta. Selain itu, ada juga penerimaan selain gaji dan tunjangan yang di antaranya mencakup bantuan listrik dan telepon senilai Rp7,7 juta dan asisten anggota Rp2,25 juta.
Jika ditotal dari gaji dan tunjangan, serta bantuan yang diterima anggota atau pimpinan DPR, totalnya dapat mencapai Rp50 juta per bulan. Ini masih ditambah dengan tunjangan rumah bulanan sebagai penggantian rumah dinas yang berkisar dikabarkan mencapai Rp50 juta per bulan.
Alasan Pemberian Tunjangan Rumah DPR
Seperti yang diketahui, anggota DPR RI periode 2024-2029 tak lagi mendapatkan rumah jabatan anggota (RJA), sebagaimana termaktub dalam surat Nomor B/733/RT.01/09/2024 yang diteken Sekretariat Jenderal. Surat itu diterbitkan pada 25 September 2024. Sebagai gantinya, anggota dewan bakal mendapat uang tunjangan untuk perumahan setiap bulan.
Sekretaris Jenderal DPR-RI, Indra Iskandar, menyebut besaran anggaran rumah jabatan anggota DPR sekitar Rp50 juta per bulan (setelah pajak), ditetapkan melalui mekanisme administrasi formal dengan Kementerian Keuangan. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Pimpinan DPR RI periode 2019–2024, dan diberlakukan bagi anggota DPR periode 2024–2029.
“Nilai ini ditetapkan berdasarkan kajian dengan salah satu benchmark-nya, yaitu tunjangan perumahan bagi Anggota DPRD DKI Jakarta,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (19/8/2025).

Indra menjelaskan bahwa kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR RI ini merupakan bentuk kompensasi atas tidak lagi disediakannya rumah jabatan anggota, terutama yang terletak di Kalibata, Jakarta. Menurut Indra, kondisi fisik rumah jabatan di Kalibata yang sudah hampir berusia 40 tahun (dibangun sejak 1988), saat ini sudah tidak layak huni dan tidak ekonomis untuk dipertahankan.
“Karena biaya pemeliharaan selama ini tidak sepadan. Kami (Setjen DPR-RI) banyak menerima keluhan dari Anggota DPR RI terkait dengan bangunan yang sudah berusia tua dan sering mengalami kerusakan yang cukup parah. Terutama bocoran dan air hujan dari sungai yg melintasi tengah-tengah perumahan juga,” ujarnya.
Indra menjelaskan bahwa revitalisasi total RJA membutuhkan anggaran sangat besar, sementara biaya pemeliharaan rutin dianggap tidak sebanding dengan manfaatnya. Dengan alasan efisiensi anggaran, rencana pemindahan Ibu Kota, serta keterbatasan lahan untuk penambahan unit, seiring bertambahnya jumlah anggota, maka diputuskan untuk mengalihkan skema penyediaan rumah jabatan menjadi tunjangan perumahan.
“Kami menilai bahwa untuk melakukan revitalisasi RJA secara menyeluruh dibutuhkan anggaran yang sangat besar. Biaya pemeliharaan rutin juga dianggap tidak lagi seimbang dengan manfaat yang didapat,” ujarnya.
Indra menekankan bahwa sejak diterapkan, tunjangan ini belum pernah mengalami kenaikan. Gaji pokok dan penghasilan anggota DPR RI pun masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 dan Surat Edaran Sekretariat Jenderal Nomor 9414 Tahun 2010. Oleh karena itu, isu yang menyebutkan adanya kenaikan gaji anggota DPR pada tahun 2025 dinyatakan tidak benar.
“Mekanisme penyerahan rumah jabatan Kalibata masih terus dikoordinasikan dengan Kemenkeu dan juga Setneg. Dan mulai tahun 2025, Setjend DPR tidak lagi menganggarkan apapun untuk pemeliharaan Kalibata,” ujarnya.
Pemborosan Anggaran?
Arif dari IPC mempertanyakan pernyataan Sekjen DPR RI Indra Iskandar yang menyebut bahwa RJA di Kalibata sudah tidak layak huni karena usia bangunan dan biaya perawatan yang tinggi. Ia menegaskan bahwa berdasarkan laporan yang ada, sekitar 45 persen dari total 596 unit rumah dinas masih berada dalam kondisi layak huni.
“Dan ada perencanaan perawatan dengan anggaran Rp374,53 miliar untuk periode 2019–2024, termasuk Rp35,8 miliar untuk pemeliharaan mekanikal elektrikal dan plumbing pada 2024,” ujarnya.
Dalam pandangan IPC, perbaikan rumah dinas dengan proses pengadaan yang transparan dan akuntabel akan lebih menghemat anggaran dibandingkan memberikan tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan untuk 580 anggota DPR selama lima tahun masa jabatan. Selain itu, mempertahankan rumah dinas menghindarkan potensi penyalahgunaan tunjangan.

“Mengingat banyak anggota DPR dari daerah kesulitan mencari hunian di dekat Senayan dengan harga terjangkau, memperbaiki rumah dinas yang ada lebih masuk akal daripada memberikan tunjangan yang berpotensi tidak digunakan untuk keperluan perumahan,” ujarnya.
Merujuk simulasi ICW, apabila anggota DPR RI mendapatkan tunjangan sebesar Rp50-70 juta per bulan, maka diperkirakan ada pemborosan anggaran sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan.
Perhitungan tersebut didapatkan dari pengurangan antara tunjangan yang didapatkan oleh anggota DPR selama lima tahun dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki RJA menggunakan mekanisme pengadaan.
Arif dari IPC menilai, alokasi anggaran sebesar Rp1,36 triliun-Rp2,06 triliun untuk tunjangan perumahan DPR sulit dibenarkan jika dibandingkan dengan kebutuhan mendesak masyarakat, terutama terkait backlog perumahan. Dana tersebut akan memberikan dampak yang jauh lebih besar jika dialokasikan untuk program perumahan rakyat.
“Kebijakan ini juga memperlebar kesenjangan antara elite politik dan rakyat, karena menunjukkan prioritas pada kesejahteraan anggota DPR ketimbang rakyat yang mereka wakili. Selain itu, potensi penyalahgunaan dana tunjangan, seperti yang disoroti ICW, menambah alasan mengapa kebijakan ini tidak layak,” ujarnya.
Rawan Penyimpangan
Sementara itu, Misbah Hasan dari FITRA mempertanyakan akuntabilitas mekanisme pengawasan dari tunjangan rumah yang diberikan ke anggota DPR. Misbah menilai, karena diberikan dalam bentuk uang tunai langsung ke rekening pribadi, potensi penyalahgunaan sangat besar, sebab tidak ada mekanisme pengawasan maupun pelaporan yang mengikat.
“Karena ini kan dana dari APBN yang itu sumbangan dari pajak masyarakat. Nah, ini kan tidak terkontrol. Bisa jadi itu nanti digunakan untuk kepentingan pribadi, karena sudah masuk dalam bentuk uang ke rekening masing-masing. Itu kayak semacam tambahan gaji saja,” ujarnya.
Misbah mendorong agar DPR segera membangun sistem kontrol yang ketat jika kebijakan ini tetap dijalankan. Ia mengusulkan adanya sistem earmarking, yakni penandaan dan pengkhususan penggunaan dana hanya untuk kebutuhan tempat tinggal, serta kewajiban pelaporan yang rinci dan terbuka kepada publik.
Ia juga mendorong DPR membuat dashboard anggaran sebagai bagian dari komitmen open parliament, agar masyarakat bisa mengakses informasi mengenai seluruh tunjangan yang diterima anggota dewan dan bagaimana dana tersebut digunakan.
“Meskipun nomenklaturnya itu uang tunjangan untuk kompensasi rumah DPR misalnya, tapi kan kalau dalam bentuk uang itu bisa digunakan untuk apa saja oleh anggota DPR. Nah, makanya saya rasa tadi yang pertama perlu earmaking, jadi penggunaannya itu memang digunakan untuk kebutuhan rumah mereka,” ujarnya.

Melihat kondisi saat ini, Misbah mengusulkan akan lebih baik kebijakan tunjangan rumah dihentikan atau direvisi, dan anggarannya dialihkan untuk membiayai pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
“Kalau melihat potret profil dari seluruh anggota DPR saat ini itu memang sudah memiliki rumah pribadi masing-masing, bahkan lebih dari satu gitu. Jadi, menurut saya sangat tidak layak ketika kemudian anggota DPR ini masih diberi rumah jabatan, ataupun tunjangan dalam bentuk uang,” ujarnya.
Pemberian Tunjangan Rumah Harus Selektif dan Transparan
Arif dari IPC menilai, jika tunjangan rumah tetap dianggap perlu, ia mengusulkan pemberiannya harus dilakukan secara selektif. Tunjangan sebaiknya hanya diberikan kepada anggota DPR yang benar-benar tidak memiliki tempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya.
“Tunjangan juga tidak diberikan ganda kepada anggota keluarga yang sama, misalnya suami/istri atau anak yang keduanya menjabat sebagai anggota DPR. Hal ini akan mengurangi pemborosan dan memastikan dana digunakan untuk kebutuhan riil” ujarnya.
Selain itu, senada dengan usulan FITRA, ia menyebut diperlukan mekanisme transparansi dan pengawasan yang ketat dalam penggunaan dana tunjangan tersebut. Tunjangan tidak boleh hanya ditransfer ke rekening pribadi tanpa adanya bentuk pertanggungjawaban yang jelas.
Dalam hal ini, ia mencontohkan, penerima tunjangan harus diwajibkan melaporkan bukti sewa rumah atau dokumen pembayaran cicilan. Dengan sistem pengawasan yang ketat, penggunaan dana publik dapat dipertanggungjawabkan secara lebih terbuka kepada masyarakat.
Terakhir, Arif menyebut DPR harus kembali menempatkan kebutuhan publik sebagai prioritas utama. Menurutnya, daripada mengalokasikan dana besar untuk kenyamanan pribadi para pejabat, akan jauh lebih bijak jika anggaran tersebut dialihkan untuk mendukung program perumahan rakyat.
“Anggaran yang besar sebaiknya dialihkan untuk mendukung program perumahan rakyat, seperti pembangunan rumah subsidi atau renovasi rumah tidak layak huni, sesuai dengan kebutuhan 9,9–12 juta keluarga yang belum memiliki rumah,” ujarnya.
tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty