Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Dunia Internasional Featured Nepal

    Diduga akan Kembali Berkuasa, Kerajaan Nepal Runtuh Usai Pangeran Bantai Keluarga Sendiri - Nationalgeographic

    7 min read

     

    Diduga akan Kembali Berkuasa, Kerajaan Nepal Runtuh Usai Pangeran Bantai Keluarga Sendiri

    Kamis, 11 September 2025 | 08:03 WIB

    Penulis:

    Keluarga kerajaan Nepal.

    Nationalgeographic.co.id—Gejolak politik kembali mengguncang Nepal. Di tengah tuntutan untuk kembali ke sistem monarki, sebagian masyarakat Nepal tampaknya merindukan stabilitas yang pernah ada di bawah kepemimpinan raja. Perasaan ini diperkuat oleh kegagalan pemerintah saat ini dalam menangani korupsi dan krisis ekonomi.

    Namun, ingatan kolektif masyarakat Nepal juga tidak bisa melupakan sebuah peristiwa tragis yang 24 tahun lalu mengakhiri kekuasaan dinasti kerajaan. Malam itu, di sebuah istana, takdir sebuah negara berubah selamanya di tangan seorang pangeran yang membantai keluarganya sendiri.

    Mungkinkah keinginan untuk mengembalikan monarki merupakan sebuah kesalahan sejarah, dan mengapa sebuah dinasti yang telah berkuasa selama 240 tahun berakhir dengan cara yang begitu mengerikan?

    Pembantaian Keluarga Kerajaan Nepal

    Jumat malam, 1 Juni 2001, seperti dipaparkan Stephanie Jelks di laman The Collector, seharusnya menjadi malam yang biasa di Istana Narayanhiti, Kathmandu. Keluarga kerajaan Nepal berkumpul untuk makan malam rutin dua kali sebulan.

    Raja Birendra, Ratu Aishwarya, dan ketiga anak mereka—Putra Mahkota Dipendra, Putri Sruti, dan Pangeran Nirajan—hadir. Paman Dipendra, Pangeran Gyanendra, tidak ada, tetapi istri dan anak-anaknya datang.

    Suasana santai di ruang biliar itu berubah menjadi petaka ketika Putra Mahkota Dipendra, yang tampak mabuk dan mengisap ganja, terlibat cekcok. Ia kemudian diantar ke kamarnya. Dari sana, Dipendra menelepon pacarnya, Devyani Rana, sebanyak tiga kali.

    Dalam panggilan terakhir, ia hanya mengatakan akan pergi tidur. Namun, bukannya beristirahat, Dipendra justru kembali ke ruang biliar, mengenakan seragam militer dan membawa tiga senjata api, termasuk senapan serbu M16.

    Seorang ajudan melihatnya, tetapi tidak curiga, sebab Dipendra memang dikenal sebagai kolektor senjata. Tanpa peringatan, ia melepaskan tembakan pertamanya ke arah ayahnya, Raja Birendra. Kepanikan pecah. Ajudan istana mencoba mendobrak pintu kaca, tetapi penembakan terus berlanjut.

    Dipendra terus membantai anggota keluarganya, mencari ibunya, sang Ratu, di taman. "Jangan lakukan itu, kumohon. Bunuh aku saja jika kau mau," Pangeran Nirajan, adiknya, memohon. Tetapi Dipendra menembak Nirajan, lalu membunuh ibunya. Setelah menewaskan sembilan orang dan melukai empat lainnya, ia menembak dan melukai pamannya sebelum akhirnya mengarahkan senjata ke dirinya sendiri.

    Ajaibnya, Dipendra selamat, meski koma. Ia dinyatakan sebagai raja baru, tetapi tak pernah sadar kembali. Saat ia meninggal tiga hari kemudian, pada 4 Juni 2001, pamannya, Gyanendra, yang tidak hadir pada malam itu, naik takhta sebagai Raja Nepal terakhir.

    Siapa Sebenarnya Putra Mahkota Dipendra?

    Lahir pada 27 Juni 1971, Dipendra memiliki kehidupan yang penuh kontradiksi. Di mata publik ia adalah sosok pangeran yang cakap dan dicintai. Namun di balik tembok istana, ia dikenal sebagai pribadi yang temperamental, bahkan sadistik, jika merasa diabaikan orang tuanya.

    Seorang ajudan kerajaan yang telah bertugas selama 26 tahun di istana mengatakan, "Sejak awal, dia mungkin tidak mendapatkan cinta yang seharusnya ia dapatkan sebagai anak. Itulah keyakinan saya."

    Sejak usia delapan tahun, Dipendra sudah memiliki ketertarikan ekstrem pada senjata. Ia bahkan sering mencuri senjata dari tentara. Staf istana terbiasa dengan suara tembakan yang rutin ia lakukan berjam-jam setiap hari. Kamarnya sering dipenuhi senjata yang sudah terisi peluru, seolah itu hanya bagian dari pakaian.

    Selain kegilaannya pada senjata, Dipendra juga terperangkap dalam dilema cinta. Sejak remaja, ia jatuh cinta pada sepupu keduanya, tetapi cintanya ditolak oleh ibunya. Saat bersekolah di Inggris, ia bertemu Devyani Rana, seorang gadis dari keluarga terkaya di Nepal.

    Bagi Dipendra, itu adalah cinta pada pandangan pertama, tetapi lagi-lagi, keluarganya menolak hubungan tersebut. Alasannya, kasta Devyani dianggap lebih rendah dari keluarga kerajaan dan pernikahannya bisa menodai kemurnian dinasti. Raja Birendra bahkan mengancam akan mencopot status putra mahkota Dipendra jika ia tetap bersikeras menikahi Devyani.

    Menjelang ulang tahunnya yang ke-30, Dipendra berada di bawah tekanan besar untuk menikah dengan salah satu dari dua gadis pilihan keluarganya.

    Sebuah artikel berita pada akhir Mei 2001 mempertanyakan mengapa ia masih belum menikah dan apakah masa depannya sebagai pewaris takhta terancam, mencatat bahwa ia bisa menjadi anggota keluarga kerajaan Nepal pertama yang mendekati usia 30 tanpa menikah. Dipendra tampaknya telah membuat keputusan: ia tidak akan menikah kecuali dengan wanita yang dicintainya.

    Pergolakan Politik yang Menjadi Pemicu Lain

    Selain masalah asmara, politik juga menjadi faktor krusial. Sejak awal 1959, Nepal berada di bawah sistem politik tanpa partai yang dikelola secara otoriter oleh kakek Dipendra, Raja Mahendra. Ayah Dipendra, Raja Birendra, mencoba melakukan reformasi pada 1980-an, tetapi tidak cukup untuk meredam kebencian publik.

    Pada 1989, gerakan rakyat, yang dikenal sebagai Gerakan Rakyat 1990, bangkit menuntut demokrasi multipartai. Protes massal pecah, yang dihadapi dengan kekerasan oleh pemerintah.

    Demonstran tewas ditembak, ratusan ditangkap, tetapi gerakan tidak surut. Pada April 1990, ratusan ribu orang memprotes monarki di Kathmandu. Akhirnya, Raja Birendra terpaksa mencabut larangan partai politik dan melepaskan kekuasaan absolutnya. Monarki otoriter Nepal berubah menjadi monarki konstitusional.

    Namun, reformasi ini dianggap tidak cukup, dan memicu Perang Saudara Nepal (1996–2006) antara pemerintah kerajaan dan Partai Komunis Nepal. Konflik ini masih berlangsung saat pembantaian terjadi.

    Beberapa pihak berpendapat bahwa Dipendra merasa ayahnya telah terlalu banyak menyerahkan kekuasaan pasca-1990, dan kekacauan Perang Saudara menjadi bukti bahwa monarki tidak lagi dapat mengembalikan stabilitas. Kemarahan ini, ditambah dengan penolakan orang tuanya terhadap Devyani, menjadi dua alasan utama yang diyakini memicu tragedi mengerikan itu.

    Misteri dan Akhir Sebuah Dinasti

    Pasca-pembantaian, rakyat Nepal sulit menerima penjelasan resmi. Pada 4 Juni, Raja Gyanendra, yang kini naik takhta, menyatakan kematian itu akibat "tembakan tidak sengaja dari senjata otomatis."

    Pernyataan ini menuai kecurigaan. Kathmandu diberlakukan jam malam, tetapi kerusuhan meletus, menewaskan tiga demonstran. Sebuah investigasi singkat dilakukan, dan pada 14 Juni, laporan menyalahkan sepenuhnya Dipendra.

    Namun, laporan ini tidak memuaskan publik, karena tidak menyertakan rincian penting seperti laporan toksikologi atau autopsi. Tawaran bantuan dari Scotland Yard ditolak, semakin menguatkan dugaan adanya konspirasi. Banyak warga Nepal tak percaya Dipendra tega membunuh orang tuanya sendiri.

    Pemerintahan Raja Gyanendra dimulai dengan buruk. Ia tidak memiliki dukungan publik seperti kakaknya. Antara 2002 dan 2005, Gyanendra memberhentikan beberapa perdana menteri dan mengambil alih kekuasaan sebagai penguasa absolut pada Februari 2005, menjanjikan kembalinya "perdamaian dan demokrasi yang efektif." Namun, ia justru menekan perbedaan pendapat dan membatasi kebebasan sipil.

    Pada April 2006, protes massal kembali pecah. Ratusan ribu demonstran berbaris menentang pemerintahan langsung Gyanendra. Menghadapi tekanan ini, Gyanendra mengaktifkan kembali Parlemen Nepal yang telah ia bubarkan. Pada 18 Mei, Parlemen baru mencopot sebagian besar kekuasaannya. Gyanendra bertahan sebagai figur kepala negara selama dua tahun lagi.

    Pada 28 Mei 2008, Nepal mendeklarasikan diri sebagai republik demokratis federal dan monarki Nepal dihapuskan. Tragedi pembantaian keluarga kerajaan pada 2001, yang merupakan pembantaian bangsawan terburuk sejak eksekusi Romanov di Rusia pada 1918, secara tidak langsung menjadi pemicu utama berakhirnya monarki Nepal.

    ---Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.

    Loading video
    Komentar
    Additional JS