Indonesia Makin Tak Terbendung dalam Memimpin Superioritas Udara ASEAN, Setelah Malaysia Makin Keteteran dengan FA/18-Hornetnya - Zona Jakarta
Indonesia akan akan semakin menjadi kekuatan udara ASEAN yang sulit disaingi tetangganya.
Malaysia yang selama ini menjadi pesaing ketat Indoneia, kini semakin keteteran dalam upaya memodernisasi angkatan udaranya.
Sementara tetangga lain, Filipina, juka masih terjepit dilema antara memilih F-16 buatan Amerika Serikat (AS) aau Saab Gripen buatan Swedia.
Hanya Thailand yang tampak makin maju dalam pengadaan pesawat Saab Gripen dan akan menambah empat unit lagi.
Namun, secara umum Indonesia tetap akan menjadi kekuatan udara di kawasan ASEAN.
Wajar jika eurasiantimes.com menyebut Indonesia bahkan bakal masuk ke jajaran papan atas dalam kekuatan militernya di kawasan Asia Timur Laut.
Apalagi, Indonesia tidak hanya memodernisasi angkatan udaranya, tapi juga angkatan darat dan laut.
Satu negara ASEAN yang sementara ini unggul dalam modernitas angkatan udara adalah Singapura.
Negara pulau itu sudah memesan 12 pesawat generasi kelima F-35 dari Lockhee Martin, AS, dan masih akan menambah 8 unit lagi.
Sehingga, Singapura akan mengoperasikan 20 pesawat F-35 yang dinilai tercanggih di dunia.
Namun, Indonesia juga sudah menandatangani kerja sama dengan Turki untuk mendatangkan 48 jet tempur KAAN.
Pesawat generasi kelima buatan Turki itu dinilai akan menjadi pesaing berat F-35.
Selain itu, Indonesia juga sudah memastikan mengakuisisi 42 pesawat tempur generasi 4,5 Rafale dari Prancis dan sudah mulai dikirimkan pada awal 2026 nanti.
Bahkan, Indonesia juga membuka peluang untuk menggandakan Rafale-nya dengan menambah 42 unit lagi.


Tak hanya itu, Indonesia masih menyimpan satu kontrak untuk akuisisi 11 pesawat Su-35 buatan Rusia yang belum dicairkan karena ancaman sanksi CAATSA dari AS.
Meski begitu, Indonesia masih terlibat kerja sama dengan Korea Selatan (Korsel) untuk pengembangan pesawat generaso 4,5 KF-21 Boramae.
Sehingga, dalam proyeksi dua dekade ke depan, superioritas udara Indonesia di kawasan ASEAN semakin tak terbendung.
Malaysia memiliki tantangan yang sama dengan Indonesia dalam menghadapi gejolak di Laut China Selatan.
Jika Indonesia sering berkonflik dengan China soal teritorial di Natuna Utara, Malaysia juga menghadapi masalah serupa terutama di Beting Patinggi Ali.
Sebab itu, Malaysia terus berusaha memodernisasi kemampuan militernya, termasuk angkatan udaranya.
Semua pesawat tempur ringan Angkatan Udara Malaysia (RMAF), yakni Hawk 108 dan Hawk 208, dinilai sudah tua dan dijadwalkan akan dipensiunkan bertahap mulai tahun 2027.
Sementara, Malaysia masih butuh banyak pesawat tempur untuk menjaga kedaulatannya dan menghadapi berbagai ancaman.
Malaysia sejak lama sudah sepakat akan membeli 33 pesawat tempur generasi 4,5 F/A-18 Hornet bekas Angkatan Udara Kuwait.
Namun, ternyata proses akuisisi ini semakin berbelit, sehingga Malaysia semakin keteteran dalam menjawab tantangan regional.
Semula, kendala utamanya adalah izin dari Washington, karena penjualan pesawat F/A-18 Hornet oleh Kuwait harus seizin negara produsen, yakni AS.
Setelah AS mengizinkan penjualan F/A-18 Hornet Kuwait ke Malaysia, kini muncul masalah baru.
Sebab, Kuwait baru melepaskan 33 F/A-18 Hornet kepada Malaysia, jika pesanan negara itu terhadap F/A-18 Super Hornet dari AS sudah didatangkan.
Proses ini dinilai sangat lama, sementara kebutuhan Malysia terhadap pesawat tempur sudah sangat mendesak.


Maka, Malaysia sedang mempertimbangkan opsi pesawat alternatif untuk memenuhi kebutuhan pertahanan udaranya menyusul penundaan transfer pesawat tempur F/A-18C/D Hornet dari Kuwait.
Menteri Pertahanan Malaysia, Datuk Seri Mohamed Khaled Nordin, mengatakan ketidakpastian ini muncul karena Kuwait terlambat menerima F/A-18E/F Super Hornet barunya dari Amerika Serikat.
"Kita tidak bisa menunggu tanpa kejelasan, karena Kuwait baru bisa mentransfer F/A-18 mereka setelah menerima pesawat baru," tegasnya seperti dikutip defencesecurityasia.com, 7 September 2025.
Ia menggarisbawahi bahwa Malaysia kini sedang mengevaluasi opsi lain yang tersedia agar tidak berada dalam posisi yang merugikan, termasuk memeriksa pesawat tempur yang sudah tersedia di pasaran.
“Kita harus memastikan adanya solusi alternatif agar kita tidak terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan,” tambah Khaled.
Ia menegaskan, Malaysia memang sudah mengakuisisi 18 pesawat tempur ringan FA-50M (Blok 20) dari Korea Aerospace Industries (KAI).
Namun, pengiriman pesawat itu dijadwalkan baru tiba pada tahun 2027.
Meski begitu, pesawat tempur ringan FA-50M itu untuk sementara bisa memenuhi kebutuhan operasional Angkatan Udara Kerajaan Malaysia (RMAF).
Malaysia memang masih memiliki armada Su-30 buatan Rusia, namun juga sudah men dekati tua.
"Kami juga akan terus menilai kelayakan operasional armada Sukhoi Su-30MKM yang ada untuk menentukan apakah armada tersebut dapat memenuhi kebutuhan pertahanan udara nasional secara memadai,” ujarnya.
Tinjauan Malaysia itu hadir di saat yang krusial, karena semua pesawat tempur ringan RMAF Hawk 108 dan Hawk 208 dijadwalkan pensiun mulai tahun 2027.
Kepala Staf Angkatan Udara Malaysia (RMAF), Jenderal Datuk Seri Muhamad Norazlan Aris, sebelumnya mengonfirmasi bahwa pihaknya akan melakukan evaluasi teknis komprehensif terhadap F/A-18 Hornet bekas Kuwait.
Yang akan menjadi pemeriksaan ketat adalah integritas rangka pesawat, avionik, dan tingkat kelelahan struktural sebelum keputusan akhir diambil.
Bulan ini juga, tim evaluasi AU Malaysia diperkirakan akan melakukan penilaian teknis terhadap seluruh 38 F/A-18 Hornet yang saat ini dioperasikan oleh Angkatan Udara Kuwait.


Norazlan menekankan bahwa inspeksi tersebut akan sangat penting dalam menentukan kelayakan perawatan dan kesesuaian keseluruhan badan pesawat.
Ia mengungkapkan bahwa RMAF telah mendapatkan persetujuan dari AS, sebagai produsen awal, untuk melakukan evaluasi teknis.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pengendalian Ekspor Senjata AS, transfer perangkat keras militer buatan AS, termasuk aset yang sebelumnya dimiliki oleh negara ketiga, memerlukan persetujuan resmi dari Kongres AS.
“Setelah pemerintah AS menyetujui evaluasi tersebut, AU Malaysia kini memiliki akses ke semua dokumentasi dan catatan terkait pesawat, dan tim kami siap melakukan penilaian di Kuwait,” kata Norazlan.
“Mereka diperkirakan akan berangkat ke Kuwait September ini, dengan proses evaluasi diperkirakan akan berlangsung sekitar tiga minggu, yang mencakup peninjauan menyeluruh terhadap catatan dan dokumentasi pesawat,” tambahnya.
Penilaian awal oleh Tim Teknis RMAF menunjukkan bahwa Hornet Kuwait memiliki jam terbang yang relatif rendah, rata-rata antara 1.500 dan 3.000 jam per pesawat.
Sebaliknya, F/A-18D Hornet Malaysia sendiri telah mengumpulkan antara 4.000 dan 6.000 jam terbang per pesawat.
Menurut Khaled, masa pakai tipikal F/A-18C/D Hornet diperkirakan antara 6.000 dan 8.000 jam terbang, atau sekitar 30 tahun operasi, tergantung pada rezim perawatan, profil penggunaan, dan program peningkatan kemampuan.
“Tim Teknis RMAF mengunjungi Kuwait pada Juni 2024, dan penilaian mereka mengonfirmasi bahwa Hornet Kuwait telah mencatat jam terbang yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan armada F/A-18D kami yang ada,” kata Khaled.
Menteri Pertahanan Malaysia tersebut juga baru-baru ini mengungkapkan, Malaysia sedang menilai kembali strategi modernisasi kekuatan udaranya yang lebih luas, termasuk potensi akuisisi pesawat tempur siluman generasi kelima dari Prancis, Amerika Serikat, dan Rusia jika transfer Kuwait Hornet menghadapi kemunduran lebih lanjut.
Ia menegaskan, tujuan jangka panjang pemerintah adalah merekapitalisasi penuh armada pesawat tempur RMAF pada tahun 2040, yang ditopang oleh lompatan generasi menuju platform berkemampuan siluman.
"Pesawat tempur generasi kelima, baik dari Prancis, Amerika Serikat, maupun Rusia, sedang dipertimbangkan, meskipun ini akan membutuhkan periode evaluasi yang panjang," ujar Khaled kepada Parlemen.
"Tujuan kami adalah mengganti armada yang ada saat ini pada tahun 2040," tambahnya dalam debat mengenai Rencana Malaysia ke-13.
Rencana cadangan Malaysia untuk mengakuisisi 38 F/A-18C/D Hornet dari Kuwait sepenuhnya bergantung pada penerimaan negara Teluk tersebut atas F/A-18E/F Super Hornet barunya, sebuah proses yang menghadapi penundaan di tengah pergeseran prioritas strategis AS.

Natuna Dihujani Bendera Merah Putih, Aksi TNI AU di Pintu Gerbang Lanud RSA Buat Warga Antusias Tunjukkan Nasionalisme

Tantangan Operasi TNI AU Makin Kompleks dan Dinamis, Penerbang dan Navigator Terima Ilmu Mahal Dalam Sosialisasi dari Kadisopslatau

Panglima TNI Sampai Turun Tangan, Sidang Pantukir Cetak Seribu Lebih Taruna Akademi TNI 2025 Lewat Seleksi Ketat dan Berintegritas

Dua KRI TNI AL Deteksi Gerak-gerik UK Carrier Strike Group di Perairan Pulau Buru, Pesawat CN-235 Ikut Dikerahkan Demi Lancarkan Aksi Ini

Diantaranya Ado Wanimbo Seorang DPO Sejak 2018, TNI Kembali Lumpuhkan Tiga Anggota OPM di Kabupaten Puncak Papua Tengah
