Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Istimewa Kejagung Riza Chalid Spesial

    Kejagung Tetapkan Muhammad Riza Chalid Masuk DPO - Jurnal Patroli

    2 min read

     

    Kejagung Tetapkan Muhammad Riza Chalid Masuk DPO


    JurnalPatroliNews – Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan Muhammad Riza Chalid (MRC) sebagai buronan alias Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah periode 2018–2023.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menjelaskan bahwa status DPO diberlakukan sejak 19 Agustus 2025 karena MRC tidak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan, meski sudah lebih dari tiga kali dipanggil penyidik.

    “Penetapan DPO dilakukan per 19 Agustus 2025,” ungkap Anang, Senin (1/9).

    Awal Kasus dan Status Tersangka

    Riza Chalid pertama kali ditetapkan sebagai tersangka pada 10 Juli 2025. Namun, sejak itu ia tidak pernah hadir memenuhi panggilan Kejagung. Bahkan, keberadaannya sempat disebut berada di Singapura.

    Akan tetapi, otoritas Singapura membantah hal tersebut. “Catatan imigrasi kami menunjukkan Muhammad Riza Chalid tidak berada di Singapura dan sudah lama tidak masuk ke wilayah kami,” tulis pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Singapura, 16 Juli 2025. Mereka juga menegaskan siap membantu Indonesia bila ada permintaan resmi.

    Sebagai tindak lanjut, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk melacak keberadaan MRC di negara lain.

    Dugaan Peran dalam Kasus Korupsi

    Riza Chalid, pemilik PT Orbit Terminal Merak (OTM), diduga menghapus klausul kepemilikan aset dalam kontrak kerja sama penyewaan Terminal BBM Tangki Merak dengan PT Pertamina (Persero). Padahal, berdasarkan hasil kajian, dalam 10 tahun aset tersebut seharusnya beralih ke PT Pertamina Patra Niaga.

    Direktur Penyidikan Kejagung, Abdul Qohar, menyebut MRC bersama tersangka lain yaitu HB, AN, dan GRJ, diduga melakukan intervensi kebijakan Pertamina untuk memaksakan kontrak kerja sama yang tidak diperlukan. Selain itu, harga kontrak ditetapkan sangat tinggi, merugikan negara hingga triliunan rupiah.

    “Berdasarkan audit BPK, kerugian negara dari kontrak OTM ini mencapai Rp 2,9 triliun dengan status total loss,” jelas Qohar.

    Secara keseluruhan, Kejagung mencatat kerugian keuangan sekaligus perekonomian negara dalam perkara ini mencapai Rp 285 triliun.

    Komentar
    Additional JS