Padahal Sudah Dilarang MK, DPR Soroti Wamen Isyana Masih Rangkap Jabatan Jadi Komisaris BUMN - Inilah
Padahal Sudah Dilarang MK, DPR Soroti Wamen Isyana Masih Rangkap Jabatan Jadi Komisaris BUMN
Politikus PSI Isyana Bagoes Oka di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Selasa (15/10/2024). (Foto: ANTARA/Fauzan/YU/aa).
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi menyoroti rangkap jabatan Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN, Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka yang menjabat komisaris Komisaris PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (Mitratel) sejak 28 Mei 2025.
“Saya melihat masih merangkap jabatan di Komisaris Dayamitra Telekomunikasi. Sesuai keputusan MK yang kita lihat dan dengar bersama. Saya ingin mempertanyakan keseriusan Bu Wamen, apakah memilih fokus menjalankan tugas negara di BKKBN? Kalau iya, syukur Alhamdulillah, Berarti Ibu menunjukkan keseriusan dalam bersama-sama kita mencegah sekaligus mengurangi angka stunting Indonesia menuju Indonesia Emas tahun 2045,” ujar Nurhadi kepada wartawan, Jakarta, Minggu (7/9/2025).
Dia menekankan, jabatan publik menuntut komitmen penuh, terlebih BKKBN memiliki peran strategis dalam menekan angka stunting dan mempersiapkan Indonesia menuju bonus demografi. Ia mengingatkan, kejelasan sikap dari pejabat negara sangat penting untuk menunjukkan integritas.
Politikus Partai NasDem itu, meminta klarifikasi langsung dari Wamen Isyana Bagoes Oka, terkait rangkap jabatan ini. Hal tersebut dinilai perlu untuk menjamin transparansi sekaligus menghindari konflik kepentingan. “Atau memang Ibu memilih sebagai Komisaris di salah satu BUMN itu? Saya ingin minta jawaban langsung dari Bu Wamen,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang menteri maupun wakil menteri (wamen) merangkap jabatan di lembaga hingga perusahaan yang dibiayai negara termasuk komisaris BUMN.
“Ya kita melakukan transformasi kepengurusan sesuai makna yang kita lakukan saat ini,” ujar Erick kepada wartawan, di Kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip Sabtu (5/9/2025).
Diketahui, MK memberikan waktu dua tahun bagi pemerintah untuk menindaklanjuti Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang melarang wakil menteri melakukan rangkap jabatan. Adapun MK memberikan tenggat waktu dua tahun untuk pejabat terkait mundur dari jabatan rangkap.
Merespon hal itu, Erick menegaskan bahwa pihaknya fokus untuk melakukan transformasi tersebut.
“Ya, itu, kita akan melakukan transformasi kepengurusan seusai dengan yang kita jalankan,” tegasnya.
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang wakil menteri (Wamen) untuk merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai APBN maupun APBD.
Penegasan itu tertuang pada putusan teranyar Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Perkara Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang diucapkan dalam sidang putusan di Ruang Sidang Pleno MK di Jakarta, Kamis (28/8/2025).
"Mengabulkan permohonan pemohon I untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
Mahkamah secara eksplisit memasukkan frasa "wakil menteri" ke dalam norma Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang pada mulanya hanya berisi larangan rangkap jabatan untuk menteri.
MK menyatakan Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang tertuang dalam amar putusan.
Dengan putusan itu, Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara kini menjadi berbunyi: "Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD."
Perkara 128 ini dimohonkan oleh advokat Viktor Santoso Tandiasa dan pengemudi ojek daring Didi Supandi. Namun, MK menyatakan permohonan Didi tidak dapat diterima karena yang bersangkutan tidak memiliki kedudukan hukum.
Terhadap putusan tersebut, dua orang hakim menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, dan Arsul Sani.





