Sampai Jumpa Tunisia, Berlayarlah Sumud Flotilla, Merdekalah Palestina | Republika Online
Sampai Jumpa Tunisia, Berlayarlah Sumud Flotilla, Merdekalah Palestina | Republika Online

Banyak aktivis luar negeri menangisi kepulangan delegasi Indonesia.

Laporan jurnalis Bambang Noroyono dan Fotografer Thoudy Badai dari Tunis, Tunisia
REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- One for all, all for one. Itu prinsip keteguhan hati delegasi Indonesia ketika menarik sebagian besar delegasi dari Global Sumud Flotilla. Misi pelayaran akbar membelah Laut Mediterania membuka koridor kemanusian untuk Gaza bukanlah demi mengincar validasi diri, pengakuan, ataupun penghormatan.
Sponsored
Ikut naik kapal atau tidak, ikut berlayar ataupun tidak, bukan itu tujuan utamanya. Global Sumud Flotilla punya tujuan yang lebih besar: membuka mata dunia tentang penjajahan di Palestina. Global Sumud Flotilla punya tujuan yang paling utama: menggugah kesunyian dunia tentang penderitaan orang-orang di Gaza yang menjadi korban genosida tentara Zionis Israel.
“Misi ini, bukan misi negara per negara. Tetapi misi ini, bersama 45 negara yang menjadi satu kesatuan untuk menembus Gaza. Bukan tentang masuknya relawan Indonesia ke dalam Gaza,” begitu kata Maimoen Herawati kepada Republika di Tunisia, Sabtu (13/9/2025). Maimoen, partisipan Indonesia paling senior yang ikut dalam misi pelayaran Global Sumud Flotilla. Dari Indonesia ada 30 partisipan yang ikut dalam misi pelayaran kemanusian akbar menembus blokade Gaza ini. Semua partisipan dari Indonesia itu tergabung dalam relawan dan aktivis dari Indonesia Global Peace Convoy (IGPC). Tujuh di antaranya adalah pewarta, termasuk dua wartawan Republika: Bambang Noroyono dan Thoudy Badai.
Keputusan delegasi Indonesia menarik diri bukan karena tak dapat tempat di armada-armada Global Sumud Flotilla. Dari 30 partisipan Indonesia, 26 diantaranya lolos pelatihan dan training selama 10 hari oleh Steering Committee Global Sumud Flotilla dan Sumud Maghribi sejak 2 September yang digelar di Gedung General Union of Tunisian Workers (GUTW). Dan Republika mendapat tempat di Kapal-13 dan Kapal-19. Partisipasi delegasi Indonesia pun sejak awal sudah mendapatkan tempat di armada-armada kemanusian itu. Karena IGPC membeli, lalu menyumbangkan lima kapal untuk misi pelayaran kemanusian akbar Global Sumud Flotilla itu.
Scroll untuk membaca
Keputusan menarik diri itu mufakat pada 11 September. Atau satu hari setelah penundaan keempat kalinya pelayaran. Setelah Steering Committe Global Sumud Flotilla mengumumkan penundaan pelayaran pada 10 September, seluruh delegasi Indonesia berkumpul mengevaluasi semua keadaan. Serangan udara Zionis Israel ke Qatar turut menjadi pembahasan aspek geopolitik dalam musyawarah yang dipimpin Penasehat IGPC Bachtiar Natsir, dan Ketua Koordinator IGPC Muhammad Husein ketika itu.
Informasi-informasi diplomatik dari kedutaan juga dibeberkan dalam ruang evaluasi saat itu. Termasuk soal peliknya situasi politik dalam negeri di Tunisia sendiri soal Global Sumud Flotilla ini. Beredar kabar tentang ancaman penggulingan Presiden Tunisia oleh negara-negara sekutu zionis, jika tetap nekat mendukung Global Sumud Flotilla berlayar dari Negeri Tanah Kuno itu. Sinyal itu terang ketika drone asing dari pangkalan militer Siprus dan Malta menyerang armada-armada Global Sumud Flotilla, pada Selasa (9/9/2025) dini hari, dan Rabu (10/9/2025) dini hari. Penyerangan terhadap Kapal Family Madeira berbendera Portugal, dan Kapal Alma berbendera Inggris di Dermaga Sidi Bou Said itu cuma berjarak dua kilometer (Km) dari Istana Carthage yang menjadi Istana Presiden Tunisia.
Dan dikabarkan pula, setelah penyerangan itu, Presiden Tunisia mendapatkan tekanan di dalam negeri oleh rakyatnya sendiri. Presiden Tunisia juga bakal digulingkan oleh rakyatnya sendiri jika nekat membubarkan aksi Global Sumud Flotilla yang menjadikan negara itu sebagai lokasi angkat jangkar serempak. Musyawarah seluruh delegasi IGPC juga membahas posisi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang sampai pada saat itu, tak juga menyatakan dukungan maupun perlindungan terhadap warga Indonesia yang ikut ambil bagian dalam misi pelayaran menembus blokade Gaza tersebut.
Itu berbeda dengan yang dilakukan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim yang sangat antusias dan mendukung para relawan dan aktivis Harimau Malaya untuk turut serta dalam pelayaran kemanusian ke Gaza ini. Meskipun Malaysia dan Indonesia dua negara terbesar di Asia Tenggara yang tak sudi memiliki kontak diplomatik dengan Zionis Israel. Aspek ketiadaan diplomatik itu jadi pertimbangan penting bagi warga negara dalam setiap apapun aksi aktivisme Palestina. Apalagi misi Global Sumud Flotilla ini bakal menembus Gaza yang dikepung total tentara zionis. Selain aspek-aspek tersebut memang diakui sulitnya menyatukan motivasi seluruh partisipan dari 45 negara dalam misi ini. Karena latar belakang ribuan delegasi yang campur aduk.
Steering Committee Global Sumud Flotilla, pun pusing bukan kepalang menyisir ribuan partisipan dari seluruh penjuru dunia itu. Orang-orang yang tak sepaham dengan gerakan nonviolence, atau aksi tanpa kekerasan, dan partisipan-partisipan yang sulit memahami motivasi tunggal kemanusian dalam misi ini tereliminasi tak dapat tempat dalam daftar peserta pelayaran. Steering committee itu punya tim yang mengecek semua latar belakang para partisipan. Pun memperhatikan gerak-gerik dan mentalitas seluruh partisipan. Termasuk mengecek aktivisme para partisipan di media sosial. Akan tetapi penyaringan-penyaringan partisipan itu, pun dilakukan memang karena terbatasnya jumlah armada-armada kemanusian untuk misi pelayaran ini.
Alhasil steering committee memang membuat kriteria-kriteria prioritas bagi para partisipan untuk masuk dalam daftar peserta pelayaran. Dokter dan perawat, aktivis yang memiliki pengaruh massa, ataupun yang punya peran politik di negara-negaranya masing-masing, wartawan, dan individu yang memiliki keahlian di bidang perkapalan dan pelayaran sebagai kalangan-kalangan prioritas untuk masuk dalam daftar pengisi armada-armada kemanusian.
Paling penting memang, para peserta pelayaran idealnya berasal dari negara-negara yang memiliki hubungan bilateral dengan rezim Zionis Israel. Persoalan diplomatik itu penting. Karena pemerintahan dari negara-negara asal partisipan itu bakal menekan Zionis Israel sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya yang ikut dalam misi pelayaran kemanusian ini.
Dan strategi itu lebih dapat menjamin keselamatan para peserta pelayaran dari ancaman-ancaman mematikan yang berulang-ulang disampaikan oleh pejabat-pejabat Zionis Israel terhadap kampanye Global Sumud Flotilla ini. Bahkan Zionis Israel berkali-kali mengancam akan mengebom kapal-kapal kemanusian itu dari udara di atas perairan internasional jika tetap nekat berlayar menembus Gaza.
Opsi penarikan diri delegasi Indonesia ketika itu ada beberapa. Pertama mufakat untuk tak ikut semuanya, atau tetap ikut berlayar tetapi sebagian saja. Atau menyerahkan seluruh kuota partisipasi dan kapal-kapal Indonesia ke meja steering committee untuk menampung para delegasi negara-negara Eropa dan Amerika demi tetap berhasilnya misi kemanusian menembus Gaza ini.
Tiga jam lebih bermusyawarah, IGPC memilih opsi terakhir. Pada 12 September, setelah turun Jumat di Tunisia, Husein mengumumkan keputusan tersebut. “Saat keputusan itu diketok, sebelah jiwa saya seakan dicerabut,” kata Maimoen. “Gaza, kami belum memungkinkan untuk memelukmu secara langsung. Belum bisa menyampaikan padamu secara personal bahwa dukamu, adalah duka kami, sakitmu adalah sakit kami,” kata Maimoen. Akan tetapi kata Maimoen, semua partisipan memang harus lebih melihat diri ke dalam hati dan pikiran yang paling jernih, objektif bahwa, misi pelayaran akbar Global Sumud Flotilla menembus blokade Gaza ini bukanlah aktivisme pribadi.
Bukan juga aksi menggebu-gebu yang menomorsatukan egoisme, ambisi, atau kengototan individual yang hanya untuk ‘gagah-gagahan’ naik ke kapal demi sekadar ikut pelayaran ke Gaza, ataupun selfie-selfie. “All for one, one for all,” begitu kata Maimoen. Keputusan delegasi Indonesia menarik diri itu bagian dari solusi agar Global Sumud Flotilla tetap berlayar ke Gaza untuk mengirimkan bantuan obat-obatan dan logistik kemanusian. “Kita (delegasi Indonesia) menarik diri untuk memberikan kontribusi yang lebih terhadap Global Sumud Flotilla ini. Agar misi pelayaran kemanusian menembus blokade Gaza ini, untuk membuka koridor kemanusian demi membantu masyarakat di Gaza yang sedang dalam penjajahan dan genosida oleh Zionis Israel ini, tetap berjalan sesuai dengan tujuannya,” kata Husein.
Hanya untuk yang memahami
Keputusan delegasi Indonesia menarik diri dari partisipasi pelayaran ke Gaza itu bukan kabar biasa. Berita itu diakui banyak partisipan, mengguncang optimisme banyak delegasi dari negara-negara lain atas keberlanjutan misi besar Global Sumud Flotilla ini.
Lamia seorang relawan dari Aljazair, rekan satu armada Republika di Kapal-19 mengaku sedih dengan keputusan delegasi Indonesia itu. Perempuan 30-an tahun itu mengaku bersama-sama belasan relawan senegaranya turut tandang ke Tunisia mengikuti kampanye akbar Global Sumud Flotilla karena terinspirasi dari partisipasi delegasi Indonesia.
“Bagaimana kalian yang sangat baik, dan sangat menginspirasi kami memutuskan tidak (jadi) ikut berlayar bersama-sama yang lainnya?,” kata Lamia. Perempuan berhijab itu mengaku, kabar mundurnya delegasi Indonesia itu menjadi perdebatan di antara para relawan, dan aktivis senegaranya. “Indonesia mundur adalah cobaan pertama kami dalam misi ke Gaza ini,” kata Lamia. Tetapi kata Lamia, setelah memahami penjelasan tentang penarikan diri delegasi Indonesia itu dari para anggota steering committee. Pun juga penjelasan dari banyak partisipan negara-negara lainnya, keputusan delegasi Indonesia yang menarik diri itu punya maksud yang lebih baik.
“Kebaikan yang kalian berikan, telah memberikan semangat untuk semuanya,” ujar Lamia. Relawan mualaf asal Irlandia, Zainab Louise salah-satu yang datang ke Tunisia perorangan. Semula perempuan 50an tahun itu pesimis dapatkan tempat di kapal dan ikut berlayar. Dia tahu Steering Committee Global Sumud Flotilla memapas partisipan dari negara-negara Eropa yang sedikit memberikan sumbangsih materil dalam misi kemanusian itu. Tetapi belakangan ia mengetahui Indonesia mengalah dan mengalokasikan haknya ke partisipan-partisipan Eropa demi Global Sumud Flotilla tetap berlayar ke Gaza.
"Saya sangat menyesali keputusan itu. Tetapi kalian sangat hebat agar misi ini tetap sesuai rencana. Kalian sangat berjasa. Dan kalian akan tetap bersama kami, di hati kami," kata Louise. Louise mendapatkan tempat di armada Global Sumud Flotilla dengan berkemah di Dermaga Sidi Bou Said menunggu pelayarannya, Senin (15/9/2025) malam.
Geraldine Shelby Remirez, aktivis pribumi Amerika juga menilai keputusan delegasi Indonesia itu menjadi satu hal yang menentukan demi keberhasilan misi Global Sumud Flotilla. "Kalian sudah bekerja keras untuk merencanakan ini. Dan kami sangat menghormati keputusan kalian. Dan kami sangat tahu apa yang kalian korbankan untuk misi menghentikan penjajahan dan genosida di Gaza ini," kata Shelby.
Shelby mengatakan Indonesia harus tetap berada pada barisan terdepan dalam misi perjuangan untuk menghentikan kejahatan perang yang dilakukan Zionis Israel di Gaza. "Kita semua memahami, bahwa Indonesia sangat memperjuangkan pembebasan Palestina dan dekolonisasi. Dan kami semua sangat menghormati, mencintai kalian," ujar Shelby.
Steering Committee Global Sumud Flotilla asal Jerman, Melanie melalui saluran komunikasi seluruh partisipan mengatakan keputusan delegasi Indonesia yang menarik diri dan memberikan hak partisipasi pelayarannya kepada aktivis, maupun relawan dari negara lain, sebagai bentuk pemahaman yang terang tentang pentingnya usaha membuat misi menembus blokade Gaza ini menjadi berhasil.
“Indonesia dari Global Selatan (Sumud Nusantara) merupakan contoh yang baik dari orang-orang yang memahami pentingnya keberhasilan dari misi ini. Mereka telah memberikan kontribusi finansial yang sangat besar, dan berkampanye di dalam maupun luar negeri demi keberhasilan misi untuk Palestina ini dengan memberikan 30 kursi mereka demi yang lain,” kata Melanie yang juga merupakan tim hukum internasional untuk Global Sumud Flotilla itu. Direktur Sumud Nusantara Muhammad Nadir al-Nuri mengatakan, tak mudah menerima kenyataan tentang keputusan delegasi Indonesia yang menarik diri dari pelayaran itu.
“Indonesia adalah salah-satu partisipan penyokong paling besar dalam misi pelayaran kemanusian menembus blokade Gaza ini,” kata Nadir. Nadir bagian dari jajaran anggota Steering Committee Global Sumud Flotilla asal Malaysia. Akan tetapi, kata Nadir keputusan menarik diri tersebut membuktikan kematangan pemahaman delegasi Indonesia tentang arti penting dari tujuan, dan keberhasilan misi pelayaran akbar menembus blokade Gaza tersebut. “Keputusan delegasi Indonesia itu, membuat orang lain harus bertanya kepada diri sendiri, apakah sudah memahami betul maksud dari misi pelayaran menembus blokade Gaza ini,” ujar Nadir.
Keputusan delegasi Indonesia menarik diri dari pelayaran kemanusian itu, pun sebetulnya diikuti oleh delegasi-delegasi dari negara lain, juga diikuti partisipan-partisipan pribadi dari negara-negara lain. Akan tetapi keputusan menarik diri para delegasi, maupun partisipan pribadi dari negara-negara lain itu, tak diumumkan terbuka.
Turki negara yang paling banyak mengirimkan delegasinya ke Global Sumud Flotilla. Dikabarkan mereka mengirimkan lebih dari 150-an relawan, aktivis, dan wartawan. Dari daftar peserta pelayaran yang disampaikan IGPC pada saat evaluasi, tercatat sebanyak 97 partisipan berkewarganegaraan Turki mendapat tempat di armada-armada Global Sumud Flotilla.
Para partisipan Turki itu, pun dikabarkan banyak yang membawa kapal-kapalnya sendiri ke Tunisia untuk memperkuat armada-armada Global Sumud Flotilla. Akan tetapi steering committee dikatakan membuat kriteria-kriteria kelayakan armada yang tak terbuka untuk meloloskan kapal-kapal berbendera Turki itu agar dapat turut serta berlayar mengarungi Laut Mediterania. Alhasil banyak di antara para partisipan asal Turki marah-marah. Lalu menarik diri. Delegasi Turki, pun marah-marah dengan aturan-aturan dari steering committee yang dinilai sepihak menganggap gema-gema takbir, dan nyanyian-nyanyian Islam tentang perjuangan untuk Palestina maupun Gaza sebagai respons berlebihan yang berbahaya bagi keselamatan para partisipan saat di dalam kapal jika terjadi penyergapan Zionis Israel.
Para partisipan pribadi dan relawan dari Eropa, pun banyak yang menarik diri. Fabian relawan perempuan bertato usia 20-an asal Swedia, bersama rekannya Barthos dari Polandia menarik diri lebih karena alasan ketidakpastian steering committee dalam menentukan tanggal dan hari pelayaran. Fabian relawan perempuan yang memiliki keahlian sebagai kru kapal, dan Barthos relawan yang memiliki keahlian mengemudi kapal. Keduanya sebetulnya menjadi individu-individu yang sangat dibutuhkan dalam misi pelayaran kemanusian ini.
Fabian dan Barthos satu penginapan di Royal Golf Hotel di Kota Tunis bersama-sama seluruh delegasi Indonesia. Saban pulang ke hotel usai pelatihan dan training, Fabian dan Barthos sebelum istirahat, sering bercakap-cakap dengan partisipan-partisipan dari Indonesia di lobi, maupun teras hotel. “Kami memutuskan untuk segera pulang ke negara kami, karena kami melihat tidak ada kepastian dari steering committee kapan kita akan berlayar,” kata Fabian. Fabian mengaku mengocek kantong pribadi untuk terbang dari negara asalnya demi bergabung dengan misi Global Sumud Flotilla di Tunisia.
Dan selama di Tunisia, kata Fabian, lebih dari dua pekan tanpa kepastian pelayaran mengancam dirinya menjadi gelandangan di negara orang lain. “Apapun yang terjadi, selama kami di sini, kami memiliki keterbatasan finansial yang memengaruhi keputusan kami untuk ikut pelayaran ini,” ujar Fabian. Dia memang mengetahui adanya bantuan-bantuan pelunasan penginapan, maupun makanan dari delegasi-delegasi negara lain, pun dari sumbangan-sumbangan warga Tunisia hanya untuk makanan.
Akan tetapi, kata Fabian menunggu terlalu lama kapan pelayaran akan dilaksanakan, membuat Global Sumud Flotilla menjadi sebuah misi yang tak pasti. “Kami tidak bisa selalu berada di sini, sementara misi ini, menjadi tidak ada kepastian,” kata Fabian. “Kami hanya meminta steering committee memberikan jadwal pelayaran,” kata dia.
Andrea, relawan perempuan asal Viena-Austria saat berbincang-bincang dengan para wartawan dari Indonesia, pun mengatakan penundaan-penundaan pelayaran memengaruhi psikologis. Pun jelas kata dia, memengaruhi keuangan para partisipan yang tak memiliki sponsor untuk misi kemanusian tersebut.
Andrea sampai dengan penundaan pelayaran 10 September, mengaku sudah menumpang di kamar-kamar hotel delegasi dari negara yang lain. Ataupun terpaksa menginap di kedutaan negaranya di Kota Tunis. “Aku melihat semua ketidakpastian dan penundaan-penundaan ini sangat memengaruhi keberhasilan dari misi ini,” kata Andrea.
Selama mengikuti gelaran Global Sumud Flotilla di Tunisia, steering committe melakukan penundaan pelayaran sampai empat kali. Semula pelayaran serempak diumumkan 4 September. Lalu ditunda sampai 7 September. Dan kembali ditunda 10 September. Pada tanggal tersebut pelayaran pun ditunda ke 14 September.
Empat kali penundaan itu juga sebetulnya alasan mengapa delegasi Indonesia menarik diri. “Selama 12 hari menanti pelayaran di Tunisia, dengan berbagai pemunduran-pemunduran (penundaan waktu pelayaran), Indonesia Global Peace Convoy memutuskan untuk menarik diri dari Global Sumud Flotilla,” kata Husein di Radisson Blu Convention, Tunisia, Jumat (12/9/2025).
Kapal-kapal Donasi Indonesia tetap berlayar
Delegasi Indonesia tak kekurangan armada dalam misi pelayaran Global Sumud Flotilla ini. Kalau cuma untuk menampung 30 partisipan asal Indonesia agar tetap bertahan dalam misi pelayaran akbar menembus blokade Gaza ini, IGPC punya lima kapal. IGPC membeli kapal-kapal untuk bergabung dalam Global Sumud Flotilla itu dari hasil sumbangsih, dan donasi aktivisme Gaza-Palestina di Tanah Air. Lima armada yang dibeli IGPC itu awal-mulanya bakal diberi nama lambung Kapal Sukarno, Kapal Diponegoro, Kapal Malahayati, Kapal Pati Unus, dan Kapal Hasanuddin.
Pemberian nama-nama pahlawan nasional Indonesia pada kapal-kapal kemanusian itu kiranya memberikan harapan terbuka supaya pemerintah ikut ambil peduli tentang partisipasi warga negaranya dalam misi konvoi laut akbar Global Sumud Flotilla menembus blokade Gaza ini. Akan tetapi, pemerintah Indonesia tak pernah menggubris, tak sekalipun memberikan respons, atau dukungan secara resmi atas keterlibatan relawan kemanusian, dan aktivis IGPC dalam misi membuka koridor kemanusian untuk mengirimkan bantuan obat-obatan dan logistik makanan bagi masyarakat di Gaza itu. Pun IGPC selama di Tunisia tak pernah memperkenalkan langsung kapal-kapal yang dibeli untuk pelayaran kemanusian ke Gaza itu kepada para partisipan.
Lagipun, penamaan kapal-kapal Indonesia menggunakan tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia itu tak segampang yang dikira. Ketua Koordinator IGPC Muhammad Husein mengatakan, pembelian kapal-kapal itu, tak bisa serta merta dapat mengubah nama lambung. Karena kapal-kapal tersebut dibeli di Spanyol, Italia, Yunani, dan Tunisia. Kapal-kapal tersebut masih berbendera dan terdaftar di negara asal pembelian. Sehingga bakal memerlukan proses waktu yang panjang untuk mengubah nama-nama kapal tersebut agar sesuai dengan nama-nama pahwalan Indonesia yang diinginkan tersebut.
Tetapi Husein memastikan, kapal-kapal milik Indonesia itu tetap berlayar bersama armada-armada Global Sumud Flotilla lainnya. “Lima boats (kapal) Indonesia itu, (bernama lambung) Seulle, Nights of London, MiaMia, Meteque, dan Marinette,” begitu kata Husein, Ahad (21/9/2025). IGPC membeli Kapal Seulle dari Italia. Kapal Nights of London dibeli dari Yunani. Kapal MiaMia dan Meteque dibeli di Tunisia. Dan Kapal Marinette dibeli dari Spanyol. Tiga kapal yang dibeli dari Spanyol dan Tunisia sejak 14 September mulai berlayar satu per satu keluar dari Perairan Tunisia menuju ke Laut Mediterania untuk terus berlayar ke Gaza.
Direktur Sumud Nusantara Muhammad Nadir Al-Nuri bersama Kordinator Indonesia Global Peace aconvoy Muhammad Husein di Pelabuhan Sidi Bou Said, Tunisia, Selasa (16/9/2025).
Sementara kapal-kapal Indonesia yang dibeli dari Italia, dan Yunani menunggu di perairan negara masing-masing sebelum bersama-sama ke perairan internasional untuk menuju ke Gaza. Pada 16 September, empat hari setelah delegasi Indonesia resmi mengumumkan menarik diri dari pelayaran Global Sumud Flotilla, Husein mengajak seluruh partisipan ke Dermaga Sidi Bou Said. Sidi Bou Said satu dari tiga dermaga yang menjadi tempat titik kumpul armada Global Sumud Flotilla saat sandar menunggu pelayaran serempak di Tunisia. Dua titik kumpul lainnya di Dermaga Bizzerte, dan Dermaga Gammarth.
Pada saat kedatangan para partisipan Indonesia kesekian kalinya ke Dermaga Sidi Bou Said itu, semarak Global Sumud Flotilla di kawasan itu sudah tak nampak. Cuma tersisa para partisipan-partisipan yang kecewa tak dapat tempat di armada-armada kemanusian yang sudah berlayar sejak 14 September. Tetapi pada Selasa (16/9/2025) tersebut, Sumud Maghribi mengumumkan masih ada sisa satu armada Global Sumud Flotilla yang akan menyusul berlayar. Dan sisa satu kapal itu memberikan peluang baru bagi delegasi Indonesia untuk tetap memiliki perwakilan partisipan dalam misi menembus blokade Gaza ini. Meskipun delegasi Indonesia sudah mengumumkan menarik diri semua.
Dan keputusan itu cepat dengan menyepakati relawan IGPC Wanda Hamidah ikut serta dalam misi pelayaran. Wanda, seorang publik figur, mantan wartawan televisi, juga eks politikus dan anggota parlemen daerah di DKI Jakarta, sekaligus punya pengalaman aktivisme di Indonesia. Beragam latar belakang itu membuat nama Wanda paling mumpuni jika menengok kriteria peserta pelayaran yang ditentukan steering committee. Dan Wanda, akhirnya berlayar pada Rabu (17/9/2025) dini hari dengan Kapal Keiser berbendera Tunisia. Kapal tersebut mengangkut 12 aktivis dan relawan dari Tunisia, Maroko, Turki, dan Aljazair. Wanda menjadi satu-satunya relawan perempuan di Kapal Keiser itu.
Pada Kamis (18/9/2025), Husein selaku Ketua Koordinator IGPC pun mengumumkan dirinya tetap berlayar mewakili delegasi Indonesia. Husein berlayar dengan Kapal Observer Nusantara yang angkat jangkar dari Dermaga Gammarth. Di kapal observer itu, Husein bersama mitranya Nadir al-Nuri dari Malaysia, dan juga aktivis-aktivis lain dari Inggris, Turki, dan Afrika Selatan (Afsel). Total 12 orang dalam kapal observer itu. Kata Husein, kapal observer merupakan armada pemantauan dan pengawasan. “Jika terjadi intercept (penyergapan) terhadap kapal-kapal Global Sumud Flotilla lainnya, kapal observer ini yang akan meng-observe, atau mengumpulkan bukti-bukti intercept Zionis Israel yang akan dibawa ke pengadilan internasional” ujar Husein.
Pemimpin delagasi Indonesia Muhammad Hussein memimpin doa sebelum bertolak bersama Armada Sumud Global menuju Gaza, Kamis (18/9/2025).
Kata Husein, kapal observer akan terus berlayar sampai masuk ke perairan Gaza, jika armada-armada Global Sumud Flotilla yang lebih awal berlayar dapat menembus blokade Gaza. Tetapi, kata Husein, kapal observer akan berbalik arah jika tentara Zionis Israel tetap pada brutalismenya dengan melakukan penyerangan terhadap armada-armada Global Sumud Flotilla sebelum memasuki perairan Gaza. Lalu pada 19 September ketika seluruh partisipan Indonesia bawa koper ke bandara untuk kembali ke Tanah Air, satu lagi relawan warga negara Indonesia, yang tergabung dalam Aqsa Working Grup (AWG) Muhammad Fatturahman melalui perantara Sumud Nusantara di Malaysia menyusul pelayaran dari Dermaga Sidi Bou Said.
Faturrahman, aktivis 21 tahun asal Depok, Jawa Barat (Jabar) itu berlayar bersama lima aktivis lainnya dari Tunisia, dengan Kapal Kamr. Total tiga perwakilan delegasi Indonesia yang akhirnya bergabung bersama armada Global Sumud Flotilla menembus blokade Gaza itu. Jika mengambil titik tolak pelayaran akbar Global Sumud Flotilla dari Tunisia pada 14 September, total ada 52 armada yang mengikuti misi menembus blokade Gaza itu. Dari Tunisia, setelah bergabungnya armada dari Spanyol total ada 27 kapal. Sedangkan dari Perairan Sisilia-Italia 17 kapal. Dan di Yunani ada enam kapal. Juga tercatat satu kapal dari Libya yang menuju Perairan Kreta menunggu armada dari Tunisia dan Italia.
Dan misi pelayaran menembus Gaza ini dari Tunisia diperkirakan memakan jarak sampai antara 10 sampai 14 hari. Dan perkiraan waktu pelayaran itu dengan catatan tanpa terjadinya kendala. Namun hingga Ahad (28/9/2025), dua pekan setelah angkat jangkar dari Tunisia, armada-armada kemanusian Global Sumud Flotilla itu belum ada yang sampai ke perairan Gaza. 44 armada masih tertahan di perairan internasional di dekat Kreta-Yunani. Sebagian bahkan masih sandar di perairan Italia lantaran adanya kerusakan kapal. Rabu (24/9/2025) lalu, setelah seluruh delegasi Indonesia sudah beraktivitas di Jakarta, armada-armada Global Sumud Flotilla diserang 15 drone di perairan internasional Yunani.
Youve reached the end