Studi di Belanda: Ada apa di balik kematian mahasiswa Indonesia? - BBC News Indonesia
Dunia Internasional, Pendidikan Tinggi, Kasus
Studi di Belanda: Ada apa di balik kematian mahasiswa Indonesia? - BBC News Indonesia
Seorang mahasiswa Indonesia yang studi di Belanda meninggal dunia akibat kelelahan, diduga karena menemani pejabat yang sedang melakukan kunjungan ke Austria. Kini muncul tekanan publik agar kematiannya diusut tuntas, termasuk siapa yang semestinya bertanggung jawab.
Informasi perihal kematian Athaya Helmi Nasution, mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi ke Belanda, pertama kali disampaikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda, Senin (08/09).
Dalam siaran resmi yang diunggah di Instagram, PPI Belanda mengatakan Athaya meninggal dunia pada Rabu, 27 Agustus 2025 di Wina, Austria. Usia Athaya saat itu 18 tahun.
Athaya, mengutip keterangan PPI Belanda, kehilangan nyawa selepas mendampingi para pejabat dari pagi hingga malam sebagai pemandu.
PPI Belanda menyoroti bagaimana pihak event organizer (EO), liaison officer (LO), dan pejabat yang turut serta di dalamnya seolah lepas tangan dengan kematian Athaya. PPI Belanda mencontohkan hingga kini tidak ada permintaan maaf kepada keluarga Athaya dari berbagai pihak itu.
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Laporan autopsi forensik terhadap jenazah—yang telah dikonfirmasi KBRI Wina—menyebutkan Athaya mengalami suspected seizure, atau kejang-kejang, disinyalir lantaran sengatan panas (heatstroke).
Di lain sisi, kondisi tubuh Athaya kekurangan cairan serta nutrisi. Pada waktu bersamaan, kelelahan menyergap Athaya.
Alhasil, dari situ, terjadi ketidakseimbangan elektrolit (electrolyte imbalances) dan turunnya kadar gula di bawah angka normal (hypoglycemia) yang kemudian berujung stroke.
Padatnya aktivitas, seharian penuh, diduga menjadi penyebab munculnya komplikasi di tubuh Athaya.
Informasi yang didapatkan PPI Belanda mengatakan Athaya berkegiatan dari pagi sampai malam sebagai pemandu para pejabat yang datang ke Wina, Austria.
Agenda pejabat Indonesia di Wina diselenggarakan pada 25 sampai 27 Agustus 2025, bertepatan dengan protes massa di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya yang menuntut pencabutan tunjangan hak rumah anggota DPR.
Athaya merupakan bagian dari PPI Groningen, cabang dari PPI Belanda. Dia tengah kuliah di Universitas Hanze, Groningen.
PPI Belanda mengungkapkan acara yang diikuti Athaya adalah kunjungan kerja para pejabat dari tiga instansi: DPR, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Bank Indonesia (BI).
PPI Belanda, menurut keterangan resminya, mengutuk perlakuan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya setelah Athaya meninggal dunia.
Ketika Athaya mengembuskan napas terakhir, 27 Agustus 2025, baik penyelenggara acara (EO), perantara (liaison officer), dan pejabat bersangkutan tidak meminta maaf atau bertanggung jawab.
"Lebih lanjut, alih-alih mengunjungi tempat penginapan saat almarhum meninggal, acara kunjungan kerja terus bergulir di mana pihak EO justru terus sibuk mengurus persiapan acara makan-makan bersama pejabat publik di restoran," tulis PPI Belanda.
Selain itu, sambung PPI Belanda, ketiga pihak yang terlibat acara tidak menemui keluarga Athaya.
"Pihak keluarga juga menyampaikan adanya indikasi penutupan keterangan kegiatan apa dan siapa yang dipandu almarhum di Wina dari pihak EO," ujar PPI Belanda.

PPI Belanda mendesak adanya akuntabilitas serta transparansi penuh dari event organizer (EO) dan koordinator liaison officer (LO) atas meninggalnya Athaya.
"Kami juga menuntut adanya respons turut berduka cita dan klarifikasi dari para pejabat publik terkait yang turut serta dalam kegiatan kunjungan kerja di Wina pada hari itu," kata salah satu perwakilan PPI Belanda saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (9/9).
Perwakilan PPI Belanda menambahkan bahwa praktik pelibatan mahasiswa dalam kegiatan kunjungan pejabat publik di luar negeri harus segera dihentikan selama tidak disertai mekanisme resmi, perlindungan hukum, atau kontrak kerja yang jelas.
Kini, PPI Belanda tengah membangun kesadaran kolektif di kalangan mahasiswa Indonesia sebagai langkah mitigas supaya tragedi Athaya tidak terulang.
Strategi yang diambil yaitu meminta mahasiswa Indonesia tidak menerima serta segera melapor ke PPI Belanda apabila terdapat tawaran menjadi pendamping yang mencurigakan—datang dari jalur pribadi atau pertemanan, misalnya.
"Sehingga bisa ditangani secara kolektif," tandas perwakilan PPI Belanda.
PPI Belanda juga bakal memperkuat koordinasi yang lebih erat dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag, Belanda, supaya "setiap kegiatan yang melibatkan mahasiswa dapat dikelola dengan baik, saling menginformasikan, dan memastikan perlindungan penuh bagi mahasiswa," sebut perwakilan PPI Belanda.
Informasi yang serba gelap
Petunjuk yang diberikan PPI Belanda dalam siaran pers mereka menyatakan pejabat publik yang didampingi Athaya berasal dari DPR, OJK, dan Bank Indonesia.
Sedangkan pihak penyelenggara acara (EO) maupun koordinator liaison officer (LO) tidak diketahui identitasnya.
BBC News Indonesia berupaya menyisir kemungkinan ihwal kunjungan kerja ini. Hubungan antara DPR, OJK, dan BI amat mungkin berkaitan dengan urusan keuangan serta perbankan.
DPR, khususnya Komisi XI, menjalin kemitraan bersama BI dan OJK.
Pada 22 Agustus 2025, Komisi XI mengadakan rapat kerja dengan menteri keuangan, BI, serta OJK, membahas tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2026. Rapat dipimpin Ketua Komisi XI dari Fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun.
Beberapa hari setelah rapat kerja itu, Komisi XI mengadakan kunjungan kerja ke luar negeri, berdasarkan informasi yang BBC News Indonesia himpun dari laman resmi salah satu fraksi di DPR.
Merujuk laman tersebut, agenda kunjungan ke luar negeri Komisi XI diselenggarakan dari 25 Agustus sampai 1 September 2025.
Tidak dijelaskan negara mana yang dituju.

Pemberitaan di media menunjukkan bahwa salah satu negara yang dimaksud adalah Australia. Agenda kunjungan kerja di Australia ditempuh pada 26 Agustus hingga 1 September 2025.
Kunjungan kerja ini ramai dibicarakan di media sosial sebab dianggap publik tidak memperhatikan situasi dalam negeri saat demonstrasi menuntut penghapusan tunjangan rumah anggota DPR pecah di sejumlah kota besar.
Apalagi, nama Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbakhun, tercatat di daftar peserta Sydney Marathon 2025.
Misbakhun menampik bahwa kedatangannya ke Australia untuk mengikuti ajang lari internasional.
Anggota Komisi XI yang lain, Melchias Marcus Mekeng, menuturkan kunjungan kerja ke Australia sudah direncanakan tiga bulan sebelumnya.
Kedatangan anggota dewan ke Australia diklaim bagian dari kerja komisinya. Di luar Komisi XI, agenda turut dihadiri mitra terkait seperti BI dan OJK.
BBC News Indonesia belum memperoleh informasi kunjungan kerja selain ke Australia.
Kami tidak dapat memastikan siapa saja yang berkunjung ke Austria.
BBC News Indonesia telah melayangkan permintaan konfirmasi kepada Komisi XI DPR, BI, serta OJK sehubungan kunjungan kerja ke Wina.
Hingga artikel ini diterbitkan, mereka belum memberikan respons.
Sementara di laman resmi maupun media sosial ketiga lembaga tersebut, tidak ada satu pun klarifikasi atau tanggapan terhadap kematian Athaya.
Kementerian Luar Negeri Indonesia membenarkan meninggalnya Athaya punya korelasi dengan kunjungan pejabat Indonesia di Wina, akhir Agustus 2025.
Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha, mengatakan kunjungan kerja tersebut "dalam rangka pertemuan dengan otoritas setempat."
Judha tidak merinci siapa otoritas yang dimaksud dan apa bentuk agendanya.
Setelah mendengar kabar kematian Athaya, Kemlu dan KBRI Wina segera berkomunikasi untuk mengurus pemulangan jenazah ke Indonesia, terang Judha.
"Sesuai permintaan keluarga, jenazah almarhum telah dipulangkan ke tanah air pada 4 September 2025," ujar Judha.
Judha memastikan penugasan panitia dari kalangan mahasiswa untuk pendampingan kunjungan pejabat dikelola langsung oleh pihak penyelenggara acara (EO) asal Indonesia.

KBRI Den Haag, lewat surat yang ditandatangani Wakil Kepala Perwakilan RI Den Haag, Mariska Dwianti Dhanutirto, berharap seluruh mahasiswa tetap waspada serta mengutamakan keselamatan maupun keamanan di setiap kegiatan.
"Aspek perlindungan WNI selalu menjadi prioritas utama dalam tugas dan pelayanan KBRI," jelas KBRI Den Haag.
KBRI Den Haag juga berkomitmen untuk memberikan bantuan kepada keluarga Athaya jika diperlukan.
Isi surat KBRI Den Haag, yang dikirimkan ke PPI Belanda, tidak membahas mengenai kunjungan kerja yang dilakukan para pejabat maupun penyelenggara acara yang menjadikan Athaya sebagai pendamping.
Pelibatan mahasiswa dalam kunjungan pejabat ke luar negeri
Praktik pelibatan mahasiswa Indonesia di luar negeri untuk menemani pejabat yang sedang melakukan kunjungan bukanlah hal baru.
"Tapi, yang kami tahu dari teman-teman mahasiswa dan dari teman-teman PPI ketika ini terjadi cukup lazim. Bahwa, misalnya, ada rombongan yang datang kemudian mahasiswa dihubungi untuk diminta bantuan sebagai pendamping," papar perwakilan dari Gerak Solidaritas Belanda kepada BBC News Indonesia, Selasa (9/9).
Meski begitu, Gerak Solidaritas Belanda belum dapat merinci bagaimana praktik semacam ini terjadi. Gerak Solidaritas Belanda, kolektif sipil dan mahasiswa di Belanda, "masih mengumpulkan informasi selengkap mungkin," ujar salah seorang perwakilan.
Pada 4 September silam, Gerak Solidaritas Belanda melangsungkan aksi di depan KBRI Den Haag, mengikuti jejak masyarakat sipil di Indonesia yang selama akhir Agustus hingga awal September masif mendemo pemerintahan.
Tuntutan yang dibawa Gerak Solidaritas Belanda, salah satunya, adalah mendesak KBRI Den Haag untuk tidak memfasilitasi kedatangan pejabat negara terutama ketika tidak ada sangkut pautnya dengan penugasan atau pekerjaan mereka.
Sepengetahuan Gerak Solidaritas Belanda, KBRI tidak jarang 'membantu' kunjungan para pejabat, dalam arti menjemput mereka di bandara, misalnya.
"Permasalahannya muncul setelah [rombongan pejabat] tidak difasilitasi KBRI lagi," ucap perwakilan Gerak Solidaritas Belanda.

Di sinilah kemudian kemungkinan para pejabat menghubungi teman-teman mahasiswa Indonesia di Belanda terbuka begitu lebar, imbuh Gerak Solidaritas Belanda.
Mahasiswa, biasanya, diminta mendampingi pejabat selama kunjungan berlangsung.
Gerak Solidaritas Belanda melihat kondisi ini bermasalah.
Pertama, para pejabat terkadang menjalankan agenda di luar jadwal kunjungan resmi, seperti jalan-jalan. Pemberitahuan kepada KBRI tidak jarang absen dilakukan.
Kedua, karena tidak resmi maka posisi mahasiswa menjadi rentan. Mereka bekerja dalam situasi abu-abu: tidak memiliki dokumen maupun kontrak kerja.
"Mereka kemudian bisa saja atau sangat mungkin dibayar di bawah standar," tegas perwakilan Gerak Solidaritas Belanda.
Di Belanda, Gerak Solidaritas Belanda mencontohkan, realitas mahasiswa di kelompok strata pertama (S1) banyak diisi mereka yang membiayai sendiri kuliahnya (self-funding).
Demi menambah uang saku, tidak sedikit dari mereka yang mengambil pekerjaan sampingan.
Mendampingi rombongan-rombongan yang singgah ke Belanda merupakan satu dari sekian pilihan yang diambil mahasiswa Indonesia.
"Nah, kalau yang seperti digunakan sebagai pemandu ini belum tentu sesuai dengan aturan-aturan yang ada," kata perwakilan Gerak Solidaritas Belanda.
Di Belanda, ruang bekerja yang sifatnya sampingan (part time) tidak dibiarkan serampangan. Contohnya bekerja di restoran yang terdapat standar upah tiap jamnya, demikian dijelaskan Gerak Solidaritas Belanda.
Dalam konteks pemandu rombongan, Gerak Solidaritas Belanda curiga pengaturannya diterapkan dengan lemah.
"Kalau yang seperti ini itu bisa nego dan karena tidak ada kontrak artinya posisi mereka juga lemah. Misalnya, tidak ada batasan jam kerja," imbuh Gerak Solidaritas Belanda.
Kasus kematian Athaya, Gerak Solidaritas Belanda menuturkan, terindikasi hasil dari menabrak batasan-batasan ideal tentang sistem kerja.
"Jadinya dia kecapekan, tidak memperhatikan makan dan minum, dan kelelahan selama mendampingi [rombongan]," tandas perwakilan Gerak Solidaritas Belanda.
Bagi mahasiswa Indonesia di Belanda, keputusan untuk menolak tawaran pendampingan tidak mudah dilakukan, jelas Gerak Solidaritas Belanda. Terlebih kalau terdapat unsur KBRI turut ikut campur tangan.
Agar hubungan dengan KBRI tetap kondusif mengingat banyak urusan yang mesti melewati pintu mereka, seperti surat-menyurat atau administratif, mahasiswa Indonesia seringkali berkompromi dan mengiyakan permintaan untuk mendampingi para pejabat.
Gerak Solidaritas Belanda mendefinisikannya dengan "relasi kuasa yang tidak seimbang antara mahasiswa Indonesia dan KBRI."
"Dan kami tidak bilang bahwa ini intensional. Bisa saja tidak begitu tapi yang terjadi kurang lebih seperti itu," ucap Gerak Solidaritas Belanda.
"Ini yang kemudian memunculkan kerentanan-kerentanan kepada teman-teman mahasiswa."

Baik jalur resmi atau tidak, permintaan untuk menemani rombongan, pada akhirnya, tidak sepenuhnya menguntungkan mahasiswa Indonesia.
Kalau melalui jalur resmi, dalam arti pihak KBRI yang menjembatani, mahasiswa akan sungkan menolak karena "memiliki kepentingan menjaga hubungan baik dengan KBRI."
Sebaliknya jika jalan nonformal yang diambil, konsekuensinya mahasiswa mungkin tidak mendapatkan jaminan pemenuhan hak sekaligus perlindungan yang memadai, sebagaimana diduga menimpa Athaya.
"Ada dugaan bahwa ini banyak jalur-jalur tidak resmi, sebenarnya. Jadi, kunjungan yang sifatnya mengontak siapa untuk dicarikan pendamping, begitu," ujar Gerakan Solidaritas Belanda.
Gerakan Solidaritas Belanda mengaku masih kecewa—dan sulit menerima—dengan kematian Athaya. Kolektif ini tidak pernah membayangkan bagaimana seorang anak muda, berusia 18 tahun, yang tengah menata masa depannya justru bernasib tragis.
Peristiwa yang menimpa Athaya, Gerak Solidaritas Belanda mengakui, telah mendorong mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda untuk membagi pengalaman buruknya.
Gerak Solidaritas Belanda memasang harapan bahwa nantinya cerita-cerita tidak menyenangkan dari mahasiswa yang masih kuliah maupun sudah lulus perihal menjadi pendamping para pejabat mampu membuka pintu perbaikan kepada otoritas.
Satu hal yang pasti, sebelum melangkah jauh ke sana, Gerak Solidaritas Belanda meminta pemerintah mengusut sampai tuntas kematian Athaya.
"Yang terjadi, saat ini, kemudian menutupi, yang dilindungi kemudian adalah rombongan ini. Rombongan yang sebenarnya dari sejak datang dan praktiknya itu sudah salah. Mereka menggunakan mahasiswa sebagai pemandu saja sudah praktik yang kurang lebih korup," pungkas Gerak Solidaritas Belanda.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, menepis anggapan KBRI berkontribusi dalam masalah pendampingan pejabat di luar negeri.
Tugas KBRI, selaku perwakilan Indonesia, adalah "memfasilitasi dan mengoordinasikan pertemuan resmi delegasi pemerintah dengan mitra kerja di negara yang terakreditasi," tutur Judha.
"Dalam kerangka kerjasama bilateral, regional, maupun multilateral," tambahnya ketika dikonfirmasi BBC News Indonesia, Jum'at (12/9).
Pada pelaksanaannya, sebut Judha, delegasi Indonesia dapat menunjuk EO (event organizer) untuk membantu pengelolaan kegiatan selama berada di luar negeri.
"Jika terdapat pelibatan mahasiswa, hal tersebut merupakan kesepakatan langsung antara EO dengan mahasiswa yang bersangkutan," Judha menegaskan.
Kementerian Luar Negeri, secara prinsip dan praktiknya, menekankan agar "pelibatan mahasiswa atau pihak ketiga harus memperhatikan aspek perlindungan," kata Judha.
"Dan juga dilakukan sesuai hukum setempat yang berlaku," tutupnya.
KBRI Den Haag, melalui email yang dikirim ke BBC News Indonesia, mengungkapkan pihaknya memfasilitasi kunjungan kerja delegasi Indonesia (kementerian atau lembaga), khususnya pengaturan agenda resmi yang telah direncanakan sebelumnya.
"Seperti pertemuan dengan institusi atau mitra kerja di Belanda maupun dengan diaspora Indonesia," demikian tulis KBRI Den Haag, diwakili Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya, Jum'at (12/9).
Perihal kemungkinan terdapat keterlibatan dalam permintaan pendampingan pejabat, KBRI Den Haag menyatakan "tidak pernah melakukannya kepada para mahasiswa."
Tabiat lama yang sudah sering dikritik
Kunjungan pejabat ke luar negeri kerap kali diklaim sebagai upaya menunjang kinerja. Kunjungan kerja semacam ini dilakukan di instansi pemerintah, mulai dari kementerian, lembaga, maupun DPR.
Mekanisme pengajuan kunjungan kerja ke luar negeri mesti melewati tahapan yang panjang, melibatkan pejabat selevel menteri atau presiden kalau berbicara dalam lingkup jajaran eksekutif.
Dalam perkembangannya, kunjungan kerja ke luar negeri dikritik lantaran melenceng dari tujuan utamanya.
Indonesian Corruption Watch (ICW) pernah menyebut bahwa kunjungan kerja ke luar negeri adalah sarana pejabat publik untuk jalan-jalan dibanding bekerja secara profesional.
Kritik ICW, waktu itu, menyasar para anggota dewan.
Di lapangan, kunjungan pejabat ke luar negeri juga membikin pihak lain kelimpungan, salah satunya pegawai di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di negara yang didatangi pejabat bersangkutan.

Kepada wartawan Riana A. Ibrahim yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, seorang pekerja di KBRI yang menolak identitasnya dan lokasinya diungkap karena alasan keamanan menuturkan kunjungan pejabat ke luar negeri telah memaksa KBRI bersiasat.
"Biasanya, bapak pejabat itu membawa istri dan anak, dan nanti KBRI mulai mengakali bagaimana supaya anggaran keluar seolah-olah bukan untuk jalan-jalan mereka," cerita pegawai KBRI tersebut.
"Jadi, dibuatkan acara khusus, biasanya judulnya "jamuan" yang judulnya biasanya itu sosialisasi ini dan itu."
Dengan begitu, ungkap narasumber yang sama, "anggaran KBRI tetap terpakai untuk kegiatan KBRI."
Anggaran "perjamuan" ini diambil dari alokasi yang sudah dibagi sesuai peruntukannya. Duta besar (dubes) yang bertugas akan meminta bendahara mengambil uang untuk kelak dipakai dalam "mengurus" pejabat yang datang.
Tak hanya itu, para pejabat tamu turut "memakai" jasa staf di KBRI, bahkan di luar jam kerja, untuk menemani mereka jalan-jalan atau berbelanja.
Dari segi fasilitas, pejabat juga sering memakai kendaraan milik KBRI.
"Enggak mungkin mereka sewa mobil di negara setempat. Jadi pasti pakai mobil KBRI," imbuhnya.
Hal yang sama ditemukan untuk urusan makan atau penginapan yang, menurut pegawai di KBRI, "pasti memakai uang KBRI."
"Tapi, kalau ada yang cukup tahu diri, biasanya mau menginap di wisma dubes atau wisma tamu kita," tambahnya.
Dimensi masalah tidak cuma hadir saat pejabat berkunjung, melainkan bagaimana pejabat menggunakan 'power'-nya untuk kepentingannya sendiri.
Pada Juli 2025, beredar surat berkop Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berisikan permintaan mendampingi istri menteri UMKM kepada enam kedubes (kedutaan besar) dan satu konsulat jenderal.
Publik seketika marah. Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, menolak kebenaran kabar yang ada. Dia menegaskan tidak pernah memerintahkan jajarannya untuk membuat surat tersebut.
Pada 2016, anggota DPR yang kini menjabat menteri kebudayaan, Fadli Zon, dituding meminta penyediaan fasilitas negara dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) untuk kegiatan anaknya selama di New York, AS.
Fadli Zon membantah tuduhan itu. Dia mengklarifikasi isu yang berkembang dengan mengembalikan uang sebesar Rp2 juta untuk mengganti biaya bensin dan tip sopir yang menjemput anaknya dari bandara ke wilayah Queens.
Presiden Prabowo Subianto, tidak lama usai dilantik, mengingatkan kepada pejabat di bawahnya agar tidak kelewat sering melakukan dinas ke luar negeri.
"Kegiatan-kegiatan yang terlalu seremonial, terlalu banyak sarasehan, terlalu banyak konferensi, terlalu banyak perjalanan luar negeri, tolong dikurangi," paparnya.
Sedangkan baru-baru ini, merespons tuntutan dari publik, DPR memastikan bahwa perjalanan ke luar negeri akan dihentikan per 1 September 2025.
Apakah komitmen pemerintah benar-benar dapat ditegakkan, terutama setelah kematian Athaya yang diduga keletihan selepas menemani kunjungan pejabat di luar negeri?
Wartawan Riana A. Ibrahim di Jakarta berkontribusi dalam laporan ini.