Adhie Massardi: Banyak Cara Seret Jokowi ke Pengadilan, Paling Cepat Ya Pakai Whoosh
Adhie Massardi: Banyak Cara Seret Jokowi ke Pengadilan, Paling Cepat Ya Pakai Whoosh
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Juru Bicara Presiden keempat RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie M. Massardi, blak-blakan mengenai Presiden ketujuh RI, Joko Widodo (Jokowi).
Adhie memberikan komentar menohok terkait proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh yang kini tengah menjadi sorotan publik.
Ia menyinggung soal potensi pertanggungjawaban hukum ayah Wapres Gibran Rakabuming Raka itu atas dugaan penyimpangan dalam proyek raksasa tersebut.
“Banyak pintu untuk masukkan Jokowi ke ruang sidang pengadilan,” ujar Adhie di X @AdhieMassardi (16/10/2025).
Ia bahkan menyebut jalur tercepat untuk memproses hukum Jokowi bisa dimulai dari proyek kereta cepat yang kini tengah disorot karena pembengkakan biaya yang mencapai triliunan rupiah.
“Paling cepat ya memang pakai whoosh,” ucapnya menegaskan.
Dikatakan Adhie, peluit dugaan skandal keuangan proyek ini sejatinya telah lebih dulu ditiup oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang sebelumnya menolak pembiayaan KCJB menggunakan dana APBN.
“Peluit skandal keuangan yang rugikan negara Rp triliunan itu ditiup Menkeu Purbaya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Adhie menegaskan Jokowi tidak bisa lepas dari tanggung jawab moral dan hukum atas proyek tersebut karena sejak awal ide pembangunan kereta cepat berasal darinya secara pribadi.
“Jokowi wajib tanggung jawab, coz ide Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung itu 100 persen terbukti dipaksakan Widodo (Jokowi),” tandasnya.
Sebelumnya, Mahfud MD menyinggung dugaan adanya markup besar-besaran dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh.
Mahfud mengungkapkan, biaya pembangunan per kilometer di Indonesia mencapai 52 juta dolar AS, jauh lebih mahal dibandingkan 17-18 juta dolar AS di China.
“Naik tiga kali lipat kan? Ini siapa yang naikkan, uangnya ke mana?,” ujar Mahfud dikutip pada Kamis (16/10/2025).
Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan bahwa proyek ini awalnya ditawarkan kepada Jepang dengan bunga pinjaman hanya 0,1 persen.
Namun, pemerintah kala itu justru memilih kerja sama dengan China, yang bunganya naik dari 2 persen menjadi 3,4 persen.
Menurut Mahfud, keputusan tersebut diambil meski sudah ada penolakan dari Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan, karena dinilai tidak layak secara ekonomi.
"Pak Jonan bilang tidak visibel, akhirnya malah dipecat,” kata Mahfud, mengutip keterangan pengamat kebijakan publik, Agus Pambagyo.
Mahfud menambahkan, hingga kini beban utang proyek kereta cepat terus membengkak.
Setiap tahun, bunga utang yang harus dibayar mencapai Rp2 triliun, sedangkan pendapatan dari tiket hanya sekitar Rp1,5 triliun.
"Artinya, negara nombok terus. Kalau begini, rakyat yang dirugikan,” tegas Mahfud.
Karena itu, Mahfud mendukung langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa yang menolak pembiayaan proyek kereta cepat menggunakan APBN.
Ia juga mengingatkan bahaya jika Indonesia gagal membayar utang kepada China.
Mahfud mencontohkan kasus Sri Lanka yang kehilangan pelabuhan strategis karena gagal melunasi pinjaman ke negara tersebut.
"Kalau gagal bayar, jangan-jangan China minta kompensasi wilayah, misalnya di Natuna Utara. Itu berbahaya, melanggar konstitusi kita,” tegasnya.
(Muhsin/Fajar)
