Ancaman Bom ke Sekolah Internasional Dinilai Tak Terkait Jaringan Teroris, Pengamat: Bisa Jadi Cipta Kondisi Politik - tvOnenews.com
Ancaman Bom ke Sekolah Internasional Dinilai Tak Terkait Jaringan Teroris, Pengamat: Bisa Jadi Cipta Kondisi Politik
- Reporter :
- Editor :Dean Pahrevi
Jakarta, tvOnenews.com - Ancaman bom yang menyasar sejumlah sekolah internasional di Jakarta belakangan ini dinilai tidak selalu terkait jaringan terorisme aktif, seperti kelompok ISIS atau jaringan ekstrem lain.
Pengamat terorisme dan intelijen, Haris Abu Ulya menilai, pola ancaman semacam itu bisa muncul dari berbagai motif, mulai dari penipuan siber, kepentingan politik, hingga skenario cipta kondisi tertentu.
“Kasus teror bom ke sekolah internasional tidak begitu korelatif dengan penangkapan empat orang di wilayah Sumatera. Saat ini, siapa pun dengan niat jahat bisa menciptakan kepanikan di kelompok masyarakat tertentu dengan modus ancaman bom,” ujar Haris Abu Ulya kepada tvOnenews.com, Rabu (8/10).
Menurut Haris Abu, ancaman bisa dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk kepentingan yang berbeda-beda.
“Motifnya bisa murni mencari keuntungan materi, bisa juga sebagai usaha cipta kondisi untuk kepentingan politik dari kelompok kontra status quo saat ini,” ungkapnya.
Lebih jauh, Haris Abu juga tidak menutup kemungkinan adanya skenario lain di balik ancaman tersebut.
“Bisa saja ini adalah agenda simulasi penanganan bom dari pihak terkait, atau masih terkait perilaku sporadis dari sisa-sisa kelompok ISIS,” ujarnya.
Ia berharap negara dan lembaga berwenang, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) atau instansi terkait lainnya dapat menelusuri pelaku di balik teror tersebut, terutama setelah jejak ancaman diketahui menggunakan kode akses dari wilayah Nigeria.
Haris Abu juga memperingatkan bahwa ancaman serupa berpotensi terulang, mengingat kemudahan akses teknologi yang memungkinkan siapa pun menyebar teror dari mana saja.
“Pengulangan ancaman bom sangat potensial terjadi karena kemudahan publik melalui internet untuk mengakses target yang diinginkan. Kasus dua kali ancaman bom pesawat dari Saudi ke Jakarta yang harus mendarat darurat di Medan adalah contoh konkret yang bisa berulang,” jelasnya.
Lebih lanjut, Haris menyebut bahwa tidak semua ancaman bom murni tindakan terorisme. Dalam beberapa kasus, bisa jadi itu bagian dari skenario "cipta kondisi" oleh pihak tertentu.
“Atau semisal, orang gegana, densus, dan sebagainya minta ada yang bikin ‘ulah’ agar simulasi penanganan bom bisa digelar. Tapi ini sensitif, karena menyentuh ranah intelijen yang tidak bisa diungkap di ruang publik,” katanya.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa praktik simulasi keamanan seharusnya dilakukan secara terbuka dan terkoordinasi, agar tidak menimbulkan kepanikan.
“Biasanya SOP-nya, instansi yang dijadikan target simulasi dihubungi dulu oleh pihak pelaksana agar orang-orang di lokasi tidak panik. Tapi pola itu bisa berubah dan tidak baku, apalagi kalau masuk ranah aksi intelijen gelap,” tegas Haris.
Haris menilai, yang terpenting saat ini adalah transparansi aparat dalam menangani setiap ancaman bom, serta penguatan sistem keamanan digital dan komunikasi publik agar masyarakat tidak mudah panik maupun terjebak dalam permainan pihak tak bertanggung jawab.
Diketahui, dua hari belakangan ini terdapat ancaman bom di tiga sekolah bertaraf internasional, seperti Jakarta Nanyang School, Mentari Intercultural School, dan North Jakarta Intercultural School (NJIS).
Teranyar diketahui, ancaman bom di NJIS diduga bermotif pemerasan. Sebab, pelaku pengirim pesan meminta uang tebusan dalam bentuk mata uang kripto senilai 30.000 dolar AS.
Adapun, pesan ancaman tersebut dikirim melalui WhatsApp dengan nomor asal Nigeria. (rpi/dpi)