Puluhan Tahun Andalkan Air Hujan, Kini Hasil Panen Petani di Ambon Melonjak Berkat Pompa Air Ramah Lingkungan - Kompas
Puluhan Tahun Andalkan Air Hujan, Kini Hasil Panen Petani di Ambon Melonjak Berkat Pompa Air Ramah Lingkungan


AMBON, KOMPAS.com - Puluhan tahun hidup di wilayah pegunungan yang jauh dari sumber mata air, membuat hampir seluruh warga Dusun Kranjang, Desa Wayame, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon bergantung pada air hujan.
Mandi, makan minum, hingga berkebun airinya diperoleh dari air hujan.
Air Perusahana Daerah Air Minum (PDAM) tidak berjalan optimal di sana.
Dusun ini berjarak 7,4 kilometer dari pusat kota Ambon. Berada di ketinggian 1.280 mdpl dengan karakter tanah berbatu.
Meski begitu, Dusun Kranjang dianugerahi lingkungan yang sejuk dan dingin. Apalagi, diapit oleh area hutan lebat yang berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah, asri dan teduh.
Sebagian warga yang tinggal di sana menjadi petani dengan menggarap area hutan di sekitar dusun sebagai lahan bercocok tanam.
Kondisi sulit air pun praktis mengubah sistem bertanam mereka secara turun temurun.
Mereka mengandalkan sepenuhnya sistem perairan ke areal kebun dari air hujan untuk menyirami aneka sayur, buah tomat, cabai, ketimun, kacang-kacangan, hingga tanaman penghasil minyak atsiri.
Saat musim hujan, air ditampung di bak atau tong. Air itu nantinya digunakan saat musim kemarau untuk menyiram tanaman dengan sistem irigasi sederhana.
La Tami, pria 53 asal Dusun Kranjang, petani yang telah menerapkan sistem bertani serupa selama puluhan tahun.
Profesinya itu merupakan warisan dari sang ayah yang juga seorang petani.
Di lahan miliknya, Tami menanam tomat, cabai, juga sayur sawi. Selama puluhan tahun seluruh tanamannya itu disirami dengan air hujan.
Meski kerap alami gagal panen, atau rusak, Tami dan petani lain tak punya pilihan lain.
“Katong (kami), mau budidaya sayur itu sangat susah di musim kemarau. Sebelumnya tidak pernah dapat air, katong tadah hujan. Tidak ada sumber air yang dekat,” ucap Tami saat kompas.com berkunjung ke areal kebunnya Selasa (28/10/2025).
Warga lain juga menadah air hujan untuk digunakan kebutuhan sehari-hari. Dulu, kata Tami ada sumber air yang digunakan warga.
Hanya saja, berada di dalam hutan yang berjarak sekira 4 kilometer dari perkampungan.
Mereka merasa sumber air itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan warga apalagi dibagi untuk kebutuhan bertanam.

Pemerintah Kota Ambon, katanya pernah memberikan bantuan bagi petani berupa mesin pompa air jet pump dengan daya listrik.
Berkat mesin pompa itu, Tami dan para petani bisa sedikit bernafas lega. Mereka sudah tidak lagi mengandalkan air hujan.
Tanaman bawang merah yang kala itu ditanam subur dengan irigasi yang lancar saat musim hujan pun kemarau.
Hanya saja, muncul masalah baru. Pengeluaran para petani membengkak saban bulan.
“Setiap minggu katong harus bayar listrik itu sampai Rp 200.000. Sebulan bisa sampai Rp 800.000. Itu belum termasuk pemakaian warga di rumah. Kalau dihitung-hitung pengeluaran sangat besar hanya untuk listrik air saja. Belum yang lain, rugi,” tutur ketua Kelompok Tani Subur Dusun Kranjang itu.
Dengan pengeluaran tersebut, usaha pertaniannya dipastikan tidak berkembang baik.
Karena itu, pada setiap kesempatan, Tami berupaya agar krisis air di kampungnya bisa menjadi perhatian berbagai pihak, khusunya bagi kalangan petani.
Hasil panen yang baik erat kaitannya dengan kualitas dan ketersediaan air. “Selama bertahun-tahun tadah air hujan, minusnya karena tidak bisa atur pengairan di kebun,” ucap bapak tiga anak itu.
Para petani Kranjang pun tetap berusaha bertahan dengan hasil panen seadanya hingga mereka menggunakan cara lain.
Di bawah koordinasinya, Kelompok Tani Subur dan petani lainya mulai beralih mengganti pompa tenaga listrik dengan tenaga kinetik.
Mesin pompa air yang mereka gunakan sejak enam tahun lalu itu adalah yang tanpa tersambung listrik.
Sumber mata air baru mereka dapatkan berjarak hanya 1 kilometer dari perkampungan. Lebih dekat dari sebelumnya, berada di sungai Wayame.
Bersama warga, mereka menggali sumber air hingga kedalaman 80 meter.
“Katong dapat sumber air di kali Wayame karena dia letaknya agak ke bawah jadi cukup dalam. Jaraknya hanya 1 kilometer ke arah barat,” kata dia.
Pompa air itu merupakan pompa air ramah lingkungan (porling) yang merupakan bantuan corporate social responsibility (CSR) PT Pertamina Patra Niaga Integrated Terminal (IT) Wayame.
Ia menggunakan cara kerja dengan menarik air dari sumber air, ke lokasi lahan petani di dusun Kranjang.
Lokasi sumber air memang dekat ke perkampungan. Namun, posisinya lebih rendah dari permukiman penduduk sehingga butuh alat pompa yang tepat tanpa menguras kantong.
Sistem kerja proling bantuan Pertamina ini dengan memanfaatkan energi kinetik aliran air, tanpa membutuhkan listrik atau bahan bakar.
Pompa ramah lingkungan ini juga menjadi inovasi pertama yang ada di Provinsi Maluku dan digunakan oleh para petani di Kota Ambon.
Melalui inovasi porling, kemampuan pendistribusian air bersih mencapai hingga 302.950 liter air bersih per tahun yang digunakan oleh 1.143 jiwa dan mengairi 11 hektare lahan pertanian.
Efisiensi luar biasa dari teknologi ini berkontribusi terhadap penghematan biaya operasional air bersih sebesar Rp 1,39 miliar per tahun.
Agar bisa digunakan oleh petani dan mereka memasang pipa dari sumber air sepanjang 250 staf sampai ke area perkebunan.
Bahkan, sebagain warga juga ikut merasakan dampak dengan pemasangan porling. Kebutuhan air tidak hanya untuk di kebun, tapi juga kebutuhan rumah tangga.
“Katong juga pakai di rumah. Mesin jalan 24 jam. Kalau mesin mandek baru cek ke lokasi. Dan juga biaya perwatan murah. Sehari tidak sampai Rp 100. Rencananya tahun depan akan tambah alat baru untuk kebutuhan lebih luas di masyarakat,” ucapnya.
Hasilnya, kualitas dan jumlah produksi petani meningkat. Dalam sekali panen tomat, mereka mampu memetik 5-6 ton.
Jika dikalikan dengan harga terendah tomat Rp 5.000 perkilogram, keuntungan kotor yang dibawa pulang Tami sekira Rp 30 juta sekali panen.
Dalam satu perideo tanam, petani tiga kali panen dalam setahun. Artinya, para petani di Dusun Kranjang bisa membawa pulang hingga Rp 100 juta dalam setahun. Itu khusus untuk satu jenis tanaman saja.
Selam 22 tahun menjadi petani, baru dalam enam tahun terakhir ini Tami merasakan dampak besar dari penggunaan porling.
Air yang dulunya menjadi masalah kini teraliri hampir ke sebagian besar rumah di kampungnya.
Dari hasil bertani, dia berhasil menyekolahkan ketiga anaknya dan mtengah merampugnkan satu lagi rumah pribadi bakal warisan anak cucu.
“Dampaknya sangat terasa dan signifikan. Hasil panen tomat melonjak dari awalnyan 2,5 ton (2021) menjadi 9,5 ton (2024). Dan pemanfaatan air serta penggunaan pompa dilakukan oleh warga sendiri,” kata Program CSR Integrated Terminal Wayame, Risma Yusin.
Bahkan di awal Oktber pemanfaatna air dari porling sudah merembes ke usaha bududiaya ikan lele dan hidroponik.
Petani dan warga di sana berikan pelatihan melalui program CSR dan Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Pertamina Wayame untuk mengelola sumber daya alam secara besar dan tertanggungjawab.
Kini, kegigihan Tami dan kawan-kawan di Kranjang bisa kita nikmati di hampir seluruh toko modern dan pasar tradisional yang ada di Kota Ambon.
Seperti di Hypermart, Supermarket Dian Partiwi, Supermarket Oasis dan juga menjadi pasokan beberapa hotel dan rumah makan di Kota Ambon.
Program yang memajukan tidak hanya petani tapi juga kualitas hidup warga desa Dusun Kranjang itu juga membawa IT Wayame meraih penghargaan Gold dalam kategori Economic Empowerment di ajang Indonesia Social Responsibility Award (ISRA) 2025 melalui program CSR Inovasi Sosial "Wayame Hydro Bae".
Program tersebut selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin 6, khususnya air bersih dan sanitasi serta poin delapan, yakni pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi.