Rokok Ilegal: Dijual bak Kacang Rebus dan Laris di Pasaran - Kumparan
Rokok Ilegal: Dijual bak Kacang Rebus dan Laris di Pasaran
Rokok ilegal sangat mudah ditemui. Dijual bebas di marketplace sampai dijajakan di pinggir jalan seperti kacang rebus. Rokok tanpa cukai ini membuat negara rugi berlipat: penerimaan negara nihil meski pembeliannya meningkat.
***
Di sebuah persimpangan sempit di Jakarta Barat, seorang sopir menghentikan angkotnya di bawah lampu merah. Sembari menunggu lampu hijau, ia menyalakan lampu sein sambil mengeluarkan tangan dari jendela kaca. Sopir itu memberi kode kepada pria paruh baya yang menjajakan rokok ilegal di seberang jalan.
Si penjual sigap berdiri, mengambil sebungkus rokok tanpa pita cukai bermerek Smith, lalu berlari kecil menyeberang jalan dan langsung memberikan rokok isi 20 batang tersebut kepada sopir. Keduanya sama-sama paham layaknya hubungan setia pelanggan dan penjual.
“[Smith] Rp15 ribu,” kata penjual tersebut kepada kumparan seusai mengantarkan sebungkus Smith untuk sopir angkot, Kamis (2/9) malam.
Pria yang enggan disebut namanya itu khusus menjual rokok ilegal, rokok tanpa cukai dengan berbagai merek, termasuk merek plesetan dari beberapa jenama rokok ternama. Rokok-rokok ditata berdasarkan jenis, warna, dan harga di atas meja berukuran sekitar 120 cm.
Meja jualan ditutup plastik transparan dan akan dibuka bila ada pembeli. Di balik plastik tersusun rokok berbagai merek: dari Smith yang disebut menyerupai rasa Marlboro, mild, hingga merek Papi Mami; Bento; dan Lexi yang menyerupai rokok ESSE.
Berbagai merek tersebut dibanderol antara Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu. Harga ini jauh lebih murah bila dibandingkan dengan rokok legal dengan rasa yang hampir sama.
Smith—yang disebut rasanya mendekati Marlboro—misal hanya dijual seharga Rp 15 ribu, sedangkan Marlboro bisa mencapai Rp 50 ribuan per bungkus. Atau ESSE yang di minimarket dijual Rp 30–40an ribu, punya tandingan ilegal—yang rasanya disebut hampir sama—dengan nama merek Papi Mami seharga hanya Rp 13–15 ribu.

Sekilas, rokok ilegal yang dijajakan itu tak ada bedanya dengan yang berjejer di rak minimarket. Filter rokok ilegal juga dibuat menggunakan mesin. Bungkus yang digunakan pun persis dengan rokok pada umumnya. Perbedaan mencoloknya hanya ketiadaan pita cukai.
Perbedaan lainnya, rokok-rokok yang dijajakan tersebut tak tertera secara terang mengenai asal produksi atau PT. Beberapa rokok ilegal itu hanya ditulis “Produksi Jawa Timur - Indonesia” atau bahkan tanpa alamat produksi sama sekali. Rokok-rokok ilegal tersebut juga tak merinci kandungan-kandungan nikotin dan zat-zat lain.
Beberapa meter dari penjual pertama, seorang pria membuka lapak yang sama. Merek-merek rokok yang dijual sama. Lapaknya berdiri di sepanjang jejeran gerobak kaki lima. Dengan penerangan lampu cas seadanya, mereka menata rokok dengan berbagai merek di atas meja.
Dua penjaja rokok ilegal tersebut enggan menyebutkan secara terang sumber rokok-rokok yang mereka jual. Mereka hanya menyebutkan bahwa kebanyakan rokok yang mereka jual berasal dari Batam dan Jawa Timur.
“Rokok putihan aja sih yang dari Batam. Sisanya Madura (Jawa Timur) semua,” kata penjual tersebut.
Penjual kedua bahkan menyebutkan bahwa rokok yang ia jual tidak dibeli langsung ke pedagang besar. Ia mengaku membeli berslop-slop rokok ilegal di lokapasar atau marketplace lalu dijual kembali. “Di toko online banyak,” ucapnya.

Rokok Ilegal Laris karena Murah
Berdasarkan penelusuran kumparan, merek-merek rokok ilegal tersebut memang sangat mudah dijumpai di marketplace. Di sana rokok ilegal dijual dengan kata kunci atau keyword khusus seperti “tablet satu slop”, “PC Smith”, hingga “Smith-Apollo”.
Penjual rokok ilegal di marketplace juga kerap menyamarkan produk dagangannya dengan memasang gambar kaos hingga sandal, juga menambahkan kata-kata yang tak berhubungan dengan rokok di judul seperti “kalung liontin” atau “filter akuarium”
Penggunaan kata kunci khusus serta gambar dan judul barang dagangan yang disamarkan itu disinyalir untuk mengelabui sistem marketplace yang melarang penjualan rokok.
Di luar toko online, penjaja rokok tanpa cukai bak pedagang kacang rebus di pinggir jalan. Lapaknya buka malam hari dan mudah ditemui. Rokok ilegal dijajakan secara terbuka. Penjual serupa bisa ditemukan di sejumlah tempat di Jakarta, termasuk di sekitaran Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Rokok ilegal juga bisa ditemukan di beberapa warung kelontong. Salah satu pembelinya, Affad, bercerita punya warung langganan untuk mendapatkan rokok murah tanpa cukai.
Ya, rokok ilegal memang sudah beredar ke mana-mana, di tengah masyarakat. Barangnya ilegal, tapi penjualannya terang-terangan.

Affad sudah beberapa bulan belakang beralih ke rokok ilegal. Alasannya simpel, harganya lebih murah. Dengan isi 20 batang per bungkus dan rasa yang mendekati merek tertentu, Affad hanya perlu merogoh kocek Rp 15 ribu.
Sebelumnya ia mengkonsumsi rokok bercukai. Tapi harga yang tahun ke tahun terus melonjak membuat kantongnya meringis. Harga rokok legal yang ia konsumsi sebelumnya paling murah Rp 32 ribu per bungkus. Artinya, per bulan ia menghabiskan sekitar Rp 300 ribu.
Namun dengan adanya rokok ilegal, Affad bisa sedikit hemat tapi tetap ngebul.
“Untuk pengeluaran rokok setiap bulannya, pas pakai rokok ilegal ini, paling Rp 100.000 sampai Rp 150.000 sebulan, satu slop tuh, 10 bungkus. Cukuplah satu bulan,” kata Affad.
Perkenalan Affad dengan rokok ilegal bermula dari rekomendasi teman. Ia lalu mencoba mencari-cari ke warung rokok tanpa cukai itu dan masih belum berpaling.
“Mendekati juga [rasanya dengan rokok legal],” ucapnya.

Peralihan konsumsi ke rokok ilegal seperti dilakukan Affad terpotret dalam hasil survei Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE-FEB UB) pada April–Juni 2025. Survei itu menyebut bahwa alasan konsumen beralih ke rokok ilegal karena lebih ramah di kantong.
Direktur PPKE-FEB UB Candra Fajri Ananda menyatakan, dari 100% perokok, 80% di antaranya pernah mencoba rokok ilegal, terutama saat menghadapi tekanan ekonomi.
“Kalau perokok itu ada tekanan ekonomi, income-nya menurun, kehilangan pekerjaan, ya sudah 80% pasti geser ke rokok ilegal karena lebih murah,” ungkap Candra pada kumparan, Kamis (2/9).
Murahnya rokok ilegal yang mengancam industri rokok legal juga terpotret dalam survei PPKE-FEB UB. Dalam survei itu harga rokok ilegal yang paling banyak dikonsumsi (38,3%) berada di rentang Rp 100–599 per batang.
Harga yang murah itu sesuai dengan profil konsumen rokok ilegal yang sangat sensitif terhadap harga. Sebagian besar perokok ilegal (55,3%) membeli rokok dengan harga di bawah Rp 1.000 per batang, dengan tingkat konsumsi mayoritas 7–18 batang per hari.
Para perokok ilegal itu, menurut survei PPKE-FEB UB, sebagian besar adalah kalangan buruh dan pekerja harian dengan pendapatan di bawah Rp 2–4 juta per bulan.

Ada Beking Rokok Ilegal?
Tumbuh suburnya rokok ilegal membuat peredarannya meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kementerian Keuangan mencatat, peredaran rokok ilegal meningkat dari 3,03% pada 2019 menjadi 6,9% pada 2023. Sedangkan survei Indodata memperkirakan pasar rokok ilegal menguasai 46% pasar rokok nasional pada 2024.
Direktur PPKE-FEB UB Candra menyebut masifnya peredaran rokok tanpa cukai karena kebutuhan pasar meningkat. Daya beli tidak tumbuh signifikan, tapi harga rokok legal meroket, solusinya bagi konsumen adalah rokok murah.
Perputaran uang dalam perdagangan rokok ilegal tersebut menggiurkan. Rantai paling ujung saja, yakni penjaja eceran di Jakarta Barat, bisa meraup untung sekitar Rp 1 juta dalam semalam. Ini baru di beberapa tempat kecil di Jakarta, belum termasuk di pengepul-pengepul besar lainnya.
Saking menggiurkannya, menurut Candra, peredaran rokok ilegal dari Indonesia bahkan diduga mengalir hingga ke Negeri Jiran. Candra menyebut praktik ini diduga bisa terlaksana karena keterlibatan ‘beking’.

“Saya yakin mereka (produsen rokok ilegal) bisa keluar barangnya dari Indonesia sampai Malaysia, sampai Filipina, ya pasti bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang seharusnya bisa mengawasi,” ujar Candra.
Candra meyakini petugas Bea Cukai tahu pemain-pemain rokok ilegal tersebut. Pabrik-pabriknya pun disebut tak jauh dari daerah penghasil tembakau seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Temanggung, Jawa Barat, hingga Nusa Tenggara Barat.
“Rokok-rokok ilegal pasti di situ-situ aja [...] Saya punya feeling bahwa orang Bea Cukai juga tahu siapa-siapa mereka. Tapi mereka survive berarti ada yang ngelindungin,” ujar Candra.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi yakin petugas Bea Cukai bisa bertindak lebih agresif terhadap rokok ilegal. Dengan segala sumber daya yang dimiliki, Bea Cukai diyakini Benny bisa menyisir tidak hanya pengecer, tapi hingga ke distributor besar.

Bagi Benny, perdagangan rokok ilegal adalah kejahatan luar biasa, sebab peredaran rokok ilegal tak hanya menghilangkan pendapatan negara, tapi juga berdampak pada industri tembakau dan isu kesehatan.
“Kami harapkan [penindakan] bisa sampai ke hulu sehingga pabriknya, mesinnya, ada yang disita juga,” ujar Benny.
Dalam beberapa tahun terakhir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah beberapa kali menindak dan memusnahkan rokok ilegal. Pada 2023, DJBC telah menyita 253,7 juta batang rokok ilegal.
Setahun kemudian, jumlah rokok ilegal yang dimusnahkan melonjak tajam menjadi 710 juta batang. Sementara tahun ini, Bea Cukai telah menyita 745,9 juta batang rokok ilegal dari 12.041 penindakan hingga September.

Rugi Berlipat Akibat Rokok Ilegal
Membanjirnya rokok ilegal memukul negara secara bertubi-tubi. Dampaknya berlipat-lipat. Sudah negara rugi dari segi ekonomi, aspek kesehatan juga jadi taruhan.
Negara semestinya mendapatkan pemasukan dari setiap batang yang diisap, tapi karena rokok ilegal, merek-merek tersebut mengelabui cukai. Negara disebut berpotensi kehilangan penerimaan hingga puluhan triliun per tahun akibat rokok ilegal.
Dampak lainnya, akses terhadap rokok ilegal sangat gampang dan bebas. Rokok ilegal tak menghiraukan regulasi penjualan rokok. Akibatnya, konsumen berusia anak-anak bisa mengakses rokok secara bebas.
Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) mencatat tingkat konsumsi rokok pada anak di Indonesia semakin meningkat. Sekitar 23% anak-anak sudah mencoba merokok antara usia 10–14.
Ketua Komnas PT Teguh Dartanto menilai, angka tersebut sangat memprihatinkan karena rokok dianggap membuat generasi muda tak produktif.
“Ini sangat-sangat mengenaskan. Perokok usia dini itu semakin banyak,” jelas Teguh.

Candra mendesak Bea Cukai untuk meningkatkan frekuensi penindakan terhadap rokok ilegal seperti pada 2016-2017. Dampak penindakan besar–besaran waktu itu mampu menurunkan peredaran rokok ilegal dari 12,1% pada 2016 menjadi 7% pada 2018.
“Tunjukkan keseriusan [Bea Cukai] dalam menangani yang ilegal. Itu menjadikan pasar industri rokok jadi lebih fair. Kalau sekarang tidak fair. Perlakuan terhadap ilegal harus lebih tegas,” tutup Candra.
