Siapa Itu RSF yang Lakukan Pembantaian pada 2.200 Orang di Sudan? - Beritasatu.com
Siapa Itu RSF yang Lakukan Pembantaian pada 2.200 Orang di Sudan?
Jakarta, Beritasatu.com - Jumlah korban tewas akibat pertempuran di Kota Al Fasher, Provinsi Darfur Utara, Sudan, meningkat tajam menjadi sekitar 2.200 orang setelah kota tersebut sepenuhnya dikuasai oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada 26 Oktober 2025.
Dilansir dari Antara, data tersebut diungkap oleh juru bicara Tentara Pembebasan Sudan pro-pemerintah, Agad bin Kony, kepada RIA Novosti.
Menurutnya, korban yang tewas mencapai 2.227 orang, termasuk anak-anak, perempuan, dan lansia. Tak hanya itu, lebih dari 390.000 warga terpaksa mengungsi untuk menyelamatkan diri dari kekerasan yang terus meluas.
Kony menggambarkan situasi mengerikan di El Fasher. Ia menyebut banyak video beredar yang memperlihatkan para militan RSF menembaki warga sipil di rumah sakit Saudi, pusat pengungsian, dan masjid-masjid.
Serangan Drone Saat Subuh di Masjid Sudan Tewaskan 70 Orang
Banyak korban merupakan pasien dan pengungsi yang sedang mencari perlindungan di tengah aksi penembakan brutal itu.
Laporan lain menyebutkan, dalam empat hari terakhir saja, lebih dari 393.000 orang meninggalkan El Fasher akibat kekerasan intensif yang dilakukan RSF.
Kota ini merupakan benteng terakhir tentara Sudan di wilayah Darfur yang luas, dan telah dikepung secara agresif oleh RSF sejak tahun lalu.
Latar Belakang Konflik Sudan
Perang saudara di Sudan kini telah memasuki tahun ketiganya. Konflik berdarah ini melibatkan dua kekuatan utama, yakni tentara nasional Sudan dan RSF.
Pertempuran tersebut telah menewaskan puluhan ribu orang dan memaksa jutaan warga mengungsi, sementara sebagian besar wilayah negeri itu kini terancam kelaparan.
Meskipun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan mediator regional berulang kali menyerukan gencatan senjata, pertempuran terus berlangsung tanpa henti. El Fasher menjadi saksi terbaru dari eskalasi kekerasan tersebut.
Siapa Itu RSF?
Rapid Support Forces (RSF) merupakan kelanjutan dari milisi Janjaweed, yang dibentuk oleh pemerintah Sudan pada awal 2000-an untuk menumpas pemberontakan di Darfur.
Milisi ini merekrut pemuda dari komunitas Arab nomaden di Chad timur dan Darfur barat, dengan dukungan logistik dan pendanaan dari pemerintah serta pihak eksternal seperti Libya.
Sejak tahun 2003, Janjaweed terkenal karena taktik brutalnya—membakar desa, memperkosa perempuan, dan melakukan pembunuhan massal terhadap kelompok non-Arab seperti suku Fur dan Zaghawa.
Pada 2013, Presiden Omar al-Bashir kemudian mengesahkan pembentukan RSF sebagai entitas militer resmi dan menunjuk Mohamed Hamdan Dagalo, atau Hemedti, sebagai komandannya.
Awalnya RSF berada di bawah Dinas Intelijen dan Keamanan Nasional, namun pada 2017, melalui undang-undang baru, RSF dimasukkan ke dalam struktur militer nasional. Meski begitu, mereka tetap memiliki otonomi operasional yang luas.
Ekspansi dan Kekuatan Politik RSF
RSF terlibat dalam berbagai operasi, mulai dari patroli perbatasan hingga kampanye kontra-pemberontakan, bahkan berpartisipasi dalam misi militer di luar negeri seperti di Yaman dan Libya. Kegiatan ini memperluas pengaruh serta sumber pendapatan mereka.
Setelah kejatuhan Omar al-Bashir lewat kudeta militer pada April 2019, RSF memegang peran penting dalam pembentukan Dewan Militer Transisi.
Hemedti menjadi wakil kepala dewan tersebut, lalu menjabat sebagai wakil ketua Dewan Kedaulatan selama masa transisi politik Sudan.
Posisi ini membuat Hemedti memperkuat kekuasaan diplomatiknya. Ia menjalin hubungan strategis dengan negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, serta memperluas kekayaan ekonominya melalui perusahaan keluarga Al Junaid, yang bergerak di sektor pertambangan emas.
Pecahnya Perang Saudara
Ketegangan antara Hemedti dan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin militer Sudan, meningkat tajam pada awal 2023.
Perbedaan pandangan mengenai integrasi RSF ke dalam militer nasional menjadi pemicu utama konflik besar yang pecah pada 15 April 2023. Sejak itu, perang saudara di Sudan terus berlanjut tanpa kepastian akhir.
Pada 2025, RSF mengumumkan pembentukan apa yang mereka sebut “Pemerintahan Perdamaian dan Persatuan.” Namun banyak pihak menilai langkah tersebut hanyalah strategi politik untuk menguasai distribusi bantuan kemanusiaan dan mencari legitimasi internasional.
Tuduhan Kejahatan dan Kekerasan Sistematis
Sejak awal perang saudara, RSF dituduh melakukan berbagai pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional.
Laporan dari PBB, organisasi hak asasi manusia, dan lembaga riset independen mengungkap adanya pola kekerasan sistematis terhadap warga sipil di berbagai wilayah Darfur.
Pasukan RSF diduga terlibat dalam pembunuhan massal, penyiksaan, kekerasan seksual, dan eksekusi tanpa proses hukum terhadap komunitas non-Arab seperti Masalit, Fur, Zaghawa, dan Berti.
Pembantaian besar-besaran di El Fasher pada Oktober 2025 menjadi puncak dari pola kekerasan tersebut.
Citra satelit yang dianalisis oleh Humanitarian Research Lab Universitas Yale menunjukkan dugaan adanya parit massal dan bekas darah di jalanan, menandakan kemungkinan terjadinya pembersihan etnis.
Tuduhan Genosida dan Reaksi Internasional
Kekejaman RSF bukan hal baru. Tuduhan serupa muncul pada 2023 di El-Geneina, Darfur Barat, ketika ribuan warga Masalit dibantai oleh RSF dan milisi sekutunya. Human Rights Watch serta Amnesty International menyebut tindakan tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
RSF juga dituding melakukan pemerkosaan massal dan merampas sumber daya warga sipil sebagai bagian dari strategi untuk mengosongkan wilayah.
Pada 7 Januari 2025, Amerika Serikat secara resmi menyatakan bahwa anggota RSF telah melakukan genosida di Darfur, berdasarkan bukti lapangan dan kesaksian korban.
Wapres AS JD Vance Dukung Uji Coba Nuklir untuk Keamanan Nasional
PBB memperingatkan bahwa kekerasan RSF di El Fasher menandai fase baru genosida yang telah menghantui Sudan sejak 2003. Dengan sejarah panjang kekerasan etnis, RSF kini dianggap bukan hanya kekuatan militer, tetapi juga simbol impunitas dan ancaman terbesar bagi perdamaian Sudan.