SUBSIDI BOCOR! Rakyat Mampu Pesta Pertalite? DPR Desak Menkeu Purbaya Terapkan Barcode LPG 3 Kg SEGERA!
SUBSIDI BOCOR! Rakyat Mampu Pesta Pertalite? DPR Desak Menkeu Purbaya Terapkan Barcode LPG 3 Kg SEGERA!
Menkeu Purbaya ditantang DPR: Subsidi ratusan triliun masih dinikmati orang kaya. Perluas penggunaan DT-SEN dan Barcode untuk LPG 3 Kg agar subsidi BBM dan listrik tepat sasaran!
Jakarta, WISATA - Rapat Kerja (Raker) Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya pada 30 September 2025 menjadi sorotan publik. Pertemuan yang biasanya formal, kali ini berubah menjadi ruang perdebatan sengit soal kebocoran subsidi dan utang kompensasi pemerintah kepada BUMN.
Isu utama adalah realisasi subsidi dan kompensasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Pemerintah mengalokasikan hampir Rp500 triliun untuk subsidi, terutama di sektor energi. Dana jumbo ini seharusnya menjadi bukti nyata kehadiran negara sebagai penahan gejolak harga. Namun, kenyataannya subsidi yang dibiayai rakyat justru bocor ke kantong orang-orang mampu.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) membuktikan bahwa kelompok masyarakat kaya, terutama desil 8 hingga 10, masih menikmati sebagian besar subsidi energi. Pertalite dan LPG 3 Kg, yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat kecil, justru ikut dibeli dan digunakan oleh masyarakat kelas menengah ke atas.
“Subsidi memang ada, tapi rakyat kecil merasa tidak sampai ke dapur mereka. Justru yang banyak menikmati orang-orang mampu,” ujar seorang anggota DPR, menukil suara rakyat dari daerah pemilihannya.
Barcode dan DT-SEN: Senjata Baru Melawan Mafia Subsidi
Dalam rapat, DPR mendesak agar pemerintah segera mengubah mekanisme penyaluran subsidi agar lebih tepat sasaran. Salah satu solusi yang mengemuka adalah penggunaan teknologi digital, yakni sistem barcode untuk LPG 3 Kg dan integrasi dengan Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DT-SEN).
“Kalau beli tabung gas 3 kilo itu harus pakai barcode. Jadi jelas siapa yang beli, dan tidak bisa sembarang orang mengambil jatah subsidi,” tegas salah satu anggota DPR.
Menkeu Purbaya menyambut baik usulan ini. Ia mengakui bahwa DT-SEN sebenarnya sudah ada dan dimanfaatkan Kementerian Sosial untuk program bantuan, tetapi belum digunakan maksimal di sektor energi dan BBM. Dengan penerapan sistem berbasis data tunggal dan teknologi barcode, subsidi diharapkan benar-benar jatuh ke tangan rakyat miskin yang membutuhkan, bukan kepada orang kaya atau mafia distribusi.
Jika mekanisme baru ini berjalan, maka subsidi akan diberikan langsung kepada individu atau rumah tangga yang terdaftar, bukan lagi berdasarkan volume barang. Dengan begitu, tidak ada lagi pesta Pertalite dan LPG murah yang dinikmati mereka yang sudah mampu.
Drama Utang Subsidi dan Janji 30 Hari
Selain soal kebocoran, DPR juga menyoroti masalah klasik yang selalu muncul setiap tahun: utang kompensasi pemerintah kepada BUMN seperti PLN dan Pertamina.
Data menunjukkan utang kompensasi listrik PLN pada kuartal pertama 2025 saja mencapai Rp27,6 triliun dan belum dibayarkan. Proses verifikasi yang panjang, melibatkan Inspektorat Jenderal Kemenkeu, BPKP, hingga BPK, membuat pembayaran molor hingga berbulan-bulan. Akibatnya, BUMN terpaksa mencari dana talangan dengan bunga tinggi, sehingga memperburuk kondisi keuangan mereka.
Menkeu Purbaya berjanji akan memangkas birokrasi yang lambat tersebut.
“Proses review yang tiga bulan itu terlalu lama. Saya akan percepat, bahkan kalau bisa sebulan langsung bayar. Uang kita di BI juga tidak boleh nganggur,” tegasnya.
Komitmen percepatan pembayaran utang ini kemudian masuk dalam kesimpulan resmi rapat. Kemenkeu diberikan target menyelesaikan mekanisme baru dalam 30 hari kerja. Janji ini menjadi ujian awal kredibilitas Menkeu Purbaya di hadapan DPR dan rakyat.
Kanker Kronis di Tubuh BUMN
Isu lain yang mencuat adalah inefisiensi produksi BUMN yang membuat subsidi justru menjadi “obat penenang” tanpa menyembuhkan penyakit. DPR mencontohkan sektor pupuk, di mana 24 dari 30 pabrik yang beroperasi saat ini sudah tua dan boros biaya produksi. Subsidi yang semestinya meningkatkan kesejahteraan petani, justru habis untuk menutup biaya produksi yang tidak efisien.
Pertamina juga disorot karena gagal membangun kilang minyak baru. Janji pembangunan tujuh kilang sejak 2018 tak pernah terealisasi. Akibatnya, Indonesia terus bergantung pada impor produk minyak dari Singapura. Ketergantungan ini membuat beban subsidi BBM semakin rentan ketika harga minyak dunia naik atau rupiah melemah.
Menkeu Purbaya bahkan mengancam akan memangkas anggaran BUMN yang tidak serius menjalankan proyek strategis untuk meningkatkan efisiensi. Ia menegaskan bahwa subsidi harus diarahkan untuk mendukung transformasi energi, termasuk investasi energi terbarukan, bukan untuk menutup kelemahan manajemen perusahaan.
Menanti Aksi Nyata
Rapat kerja yang panas ini akhirnya ditutup dengan sejumlah kesepakatan penting. Kemenkeu ditugaskan untuk:
1. Mengoptimalkan DT-SEN agar subsidi lebih tepat sasaran.
2. Menyelesaikan pembayaran kompensasi BUMN maksimal dalam 30 hari kerja.
3. Mendorong efisiensi BUMN agar tidak lagi bergantung pada subsidi.
Janji reformasi ini menjadi taruhan besar bagi Menkeu Purbaya. Jika berhasil, rakyat miskin akan merasakan manfaat subsidi secara nyata, BUMN bisa bernapas lebih lega, dan APBN tetap kuat sebagai peredam kejut fiskal.
Namun, jika gagal, kebocoran subsidi dan utang BUMN bisa menjadi bom waktu yang mengancam kestabilan fiskal Indonesia. Rakyat kini menunggu, apakah janji barcode LPG 3 Kg, percepatan pembayaran utang, dan reformasi subsidi benar-benar bisa diwujudkan dalam waktu dekat.
Sumber:
Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan Purbaya. (30 September 2025). BREAKING NEWS: Raker DPR Bersama Menkeu Purbaya Bahas Realisasi Subsidi dan Kompensasi 2025. Disiarkan oleh tvOneNews melalui kanal YouTube. Tonton di sini