Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Dunia Internasional Featured Singapura

    3.000 Resto di Singapura Bangkrut Massal, 250 Tempat Makan Tutup setiap Bulan - detik

    6 min read

     

    3.000 Resto di Singapura Bangkrut Massal, 250 Tempat Makan Tutup setiap Bulan

    Selasa, 25 November 2025 - 12:31 WIB

    Ratusan tempat makan menghilang setiap bulan di Singapura, kini restoran Ka-Soh yang menjadi ikon di Greenwood Avenue juga mengumumkan penutupan gerai mereka. Foto/Dok 8 Day
    A
    A
    A
    SINGAPURA - Ratusan tempat makan menghilang setiap bulan di Singapura , kini restoran Ka-Soh yang menjadi ikon di Greenwood Avenue juga mengumumkan penutupan gerai mereka. Sebuah era berakhir di Greenwood Avenue.

    Ka-Soh, restoran Cantonese “zi char” berusia 86 tahun yang pernah menarik perhatian seperti Four Heavenly Kings dari Hong Kong, menyajikan semangkuk sup ikan terakhirnya pada 28 September.

    "Kalah" itulah perasaan Cedric Tang, pemilik Ka-Soh generasi ketiga. "(Meskipun kami) telah bekerja sangat keras selama bertahun-tahun. Kami sudah cukup," katanya.

    Baca Juga: Diaspora Loan BNI Tingkatkan Skala Bisnis Restoran Indonesia di Hong Kong

    Penutupan resto legendaris ini menjadi keputusan yang 'dipaksakan', lantaran ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Terutama adalah kenaikan harga sewa sebesar 30% untuk tahun depan menjelang akhir 2025.



    Untuk membayar sekitar USD15.000 per bulan atau setara Rp249 juta (dengan kurs Rp16.606 per USD), naik dari sekitar 12.000 dolar Singapura, dia mengatakan perlu menjual rata-rata 300 mangkuk mie sup ikan tambahan setiap bulannya. Sementara itu menaikkan harga bukanlah pilihan.

    “Untuk bisnis turun temurun, kami berusaha untuk tidak terlalu menaikkan harga, karena kami ingin tetap dapat diakses oleh pelanggan lama kami,” katanya.

    Selain itu Tang telah menggulung lengan bajunya, dengan memangkas biaya untuk dapur dan bahkan cuci piring. Namun hemat pun ada batasnya. Ka-Soh sekarang bergabung dalam daftar korban industri makanan dan minuman di Singapura.

    Di antaranya ada juga Burp Kitchen & Bar, resto favorit keluarga lainnya yang tutup untuk menjadi salah satu dari 320 penutupan yang terjadi di bulan Juli. Selanjutnya Prive Group yang menutup semua restorannya pada 31 Agustus, menggenapi 360 kebangkrutan yang terjadi dalam sebulan di Singapura.

    Lebih dari 3.000 bisnis makanan & minuman tutup tahun lalu, atau rata-rata sekitar 250 tempat makan tutup setiap bulannya. Angka kejatuhan restoran yang terjadi merupakah jumlah tertinggi dalam hampir dua dekade.

    “Bahkan yang paling tangguh pun tidak bisa bertahan saat ini,” kata mantan pemilik restoran Chua Ee Chien, mengamati bahwa dua restoran Michelin Guide Singapura tutup dalam beberapa minggu setelah edisi tahun ini diterbitkan.

    Harga Sewa Mencekik

    Bagi banyak pemilik restoran, termasuk Ka-Soh, sewa menjadi biang kerok kebangkrutan, walaupun bukan satu-satunya atau belum tentu yang utama.

    "Di dalam komunitas kami, mayoritas penyewa melaporkan kenaikan sewa antara 20 hingga 49 persen," kata Terence Yow, ketua Singapore Tenants United for Fairness (SGTUFF), yang mewakili lebih dari 1.000 pemilik bisnis F&B dan bisnis lainnya.

    "Ini adalah sesuatu yang belum pernah kami lihat dalam 15, 20 tahun terakhir," sambungnya

    Perputaran restoran yang sehat adalah hal yang normal, tetapi apa yang terjadi sekarang "belum pernah terjadi sebelumnya," tambahnya.

    Seiring melemahnya pembelian hunian belakangan ini, secara khusus membuat ruko menjadi properti yang panas di kalangan investor. Baik lokal maupun asing, yang sedikit banyak “berdampak terhadap biaya sewa," kata Yow.

    Namun pemilik properti juga menghadapi tekanan mereka sendiri. “Jika sewa seseorang diperbarui saat ini, tiga tahun setelah COVID,” kata Ethan Hsu dari Knight Frank Singapore,“ bahkan dengan kenaikan sewa 50 hingga 100 persen, mungkin saja itu belum sesuai dengan tingkat pasar saat ini.”

    Menurut ahli properti tersebut, biaya konstruksi sejak saat itu telah naik sekitar 30% dan biaya pemeliharaan setidaknya meningkat 10%.

    “Banyak orang terpaku pada gagasan tentang pemilik properti serakah, yang terdengar menarik. Realitanya, sewa hanyalah salah satu komponen dari biaya yang harus dihadapi penyewa,” katanya.

    Dan biaya-biaya itu lebih tinggi dari sebelumnya. Di Burp Kitchen & Bar, meningkatnya biaya tenaga kerja ditambah dengan penurunan permintaan membuatnya mencapai titik kritis.

    Ketika jumlah juru masak yang semakin berkurang, pemain besar menawarkan hingga dua kali lipat dari gaji normal untuk mendapatkan staf. Perusahaan yang lebih kecil seperti Burp Kitchen hanya bisa bertarung untuk jangka waktu tertentu, bahkan setelah menaikkan gaji dan mengurangi jam kerja.

    Asosiasi Restoran Singapura mengeluarkan peringatan pada bulan Maret tentang “krisis tenaga kerja yang serius” dan menyerukan agar kuota pekerja asing ditinjau ulang. Namun pihak berwenang melihat masalah ini sebagai akibat dari kejenuhan pasar.

    Singapura dipenuhi hampir 23.600 usaha makanan eceran pada tahun lalu, meningkat dari hampir 17.200 pada tahun 2016. Meski 3.047 bisnis tutup tahun lalu, hampir 3.800 bisnis baru dibuka. "Rantai usaha yang berkapasitas besar, bagaimanapun, sedang menyingkirkan usaha independen kecil," kata Chua.

    Menurut Indeks Layanan Makanan & Minuman Departemen Statistik pada bulan Juni, penyedia katering dan gerai makanan cepat saji mengalami peningkatan penjualan dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan omset restoran menurun sebesar 5,6%. Kafe, pusat makanan, dan tempat makan lainnya mengalami penurunan sebesar 0,1%.

    “Ini adalah perubahan drastis yang kami amati dalam perilaku pelanggan,” kata Ronald Chye, pemilik bersama Burp Kitchen, merujuk pada penurunan pengeluaran.

    “Ada begitu banyak pilihan di luar sana,” tambah istrinya sekaligus pemilik bersama, Sarah Lim. “Frekuensi seseorang datang ... turun dari tiga, empat kali seminggu menjadi mungkin sekali sebulan.”

    Bagi Tang, dampaknya melampaui neraca keuangan. “Saya sudah mengenal (staf saya) selama 20 tahun,” kata pria berusia 40 tahun itu, “dan kehilangan bagian dari persahabatan itu ... tidak mudah untuk dihadapi.”

    Resep Bertahan Hidup?

    Seperti dilansir channelnewsasia, untuk menemukan restoran baru, lebih dari setengah warga Singapura — termasuk 59% generasi Z — mengandalkan media sosial. Hal ini menurut survei 2023 yang dilakukan oleh perusahaan teknologi perhotelan SevenRooms.

    Dan ada para profesional yang membantu operator F&B untuk mempertajam kehadiran mereka secara online. Talking Point melibatkan salah satunya, Dylan Tan, salah satu pendiri Craft Creative bekerja sama dengan Christopher Lim yang berusia 62 tahun, yang menjalankan Marie’s Lapis Cafe di Bedok North.

    Sudah lima tahun sejak kafe ini mulai menyajikan makanan dan kue Peranakan buatan tangan yang turun-temurun.

    “Kami hanya bertahan… di atas tali,” kata Lim, yang menjual rumahnya dan mencairkan tabungan Central Provident Fund serta polis asuransinya untuk menjaga agar kafenya tetap hidup.

    Di bawah bimbingan Tan, kafe ini meluncurkan video pendek yang menyoroti warisan dan hidangan khasnya. Lim juga didorong untuk memposting di media sosial setidaknya sekali seminggu, secara aktif membalas komentar, meluncurkan promosi sesekali, dan akhirnya bekerja sama dengan influencer atau menyelenggarakan acara dengan tema tertentu.

    Setelah dua minggu, kafe itu sudah penuh untuk layanan makan siang hingga hari Minggu — dan juga untuk bulan berikutnya. Bisnis meningkat sekitar 30 hingga 40%, dan Lim bertekad untuk "menjaga itu terus berjalan".

    Namun, likes dan shares tidak bisa menyelesaikan semua masalah. Anggota Parlemen untuk GRC Holland-Bukit Timah, Edward Chia, yang sebelumnya juga pemilik usaha F&B, telah menyerukan kenaikan jangka pendek dalam jumlah tenaga kerja asing yang bisa dipekerjakan bisnis.

    Tetapi dia juga melihat perlunya membantu usaha kecil "menemukan cara untuk meningkatkan produktivitas" dengan jumlah staf yang sama "atau mungkin bahkan lebih sedikit".

    Baca Juga: Luhut Ajak Pengusaha Singapura Segera Realisasikan Rencana Bisnis di IKN Nusantara

    Beberapa bisnis sudah mulai beradaptasi. Rantai restoran “zi char” generasi ketiga, Keng Eng Kee Seafood, telah berinvestasi dalam perangkat lunak manajemen hubungan pelanggan dan sistem keanggotaan.

    “Ini (memberikan kami) umpan balik (tentang) bagaimana kami bisa meningkatkan pengalaman (pelanggan),” kata rekan pemilik Paul Liew (44 tahun). “Kami juga mengetahui preferensi (karyawan) tertentu … untuk membantu mengurangi pengunduran diri pegawai.”

    Chia percaya bisnis kecil juga bisa mendapat manfaat dari dukungan sumber daya manusia seperti chief HR officer sebagai layanan, di mana praktisi HR bersertifikat dapat melayani beberapa usaha kecil dan menengah sekaligus, sehingga menjadi hemat biaya.

    Sementara itu, kelompok penyewa seperti SGTUFF sedang melobi untuk sewa yang lebih adil dalam bentuk batasan perpanjangan sewa yang disesuaikan dengan inflasi atau pertumbuhan produk domestik bruto.

    “(Ini memastikan) bahwa setelah seorang penyewa telah bekerja sama dua atau tiga atau lebih (dalam) membangun bisnis. Penyewa itu tidak mengalami kenaikan mendadak yang besar sebesar 50, 60, 70 persen,” terangnya.

    Bahkan ketika sebuah bisnis menghadapi kebangkrutan, itu tidak selalu berarti akhir. Tang, misalnya, akan mencoba beralih ke bisnis rumahan yang menjual sup ikan beku.

    “Dengan sup beku ini, dia mencoba menyasar pasar yang baru,” kata mitra bisnis barunya, Park Tan. “Jadi ini agak berbeda dari apa yang ditinggalkan oleh kakeknya.”

    Namun bagi Tang, perubahan ini adalah caranya untuk meneruskan warisan keluarganya. “Ini juga kesempatan untuk tumbuh kembali dan membangun kembali,” katanya.
    (akr)
    Komentar
    Additional JS