Banjir Sumatra, Pemerintah Didesak Minta Maaf Abai Krisis Iklim - Tirto
Banjir Sumatra, Pemerintah Didesak Minta Maaf Abai Krisis Iklim
Salah satu ketidakseriusan pemerintah merspons krisis iklim terlihat dari minimnya alokasi anggaran mitigasi perubahan iklim.
tirto.id - Banjir dan longsor yang melanda Provinsi Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat dinilai sebagai dampak nyata atas krisis iklim. Sayangnya, pemerintah seolah masih menutup mata dan tak serius dalam merespons masalah tersebut.
Lembaga penelitian kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) menilai, salah satu ketidakseriusan tersebut terlihat dari minimnya alokasi anggaran mitigasi perubahan iklim.
Karena itu, Manajer Riset dan Program TII Felia Primaresti mendesak pemerintah pusat untuk menunjukkan kepemimpinan moral, setidaknya dengan bersuara, menyampaikan permintaan maaf kepada publik, dan mengakui bahwa ada kegagalan dalam tata kelola lingkungan dan pencegahan bencana.
“Masyarakat terdampak tidak hanya membutuhkan bantuan logistik, tetapi juga pengakuan dan tanggung jawab negara. Pemerintah mengakui kelalaiannya, meminta maaf, dan menunjukkan komitmen bahwa langkah korektif akan segera dilakukan,” ujar Felia dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Jumat (28/11/2025).
Tak hanya itu, TII juga mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap alokasi anggaran yang berkaitan dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
“Bencana berulang menunjukkan bahwa belanja pemerintah untuk penanganan iklim masih belum memadai dan tidak tepat sasaran. Pemerintah harus berani mengevaluasi ulang prioritas anggaran, memastikan bahwa investasi diarahkan pada perlindungan ekologis, pencegahan bencana, penguatan kapasitas daerah, serta pemulihan yang berkelanjutan,” imbuhnya.
Meski demikian, Felia menambahkan bahwa persoalan anggaran tak hanya menjadi beban eksekutif. Menurutnya, DPR selaku lembaga legislatif juga memegang peran penting dalam mekanisme “check and balances” untuk memastikan bahwa kebijakan anggaran benar-benar berpihak pada mitigasi risiko iklim dan perlindungan masyarakat.
“Kita tidak bisa sepenuhnya bergantung pada eksekutif. Kontrol anggaran ada di legislatif. Di sanalah fungsi pengawasan seharusnya berjalan. Pada situasi krisis seperti ini, peran DPR dalam memastikan efektivitas penganggaran menjadi sangat krusial,” ucap Felia.
Tanpa evaluasi anggaran yang serius dan penguatan koordinasi lintas lembaga, menurutnya, Indonesia akan terus berada dalam siklus merespons setelah bencana terjadi, bukan mencegah kerusakan sejak awal. Di samping itu, hal ini juga perlu dibarengi dengan komitmen kuat memperbaiki tata kelola lingkungan, menghentikan praktik perusakan hutan, dan memperkuat kapasitas adaptasi di tingkat lokal.