Kisah PKL Tak Bisa Menjauh dari Monas, Bertahan di Bawah Bayang Razia - Kompas
Kisah PKL Tak Bisa Menjauh dari Monas, Bertahan di Bawah Bayang Razia
JAKARTA, KOMPAS.com - Matahari siang memantulkan panas dari trotoar di depan pintu IRTI Monas, namun di sepanjang jalur masuk itu, deretan pedagang asongan dan PKL liar tetap duduk bersisian.
Meski area tersebut telah berulang kali dinyatakan “steril” dari aktivitas perdagangan, kenyataannya setiap hari wajah-wajah yang sama kembali hadir, membawa minuman dingin, arum manis, es krim, mainan kecil, camilan, hingga minyak angin sachet.
Penertiban demi penertiban sudah tidak terhitung jumlahnya. Bahkan pada 2 Juli 2025 lalu, sempat terjadi kericuhan antara PKL dengan petugas Satpol PP Kecamatan Gambir di Pintu Pertamina Monas.
Namun, kisah para pedagang kecil ini terus berulang bergeser saat disuruh, kembali saat petugas pergi.
Tati (47), pedagang asongan minuman botol air mineral, teh kemasan, kopi sachet yang sudah lebih dari satu dekade menggantungkan penghidupan di Monas, Pasar Senen, hingga Gambir.
“Dulu kami bisa duduk agak di dalam, dekat pintu karcis,” ujarnya sambil menarik napas pelan kepada Kompas.com, Kamis (20/11/2025).
“Sekarang enggak boleh. Katanya harus di luar pagar. Tapi kalau jauh sedikit saja, pembeli enggak kelihatan,” lanjutnya.
Bagi Tati, kedekatan dengan arus pengunjung adalah soal hidup dan mati.
“Kalau saya geser lima meter, dagangan saya kayak hilang,” katanya.
Razia menjadi hal lumrah. Tati mengakui, sebagian besar petugas tidak kasar, tetapi tidak ada solusi lain selain pindah.
“Saya enggak punya modal buat sewa kios resmi. Kalau dilarang total, saya bingung mau makan apa,” ujarnya lirih.
Ada satu momen yang justru menjadi rezeki tahunan demo besar di Patung Kuda. Saat ribuan massa berkumpul, ia ikut bergerak dari Monas ke titik aksi.
“Kalau demo, saya tinggal pindah dari pintu parkir IRTI ke lokasi. Lumayan, habis itu balik lagi ke Monas,” tuturnya.
Tidak ada tempat lain yang mampu memberi Tati peluang seperti Monas.
Sedikit bergeser ke kanan pintu gerbang, Rudi (41) duduk dengan kantong-kantong barang dari Pasar Senen. Ia menjual telur gulung kering, rangin, permen, kacang, hingga mainan kecil.
“Dulu saya pernah punya lapak dekat IRTI. Tapi sejak renovasi Monas, sudah enggak boleh. Katanya nanti ada penataan UMKM, tapi sampai sekarang enggak jelas,” ujar Rudi.
Kini, ia kembali menjadi pedagang asongan yang berpindah-pindah. Jika Satpol PP muncul, kode langsung disebar sesama pedagang “Geser! Geser!”
“Saya angkat semua barang ini, lari ke balik tiang atau tembok. Capek, tapi sudah biasa,” ujarnya sambil memegang plastik berisi mainan anak-anak.
Baginya, kekhawatiran terbesar adalah penyitaan barang.
“Modal saya kecil. Kalau disita, selesai sudah,” tuturnya.
Meski dianggap mengganggu, Rudi percaya kehadiran mereka justru mengisi kebutuhan yang tidak disediakan pengelola.
“Banyak turis lokal beli makanan dulu sebelum masuk. Berarti kami ada manfaatnya kan?,” katanya.
Sementara di bawah pepohonan dekat halte TransJakarta, Nana (32) duduk sambil memayungi gulungan permen kapas berwarna pastel.
“Ini saya bungkus dari rumah. Kalau bikin di sini, katanya bikin kotor,” jelasnya.
Ia mulai berjualan sejak 2021, saat pandemi mulai mereda dan keramaian kembali memenuhi Monas.
Namun ia mengakui, menjadi pedagang permen kapas membuatnya tidak bisa lincah menghindari razia.
“Barang saya besar-besar. Enggak bisa lari. Ya pura-pura duduk saja, kayak lagi istirahat,” tutur Nana.
Rasa malu sering muncul saat digusur di depan banyak orang, tetapi kebutuhan hidup memaksa ia bertahan.
“Saya punya anak kecil. Suami kerja serabutan. Kalau saya berhenti jualan, dapur enggak ngebul,” ucapnya.
Di dekat pilar gerbang, gerobak es krim berwarna biru muda tampak mencolok. Kamal (58) mendorongnya perlahan, lalu berhenti.
“Saya sudah jualan es krim sejak zaman Monas masih penuh pedagang baju dan mainan. Sekarang rapi, tapi pedagang kecil banyak tersisih,” katanya.
Gerobaknya berat, lututnya sering sakit, dan razia membuatnya tidak punya ruang untuk menghindar.
“Saya cuma tutup gerobak dan duduk diam. Nunggu petugas pergi,” kata Kamal.
Alasan Posisi Strategis
Di sisi pagar besi, seorang perempuan berusia lanjut duduk sambil menata kopi sachet, tisu, roti kecil, dan minyak angin. Sukma (63) mengaku sudah berjualan sejak anak-anaknya masih kecil.
“Tempat ini sudah kayak rumah kedua,” ucapnya pelan.
Lokasi yang strategis ini juga membuatnya bimbang, wisatawan yang bergulir datang justru ladang rezeki meski haris melawan aturan.
“Tapi kalau saya pindah jauh, dagangan enggak laku. Pernah coba pindah ke seberang halte, tapi enggak ada yang beli,” ujarnya.
Meskipun ada papan peringatan “Dilarang Berdagang”, pedagang tetap bertahan.?Beberapa orang berseragam pun tampak membeli camilan potret dilema yang tampaknya dibiarkan terjadi dari hari ke hari.
Pandangan Pengunjung
Rama (26), pekerja swasta menilai keberadaan pedagang tidak terlalu mengganggu, tetapi menimbulkan pertanyaan terkait aturan adanya PKL liar di pintu tersebut.
“Di satu sisi dilarang, tapi di sisi lain mereka ada terus. Jadi sebagai pengunjung bingung,” ucapnya.
Ia berharap ada penataan yang jelas dan konsisten, bukan sekadar razia sesaat.
Sementara Cinta (38), ibu rumah tangga dari Bekasi menilai kehadiran para pedagang cukup membantu.
“Kehadiran pedagang itu membantu. Anak saya beli mainan dari bapak-bapak di depan pintu,” ujarnya.
Namun ia mengakui jalur masuk memang terasa lebih sempit.
“Mungkin karena ini pintu masuk sekalian area parkir juga ya. Jadi tambah sempit pas masuk karena kiri kanan sudah di isi para PKL,” kata dia.
Adapun Ferdy (19) seorang mahasiswa, melihat dua sisi pedagang membantu, tetapi sebagian kadang memaksa menawarkan barang.
“Perlu aturan tegas, tapi tetap manusiawi. Mungkin sediakan booth murah di satu sisi pintu,” tutur Ferdy.
Penjelasan Pengelola Monas
Kepala UPK Monas, Muhammad Isa Sanuri, menegaskan pedagang asongan atau PKL tidak boleh masuk ke area Monas.
“Pedagang asongan atau PKL tidak ada yang boleh masuk ke kawasan Monas karena tidak diperbolehkan. Tidak boleh ada transaksi jual beli di dalam kawasan,” ujarnya.
Area dekat pintu IRTI pun bukan tempat resmi. Yang diperbolehkan berdagang hanya Lenggang Jakarta, di bawah pembinaan Dinas PPUMKM.
Isa juga menyebut koordinasi dengan Satpol PP Kecamatan Gambir dilakukan secara rutin untuk menjaga area tetap steril.
Sebelumnya, pada penertiban 2 Juli 2025, Kepala Satpol PP Jakarta Pusat saat itu, Tumbur Parluhutan Purba, mengatakan hanya penghalauan yang dilakukan.
“Hanya penghalauan saja. Ada sedikit cekcok karena sudah dihalau tapi tidak mengindahkan. Tugas Satpol PP adalah melakukan sterilisasi semaksimal mungkin, baik stasioner maupun mobile,” ujarnya.
Artinya, razia akan terus berlangsung selama pedagang terus kembali.
Persimpangan PKL Monas
Kawasan Monas sering menjadi simbol penataan kota rapi, monumental, bersih, dan steril dari pedagang liar. Namun di pintu-pintunya, terutama IRTI, denyut ekonomi rakyat kecil tetap bergantung pada arus manusia yang lewat.
Para pedagang yang duduk di atas pot tanaman itu bukan perusuh tata ruang, melainkan bagian dari ekosistem sosial yang tidak diberi ruang dalam desain besar penataan kota.
Di tengah modernisasi wisata, komersialisasi UMKM terkurasi, hingga pembatasan ketat ruang publik, ribuan warga kecil masih mencari celah untuk bertahan hidup setiap hari termasuk di bawah bayang razia.
Dan selama tidak ada model penataan baru yang benar-benar memberi ruang bagi mereka, pot tanaman di pintu Monas akan terus berubah menjadi kios kecil yang hilang timbul, mengikuti ritme patroli petugas dan kebutuhan hidup para pedagang yang tidak punya tempat lain.
Monas berdiri kokoh sebagai ikon negara.?Sementara di bawahnya, di pintu yang menjadi gerbang utama wisatawan, kisah kecil para pedagang liar terus berlangsung lirih, rapuh, tetapi tak pernah benar-benar padam.