Kisah PM China Lolos dari Pesawat Maut yang Meledak di Langit Natuna Indonesia - SindoNews
4 min read
Kisah PM China Lolos dari Pesawat Maut yang Meledak di Langit Natuna Indonesia
Minggu, 16 November 2025 - 12:24 WIB
Pesawat Kashmir Princess yang membawa delegasi Republik Rakyat China meledak dan jatuh di perairan Kepulauan Natuna, Indonesia, 11 April 1955. PM China Zhou Enlai lolos dari tragedi ini. Foto/The China Project
A
A
A
JAKARTA - Ketika dunia mengenang Konferensi Asia–Afrika (KAA) Bandung sebagai momentum lahirnya kerja sama negara-negara baru merdeka, sangat sedikit yang mengetahui bahwa acara itu nyaris berubah menjadi tragedi global. Pada 11 April 1955, pesawat Kashmir Princess yang membawa delegasi Republik Rakyat China (RRC) meledak dan jatuh di perairan Kepulauan Natuna, Indonesia.
Targetnya bukan sembarang tokoh; Perdana Menteri Zhou Enlai, arsitek diplomasi China dan salah satu negosiator internasional paling berpengaruh di abad ke-20.
Baca Juga: Deretan Pemimpin Dunia yang Mengalami Kecelakaan Penerbangan, Hanya Sedikit Selamat
Tetapi Zhou selamat—bukan karena keberuntungan semata, melainkan berkat jaringan intelijen, keputusan diplomatik yang tak lazim, dan situasi politik global yang memperlihatkan bagaimana Asia sedang menjadi panggung perebutan pengaruh besar.
Tragedi pesawat Kashmir Princess seperti adegan film politik yang sarat misteri, permainan intelijen, dan ketegangan di balik diplomasi.
Targetnya bukan sembarang tokoh; Perdana Menteri Zhou Enlai, arsitek diplomasi China dan salah satu negosiator internasional paling berpengaruh di abad ke-20.
Baca Juga: Deretan Pemimpin Dunia yang Mengalami Kecelakaan Penerbangan, Hanya Sedikit Selamat
Tetapi Zhou selamat—bukan karena keberuntungan semata, melainkan berkat jaringan intelijen, keputusan diplomatik yang tak lazim, dan situasi politik global yang memperlihatkan bagaimana Asia sedang menjadi panggung perebutan pengaruh besar.
Tragedi pesawat Kashmir Princess seperti adegan film politik yang sarat misteri, permainan intelijen, dan ketegangan di balik diplomasi.
Indonesia dan Puncak Perang Dingin
Ketika memasuki tahun 1955, situasi dunia berada di puncak Perang Dingin. Amerika Serikat dan Uni Soviet bersaing ketat, sementara negara-negara Asia baru saja keluar dari kolonialisme. Indonesia, India, Mesir, Pakistan, hingga China, untuk pertama kalinya punya panggung bersama.
Konferensi Asia–Afrika (KAA) di Bandung bukan sekadar pertemuan internasional. Ia menjadi simbol perlawanan negara-negara “Dunia Ketiga” terhadap dominasi kolonialisme dan politik blok.
Bagi China, KAA saat itu merupakan kesempatan emas mewujudkan tiga tujuan. Pertama, mengakhiri isolasi internasional. Pada tahun 1955, RRC belum diakui oleh banyak negara Barat. Partisipasinya di KAA Bandung memberi legitimasi baru.
Kedua, menghadirkan Zhou Enlai sebagai figur diplomasi damai. Zhou mempromosikan prinsip "Five Principles of Peaceful Coexistence" yang kemudian menjadi dasar hubungan internasional Asia.
Ketiga, memenangkan simpati negara-negara non-blok. Di masa awal Perang Dingin, simpati negara Asia-Afrika sangat penting. KAA Bandung saat itu bukan sekadar forum, ia adalah arena perebutan arah politik dunia, dan di situlah tragedi Kashmir Princess bermula.
Jadi Target, PM Zhou Enlai Lolos dari Tragedi Kashmir Princess
Saat itu, pemerintah China menyewa pesawat Air India Lockheed L-749 Constellation bernama Kashmir Princess untuk membawa delegasinya ke Indonesia guna menghadiri KAA Bandung. Pesawat itu dipilih karena rekam jejak teknis yang baik dan mampu menempuh rute jarak jauh tanpa hambatan.
Pada 11 April 1955, Kashmir Princess terbang dari Hong Kong menuju Jakarta. Jadwal aslinya adalah Zhou Enlai ikut dalam rombongan pesawat tersebut.
Namun, beberapa jam sebelum keberangkatan, Zhou membatalkan penerbangan dengan alasan kesehatan, disebut “appendisitis”.
Belakangan, banyak arsip sejarah menunjukkan bahwa China sebenarnya telah menerima peringatan intelijen tentang ancaman pembunuhan. Keputusan Zhou bukan sekadar alasan medis, melainkan langkah penyelamatan yang sangat strategis.
Beberapa jam setelah lepas landas, bom waktu meledak di kompartemen kargo pesawat tersebut. Ledakan itu menciptakan kebakaran hebat yang merambat ke kabin penumpang.
Pilot berusaha keras mengendalikan pesawat ke arah laut demi mencegah ledakan kedua di daratan. Namun api terlalu cepat menyebar. Kashmir Princess akhirnya jatuh di perairan Kepulauan Natuna, wilayah Indonesia.
Sebanyak 16 orang tewas, termasuk sebagian besar staf delegasi China dan kru pesawat. Tiga orang selamat setelah melompat keluar sebelum pesawat menyentuh air.
Para korban selamat ditemukan oleh nelayan dan pihak berwenang Indonesia, dan kemudian menjadi saksi kunci tragedi tersebut.
Indonesia kala itu segera mengirim tim penyelamat ke lokasi tragedi, sementara berita jatuhnya pesawat langsung mengguncang KAA Bandung yang tinggal beberapa pekan lagi.
Misteri di Balik Operasi Intelijen yang Gagal
Investigasi China dan berbagai peneliti sejarah menyimpulkan bahwa insiden ini bukan kecelakaan, tetapi operasi pembunuhan yang sangat terencana.
Dalam tulisan peneliti Steve Tsang di The China Quarterly, bom itu diduga dipasang oleh seorang petugas kebersihan Bandara Kai Tak, Hong Kong. Dia diduga bekerja untuk intelijen Taiwan (pemerintah Partai Kuomintang)— musuh utama pemerintah komunis China pada masa itu.
Dugaan itu mengarah pada beberapa motif penting. Yakni, melemahkan legitimasi pemerintahan Mao Zedong di China, menghilangkan Zhou yang merupakan diplomat paling efektif China, dan mengacaukan kehadiran China pada KAA Bandung.
Beberapa sejarawan berspekulasi bahwa intelijen Barat mungkin mengetahui rencana itu—atau membiarkannya. Ini masih menjadi perdebatan, tetapi konteksnya jelas bahwa Amerika Serikat saat itu mendukung Taiwan dan memusuhi Beijing. Namun, tidak ada bukti resmi keterlibatan langsung pihak Barat.
Bagaimana PM Zhou Enlai Selamat?
Beberapa sumber historiografi China menyebut bahwa agen keamanan memberikan informasi kepada Zhou mengenai ancaman pembunuhan. Atas dasar itu, dia mengubah rute perjalanan—sebuah manuver rahasia yang tak diumumkan ke publik.
China tidak pernah menyalahkan Indonesia—saat di bawah Presiden Soekarno—dalam insiden itu. Sebaliknya, hubungan diplomatik kedua negara justru menghangat.
Keputusan terpenting terjadi setelah tragedi itu adalah PM Zhou Enlai tetap datang ke Indonesia.
Dia menempuh rute alternatif melalui Rangoon, Myanmar. Ketika tiba di Jakarta, dunia terkejut bukan oleh tragedi itu, melainkan oleh ketenangan dan sikap diplomatik Zhou.
Andai Zhou Enlai benar-benar tewas hari itu, arah sejarah Asia–Afrika bisa berubah total. KAA Bandung mungkin terguncang, solidaritas Asia-Afrika bisa runtuh, dan dinamika Perang Dingin akan berbeda.
Meski merupakan tragedi, insiden mengerikan itu justru melahirkan solidaritas yang lebih kuat, yang membentuk wajah Asia dan Afrika hingga hari ini.
(mas)