Menolak Mitos Kelangkaan Rafflesia, di Kalimantan Ternyata Masih Mudah Ditemukan - Liputan6
Menolak Mitos Kelangkaan Rafflesia, di Kalimantan Ternyata Masih Mudah Ditemukan
Baru-baru ini ramai diperbincangankan video yang menggambarkan seorang peneliti menangis haru menemukan bunga Rafflesia Hasseltii usai 13 tahun pencarian.
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5422393/original/053433700_1763980734-Rafflesia_Pricei__2_.jpeg)
Liputan6.com, Kalimantan - Secara global, bunga Rafflesia bisa disebut sebagai sinonim dari 'kelangkaan ekstrem'. Sebuah keajaiban botani dengan siklus hidup singkat dan jadwal mekar yang tak terduga, membuat peneliti dan konservasionis kerap berhadapan dengan ketidakpastian saat mencarinya.
Di banyak wilayah Sumatera, narasi penemuannya bergulir penuh ketegangan berupa pencarian belasan tahun, penantian berbulan-bulan, hingga tangis haru ketika akhirnya melihat kelopak raksasa itu mekar sempurna. Namun di lanskap Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), Kalimantan Utara, cerita itu mengambil arah yang berbeda. Rafflesia pricei seolah menolak tunduk pada mitos kelangkaan absolut.
"Berdasarkan hasil data monitoring Rafflesia pricei paling sering berbunga pada bulan Agustus. Namun masih perlu monitoring berkala untuk memastikan seberapa sering Rafflesia pricei mekar," kata Kepala Balai TNKM, Seno Pramudito, Senin (24/11/2025).
Taman Nasional Kayan Mentarang, salah satu kawasan hutan hujan primer terbesar yang tersisa di Kalimantan, menjadi rumah bagi populasi Rafflesia Pricei yang hidup sehat, bahkan di area dekat permukiman masyarakat. Frekuensi penemuannya yang jauh lebih tinggi dibanding spesies rafflesia lainnya di wilayah Indonesia membuka perspektif baru tentang ekologi, konservasi berbasis masyarakat, dan potensi ekowisata berkelanjutan.
Rafflesia pricei tersebar di wilayah utara Kalimantan, meliputi Sabah, Sarawak, Brunei, hingga pedalaman Kalimantan Utara. Di Indonesia, titik utama keberadaannya berada di TNKM, terutama di sektor Krayan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Salah satu lokasi utamanya adalah Desa Pa’ Kidang, Kecamatan Krayan Barat, Kabupaten Nunukan.
Buduk Udan, puncak berketinggian sekitar 1.400 meter di atas permukaan laut, menjadi ikon wisata Desa Pa’ Kidang yang dikelola masyarakat. Untuk sampai ke puncak, pengunjung harus menelusuri jalan sejauh 5 kilometer.
Namun kejutan terbesar justru terjadi saat perjalanan pulang yakni rute pulang melewati habitat alami Rafflesia pricei. Di sinilah keunikan terjadi, bunga langka ini dapat mekar dalam jumlah banyak di satu lokasi dan relatif mudah ditemukan.
Dekatnya habitat dengan permukiman memungkinkan warga memantau secara intensif dan menjadi pemandu bagi wisatawan. Meski dekat dengan desa, seluruh habitat bunga tersebut tetap berada di dalam kawasan TNKM. Hingga kini belum ada catatan resmi Rafflesia pricei mekar di luar kawasan taman nasional.
Siklus Hidup yang Tetap Misterius, Namun Terkelola
Kemudahan akses tidak berarti mematahkan sifat biologis Rafflesia yang penuh teka-teki. Bunga ini tetap merupakan holoparasit yang sepenuhnya bergantung pada inang Tetrastigma, dengan masa mekar hanya lima hingga tujuh hari.
"Mekarnya Rafflesia pricei tidak dapat diprediksi seperti tumbuhan pada umumnya," kata Kepala Balai TNKM, Seno Pramudito.
Hasil monitoring menunjukkan kecenderungan Rafflesia pricei paling sering mekar di sekitar bulan Agustus, namun pola ini belum bisa dijadikan kepastian. Pemantauan rutin tetap diperlukan. Lokasi kemunculan bunga saat ini tercatat di SPTN Wilayah I Long Bawan yakni di Desa Long Api dan kawasan Tang Paye. Kemudian di SPTN Wilayah II Long Alango di Desa Rian Tubu, dan SPTN Wilayah III Long Ampung yakni Desa Paliran. Monitoring paling rutin dilakukan di wilayah Long Bawan, wilayah yang mencakup Desa Pa’ Kidang.
Seno menambahkan bahwa di Pa’ Kidang telah terbentuk Kelompok Wisata Pa’ Kidang Makmur dengan dukungan pelatihan kepemanduan, pembangunan shelter, serta papan informasi dan interpretasi. Ia juga menegaskan bahwa TNKM membentuk kelompok khusus monitoring Rafflesia agar masyarakat dapat menentukan waktu kemungkinan mekarnya bunga sehingga wisatawan berpeluang menyaksikan antesis langsung.
"Kami berharap destinasi wisata Buduk Udan dapat berkembang dan dilestarikan sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat. Kami juga mengharapkan dukungan mitra dan pemerintah daerah," katanya.
Transformasi Kearifan Lokal Menjadi Konservasi Modern
Perjalanan hubungan masyarakat Dayak Krayan dengan Rafflesia pricei menunjukkan transformasi yang mengesankan. Kepala SPTN Wilayah I TNKM, Hery Gunawan, menuturkan bahwa dahulu bunga ini tidak memiliki posisi khusus dalam tradisi lokal.
Sebelum diketahui sebagai tumbuhan langka dan dilindungi, masyarakat pernah memanfaatkannya sebagai pakan anjing saat berburu di hutan.
"Menurut cerita masyarakat, sebelum mengetahui bahwa Rafflesia merupakan tumbuhan langka dan dilindungi, masyarakat memanfaatkan bunga Rafflesia untuk pakan anjing ketika di dalam hutan," kata Hery.
Meningkatnya pengetahuan konservasi mengubah pola interaksi itu secara drastis. Kini masyarakat menjadi garda terdepan pelestarian melalui Tim Monitoring Rafflesia di Resor Krayan serta peran mereka dalam aktivitas ekowisata desa. Yang paling menarik, identitas budaya pun ikut bergerak: replika dan gambar Rafflesia kini digunakan sebagai properti tarian Dayak Lundayeh, sebuah simbolisasi yang memadukan alam, budaya, dan kebanggaan.
Keberadaan Rafflesia pricei yang relatif sering ditemukan, jika dibandingkan wilayah lain di Indonesia, bukan hanya berkaitan dengan wisata, tetapi menjadi indikator kesehatan ekosistem.
"Adanya Rafflesia pricei menandakan bahwa fungsi ekologis hutan TNKM masih terjaga dengan baik, karena Rafflesia merupakan tumbuhan yang sensitif terhadap gangguan," tegas Hery.
Di tengah tekanan deforestasi dan perubahan lanskap Kalimantan, TNKM menjadi benteng penyangga kehidupan. Keberhasilan pelestarian Rafflesia pricei di kawasan ini menunjukkan bahwa kolaborasi pemerintah, masyarakat adat, dan mitra konservasi masih menjadi model paling efektif untuk mempertahankan keanekaragaman hayati Borneo.
Di tempat lain, kehadiran Rafflesia memicu luapan emosional karena kelangkaannya. Tapi di Kayan Mentarang, kehadirannya justru menjadi penyemangat warga untuk menjaga hutan, merawat budaya, dan menyambut dunia untuk menyaksikan keajaiban itu bersama mereka.