Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Nahdhatul Ulama PBNU

    PBNU Bergejolak, Idrus Marham: NU Bukan Panggung Manuver Kekuasaan - Fajar

    6 min read

     

    PBNU Bergejolak, Idrus Marham: NU Bukan Panggung Manuver Kekuasaan

    Waketum DPP Partai Golkar, Idrus Marham

    Fajar.co.id, Jakarta - Anggota MPO PB IKA PMII, Idrus Marham, menyerukan agar konflik internal dalam tubuh PBNU segera fokus untuk dijernihkan, bukan dijadikan ajang konsolidasi kelompok. Menurutnya, gejolak yang terjadi
    saat ini bukan sekadar persoalan figur, melainkan sinyal bahwa NU semakin menjauh dari nilai “kepemilikan bersama“ yang menjadi jiwa utama jam’iyah.

    Perpecahan mencuat setelah beredarnya Risalah Rapat Harian Syuriah PBNU yang menuntut pengunduran diri Ketua Umum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya).
    Risalah itu, yang ditandatangani Rais ‘Aam PBNU K.H. Miftachul Akhyar, menyatakan bahwa Gus Yahya harus mundur dalam waktu tiga hari dan apabila tidak, Syuriah
    PBNU akan memberhentikannya secara paksa.

    Menanggapi desakan tersebut, Gus Yahya menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dengan menyatakan bahwa masa jabatannya hasil Muktamar ke-34 adalah lima tahun
    dan akan dijalani penuh. Ia pun mengklaim belum menerima surat fisik apapun dari Syuriah terkait risalah tersebut dan mempertanyakan keabsahan risalah viral karena penggunaan tanda tangan manual, bukan digital.

    Dalam pertemuan tertutup dengan para Ketua PWNU dari seluruh Indonesia di Surabaya, Gus Yahya menyampaikan penjelasan panjang lebar dan membuka ruang konsolidasi. Ia menyerahkan kepada tiap PWNU untuk menyikapi isu ini secara mandiri. “NU ini bukan milik saya saja. Semua pengurus di semua tingkatan punya hak dan tanggung jawab,” ujar Gus Yahya.

    Beberapa ketua PWNU, kata dia, menolak desakan agar ia mundur. “Mereka khawatir saya mundur, karena dulu mereka memilih saya … saya menjelaskan supaya mereka tidak terpengaruh rumor atau fitnah,” ujar Gus Yahya.

    Meski demikian, sejumlah media seperti Bangsa Online melaporkan bahwa banyak Ketua PWNU tidak hadir dalam pertemuan tersebut.

    Idrus Marham: NU Bukan Rebutan Elite Kecil

    Di tengah kegaduhan itu, Idrus Marham tampil sebagai pengkritik vokal. Ia menegaskan bahwa NU tidak boleh dijadikan “zona perebutan kekuasaan” di antara segelintir elit. Menurut dia, PBNU harus kembali menjalankan nilainilai musyawarah, transparansi dan pengabdian kepada warga NU bukan menjadi tempat untuk manuver politik internal.

    “NU ini milik rakyat, milik warga NU, bukan milik satu kelompok kecil,” kata Idrus dalam pernyataannya.

    Ia mengingatkan bahwa sejarah NU dibangun dari pesantren, akar rumput dan kolektivitas umat, bukan dari politik elite yang mengkapling organisasi untuk kepentingan sesaat. Sejarah mencatat bahwa NU didirikan oleh sejumlah nama yang sampai akhir hayatnya dihormati sebagai nama besar yang sepenuhnya berdedikasi untuk umat dan bangsa. Di antara nama-nama harum itu, ada K.H. Hasyim Asyari Tebuireng, K.H. Bisri Denanyar Jombang, K.H. Ridwan Semarang, K.H. Nawawi Pasuruan, K.H.R. Asnawi Kudus, K.H.R. Hambali Kudus, K.H. Nachrawi Malang, K.H. Doro Muntaha.

    Pun jika kita menengok struktur dan susunan kepengurusan PBNU generasi pertama (1926), tampak jelas nama-nama besar bangsa duduk di sana membangun spirit keumatan dan kebangsaan.

    Padamasa kepengurusan pertama, Rais Akbar dijabat oleh K.H. M.Hasyim Asy’ari (Jombang), sedangkan Wakil Rais Akbar diamanahkan kepada K.H.Dahlan Ahyad dari Kebondalem, Surabaya. Posisi Katib Awal dipegang oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah (Jombang) dan Katib Tsani oleh K.H. Abdul Chalim (Cirebon). “Semua ini diceritakan sekedar untuk mengentalkan ingatan historic kita bersama,” kata idrus marham yang umum mafhumi sebagai warga NU yang ikut berperan penting dalam mendesain finalisasi yang mengantarkan naiknya Gus menjadi presiden bersama-sama dengan Alwi Shihab, Slamet effendy Yusuf, Muhaimin Iskandar, Yenny Wahid dan Fuad Bawazir.

    Nama-nama besar yang menjadi pendiri dan duduk dalam kepengurusan PBNU, generasi pertama ini, sangat berjasa sebagai arsitek organisasi yang meletakkan NU menjadi rumah besar bagi kesejukan umat dan bangsa. Dari tangan merekalah NU diwariskan sebagai jam’iyyah yang teduh, teratur, kaya dengan keluasan pandangan dan berorientasi hanya pada satu hal : kemaslahatan umat dan bangsa. Warisan ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi standar etis yang seharusnya menjadi cermin bagi setiap dinamika yang muncul hari ini. Dan mendegradasi nilai-nilai keumatan dan kebangsaan yang menjadi ruh perjuangan as-sābiqūnal awwalūn dapat dikategorikan sebagai “dosa besar.”

    Perbedaan pandangan dan pemikiran tentu kita pahami sebagai sebuah dinamika. Dan itu biasa saja. Namun andaikata yang terjadi adalah perbedaan kepentingan, maka ini lain lagi ceritanya. NU bukanlah tempat yang boleh dikelola demi tarik-menarik kepentingan. Sekali lagi, sejak berdiri hingga hari ini, kepentingan NU hanya berpijak pada dua fondasi utama: umat dan bangsa. Di luar itu, semuanya hanyalah “percikan” yang tidak boleh menggeser orientasi perjuangan NU. Sebab begitu kepentingan lain masuk dan menguasai ruang gerak organisasi, maka yang terancam bukan hanya marwah jam’iyyah, tetapi juga kepercayaan umat yang selama ini menempatkan NU sebagai rumah besar. Menyedihkan jika NU digeser oleh kadernya sendiri, dijadikan hanya sekedar ruang berlindung dan perebutan pengaruh. Khittah NU bukan di situ!

    NU harus kembali pada khittahnya : menjaga tradisi, meneguhkan akhlak dan menjadi penuntun moral bagi kehidupan keumatan dan kebangsaan. Jika fondasi itu retak oleh kepentingan pribadi atau kelompok, maka kita sedang menyalahi amanah para muassis yang membangun organisasi ini dengan ketulusan dan keikhlasan.

    Berpijak pada alur pikiran di atas, maka Idrus menyarankan agar persoalan internal PBNU diselesaikan secara kekeluargaan dan bilamana perlu dengan dialog para kiyai sepuh dan tokoh moral agar muncul solusi yang adil dan berkelanjutan.

    Latar Belakang Isu dan Tuduhan

    Beberapa poin dalam risalah yang memicu kontroversi antara lain : tuduhan pengelolaan keuangan PBNU yang tidak transparan, serta kehadiran narasumber acara Akademi Kepemimpinan Nasional (AKN) NU yang dinilai kontroversial karena terkait dengan jaringan internasional.

    Gus Yahya mengakui telah membahas isu tersebut dalam pertemuan Syuriah dan bahwa sebagian anggota menyatakan penyesalan atas kurangnya informasi awal. “Ketika saya beri penjelasan utuh, mereka menyesal,” ujarnya. Ia optimistis bahwa NU dapat melewati badai ini dan menemukan jalan keluar demi kemaslahatan bersama.

    Dari sudut lain, sejumlah pengamat menyoroti absennya banyak Ketua PWNU dalam pertemuan, yang bisa jadi mencerminkan solidaritas yang tidak seragam terhadap kepemimpinan Gus Yahya.

    Tantangan ke Depan dan Seruan Idrus

    Menurut Idrus Marham, krisis PBNU saat ini menjadi momen penting bagi NU untuk introspeksi dan memperkuat jati dirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan yang berdiri di atas nilai moral, bukan sebagai ajang politik elit. Ia menegaskan bahwa konflik internal harus segera dikelola agar tidak merusak kepercayaan warga NU dan publik pada institusi PBNU.

    “Tidak cukup hanya klarifikasi internal, tetapi perlu ada langkah nyata menuju rekonsiliasi dan transparansi agar NU tetap berfungsi sebagai rumah besar umat, bukan panggung manuver kekuasaan,” tegas Idrus.

    Ahmad Khozinudin: Gelar Perkara Khusus di Polda Metro Jaya Bisa Buka Kotak Pandora
    Komentar
    Additional JS