Pedagang Thrifting Pusing Tujuh Keliling, tak Berdaya karena Larangan Impor Menteri Purbaya | Republika Online
Pedagang Thrifting Pusing Tujuh Keliling, tak Berdaya karena Larangan Impor Menteri Purbaya | Republika Online
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Rencana pemerintah untuk menghapus praktik penjualan barang thrift atau pakaian bekas impor demi menguatkan sektor UMKM lokal memantik reaksi dari para pelaku usaha thrifting tak terkecuali di Yogyakarta. Sebagai salah satu daerah dengan kultur konsumsi fesyen bekas yang kuat dan populasi mahasiswa yang besar, Yogyakarta juga menjadi salah satu pusat ekosistem thrift.
Tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan ekonomi keluarga dari bisnis tersebut. Republika sempat berbincang dengan beberapa pelaku usaha yang menggeluti bidang itu. Rata-rata mengaku memahami rencana pemerintah untuk memperkuat industri lokal. Namun mereka menilai kebijakan pelarangan sebaiknya dibarengi dengan pembenahan kualitas produk dalam negeri agar mampu bersaing secara wajar.
Baca Juga :
Salah satu yang menyampaikannya adalah Putri Nurmala, pemilik usaha thrift di Jogja, yang sudah berjualan sejak 2017. Putri menceritakan mulai menekuni thrifting sejak masih duduk di bangku kuliah. Ketertarikan itu sebenarnya sudah tumbuh sejak ia masih di bangku SMA, ketika kultur thrifting di Jogja berkembang pesat terutama saat Sekaten.
Berbeda dengan anggapan umum bahwa pakaian thrift sekadar barang bekas murah, Putri menilai kenyamanan bahan menjadi daya tarik utama. Ia menyebut beberapa produk lokal masih kalah secara kualitas.
Baca Juga :
"Memang kalau thrift itu dibilang barang bekas tapi saya lebih cari kenyamanan sih, bahannya itu nyaman gitu. Kalau yang produk lokal itu biasanya kan kurang nyaman ya, panas kainnya, terus habis itu jahitannya juga nggak rapi, terus kadang harganya juga agak tinggi gitu," katanya saat berbincang dengan Republika di toko miliknya yang berada di kawasan Maguwoharjo, Rabu (26/11/2025).

Menurut Putri, peminat thrift datang dari seluruh usia. Dengan harga jual Rp10.000–Rp50.000, ia menyebut pakaian thrift kian diminati karena kualitasnya masih bagus dan nyaman digunakan. Ditambah lagi harganya yang terjangkau, namun para pembeli sudah bisa mendapatkan pakaian thrift dengan merek yang bagus.
Baca Juga :
"Animo pembeli thrift sangat tinggi. Banyak orang lebih memilih membeli baju thrift karena harga dan kualitasnya," ungkapnya.
Halaman 2 / 2

Putri mengaku pendapatan toko thrift-nya bisa mencapai Rp5–10 juta. Ia pun merasa khawatir oleh rencana pemerintah yang melarang peredaran pakaian bekas impor. Menanggapi wacana tersebut, Putri menilai pemerintah perlu mengambil langkah bijak agar tidak mematikan sumber pendapatan masyarakat kecil.
"Kalau saya sih berpikiran ada 2 sisi ya. Saya juga ingin mendukung pemerintah tapi ini juga jadi ladang mata pencaharian saya," ujarnya.
Ia menilai pemerintah perlu memperbaiki kualitas produk lokal terlebih dulu sebelum menuntut masyarakat beralih sepenuhnya ke produk dalam negeri. "Kualitas produk dalam negeri kita itu harusnya dibenahi dulu. Dengan harga yang tinggi tapi kualitas juga harusnya sudah bagus. Kalau produk dalam negeri tidak dibenahi sama aja sih menurut saya," ucapnya.

Meski demikian, Putri tetap siap mengikuti aturan jika thrift benar-benar dilarang. "Kalau thrifting memang sudah dilarang ya sudah, saya juga tidak akan jualan thrifting lagi. Jadi simpel aja sih, fleksibel aja sih. Tapi ya, pemerintah juga memperbaiki produk dalam negeri dulu sih. Dan mungkin juga perlu ada regulasi yang jelas ya, yang nggak tumpang tindih ya," ucapnya.
Pendapat senada disampaikan pedagang thrift lainnya, Hansa Syarifah. Dia menyoroti tingginya peminat thrift di Yogyakarta. Ia sudah berjualan selama 2–3 tahun dan mengambil barang dari pemasok bal-balan di Bandung.
"Jualan thrifting itu harganya yang murah, banyak modelnya, terus konsumen juga suka dengan harga murah dan kualitas yang bagus. Peminatnya banyak apalagi untuk di Jogja," katanya.
Ditanya soal wacana larangan, Hansa mengaku tak menolak kebijakan pemerintah selama ada solusi bagi pedagang kecil yang selama ini berkecimpung di usaha thrift. "Saya ikut pemerintah asalkan ada solusi yang lain. Biar kita sebagai pelaku usaha kecil tetap ada pemasukan," ungkapnya.
Hansa berharap ada alternatif produk lokal yang kualitasnya baik namun harganya tetap terjangkau agar konsumen tetap melirik pedagang kecil dibanding toko di mal. "Berharapnya ada peralihan produk lain tapi dengan kualitas bagus dan harga murah agar pembeli banyak melirik pedagang kaki lima seperti kita daripada ke mal," ujarnya.
Sebelumnya, diberitakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menolak melegalkan usaha penjualan baju bekas atau thrifting, meskipun para pedagang membayar pajak. Purbaya menyatakan sikap tegasnya bertujuan untuk mencegah terbukanya pasar bagi barang-barang impor ilegal. Menurutnya, apabila pasar domestik dikuasai oleh barang-barang asal luar negeri, maka pengusaha domestik tidak bisa merasakan manfaat keekonomiannya.
"Saya gak peduli sama pedagangnya. Pokoknya barang masuk ilegal, saya berhentiin," ujar Purbaya ketika ditemui di Jakarta, Kamis (20/11/2025).
"Kalau pasar domestiknya dikuasai barang asing, apa untungnya buat pengusaha domestik?" katanya.
Karena itu, untuk memaksimalkan pasar dalam negeri bagi pengusaha domestik, Purbaya berkomitmen dalam menindak tegas praktik penjualan baju bekas impor. Pedagang-pedagang yang terdampak oleh kebijakan tersebut diminta oleh Purbaya untuk beralih ke barang-barang domestik.