Rusia Sebut Pasukan Stabilisasi Gaza Ingatkan Praktik Kolonial, Abaikan Partisipasi Rakyat Palestina - Sindo news
2 min read
Rusia Sebut Pasukan Stabilisasi Gaza Ingatkan Praktik Kolonial, Abaikan Partisipasi Rakyat Palestina
views:
Duta Besar Rusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Vassily Nebenzia. Foto/sputnik
NEW YORK - Duta Besar Rusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Vassily Nebenzia menjelaskan mengapa negaranya abstain dari pemungutan suara resolusi Amerika Serikat (AS). Ia mengungkapkan kekhawatirannya tentang bagaimana resolusi tersebut mengesampingkan partisipasi rakyat Palestina dan menuduh AS tidak bertindak dengan "itikad baik" untuk meloloskannya.
"Yang terpenting, dokumen ini tidak boleh menjadi dalih bagi eksperimen tak terkendali yang dilakukan AS di Israel, di wilayah Palestina yang diduduki," tegas Nebenzia.
Nebenzia menyatakan kekhawatirannya bahwa resolusi tersebut tidak memuat informasi tentang bagaimana Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) akan bekerja sama dengan Otoritas Palestina.
Berdasarkan resolusi yang diadopsi, Nebenzia mengatakan, “Pasukan tersebut tampaknya dapat bertindak secara otonom tanpa mempertimbangkan posisi maupun pendapat Ramallah."
"Hal ini dapat memperkokoh pemisahan Jalur Gaza dari Tepi Barat. Hal ini mengingatkan kita pada praktik kolonial dan Mandat Inggris untuk Palestina di Liga Bangsa-Bangsa, ketika pendapat rakyat Palestina sendiri tidak diperhitungkan," ujar utusan Rusia tersebut kepada Dewan Keamanan PBB.
Ia juga menyatakan kekhawatiran bahwa mandat pasukan tersebut dalam rencana Presiden AS Donald Trump masih dipertanyakan, termasuk apakah "tugas penegakan perdamaian" yang dimilikinya dapat "benar-benar mengubahnya menjadi pihak dalam konflik yang melampaui batas-batas penjagaan perdamaian".
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul menyebut dukungan terhadap proposal Trump terkait Gaza sebagai "kabar baik", dan menambahkan, “Jerman siap memainkan peran konstruktif dalam rekonstruksi Gaza."
Menteri Luar Negeri Inggris Yvette Cooper juga memuji dukungan DK PBB terhadap resolusi tersebut, dengan mengatakan komunitas internasional kini perlu bekerja sama untuk mewujudkan rencana 20 poin presiden AS tersebut menjadi "perdamaian yang adil dan abadi".
Cooper mencatat, “Resolusi tersebut menyoroti pentingnya peningkatan bantuan kemanusiaan yang masih sangat dibutuhkan di Gaza."
"Kita sekarang harus mengambil tindakan segera untuk membuka semua penyeberangan, mencabut pembatasan, dan membanjiri Gaza dengan bantuan," ujarnya.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambut resolusi ini sebagai kemenangan bagi Trump dan kemenangan bagi agenda pemerintah Israel yang menginginkan demiliterisasi Gaza.
Yair Lapid, yang memimpin oposisi di Knesset, terdengar seperti berada di sisi kanan Netanyahu.
Beberapa mantan pejabat AS dan pejabat yang masih menjabat mengatakan resolusi tersebut dirancang dengan cara yang tidak akan sepenuhnya memuaskan siapa pun.
Bahkan penyebutan samar tentang negara Palestina dalam teks resolusi tersebut telah memicu badai perdebatan di Israel.
Ingatlah bahwa ini adalah pemerintahan paling sayap kanan dalam sejarah Israel. Knesset Israel telah mengadopsi resolusi yang menyatakan Israel berkomitmen memastikan tidak ada negara Palestina yang pernah ada.
Baca juga: Hamas: Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Gaza Tak Penuhi Tuntutan Rakyat Palestina
"Yang terpenting, dokumen ini tidak boleh menjadi dalih bagi eksperimen tak terkendali yang dilakukan AS di Israel, di wilayah Palestina yang diduduki," tegas Nebenzia.
Nebenzia menyatakan kekhawatirannya bahwa resolusi tersebut tidak memuat informasi tentang bagaimana Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) akan bekerja sama dengan Otoritas Palestina.
Berdasarkan resolusi yang diadopsi, Nebenzia mengatakan, “Pasukan tersebut tampaknya dapat bertindak secara otonom tanpa mempertimbangkan posisi maupun pendapat Ramallah."
"Hal ini dapat memperkokoh pemisahan Jalur Gaza dari Tepi Barat. Hal ini mengingatkan kita pada praktik kolonial dan Mandat Inggris untuk Palestina di Liga Bangsa-Bangsa, ketika pendapat rakyat Palestina sendiri tidak diperhitungkan," ujar utusan Rusia tersebut kepada Dewan Keamanan PBB.
Ia juga menyatakan kekhawatiran bahwa mandat pasukan tersebut dalam rencana Presiden AS Donald Trump masih dipertanyakan, termasuk apakah "tugas penegakan perdamaian" yang dimilikinya dapat "benar-benar mengubahnya menjadi pihak dalam konflik yang melampaui batas-batas penjagaan perdamaian".
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul menyebut dukungan terhadap proposal Trump terkait Gaza sebagai "kabar baik", dan menambahkan, “Jerman siap memainkan peran konstruktif dalam rekonstruksi Gaza."
Menteri Luar Negeri Inggris Yvette Cooper juga memuji dukungan DK PBB terhadap resolusi tersebut, dengan mengatakan komunitas internasional kini perlu bekerja sama untuk mewujudkan rencana 20 poin presiden AS tersebut menjadi "perdamaian yang adil dan abadi".
Cooper mencatat, “Resolusi tersebut menyoroti pentingnya peningkatan bantuan kemanusiaan yang masih sangat dibutuhkan di Gaza."
"Kita sekarang harus mengambil tindakan segera untuk membuka semua penyeberangan, mencabut pembatasan, dan membanjiri Gaza dengan bantuan," ujarnya.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambut resolusi ini sebagai kemenangan bagi Trump dan kemenangan bagi agenda pemerintah Israel yang menginginkan demiliterisasi Gaza.
Yair Lapid, yang memimpin oposisi di Knesset, terdengar seperti berada di sisi kanan Netanyahu.
Beberapa mantan pejabat AS dan pejabat yang masih menjabat mengatakan resolusi tersebut dirancang dengan cara yang tidak akan sepenuhnya memuaskan siapa pun.
Bahkan penyebutan samar tentang negara Palestina dalam teks resolusi tersebut telah memicu badai perdebatan di Israel.
Ingatlah bahwa ini adalah pemerintahan paling sayap kanan dalam sejarah Israel. Knesset Israel telah mengadopsi resolusi yang menyatakan Israel berkomitmen memastikan tidak ada negara Palestina yang pernah ada.
Baca juga: Hamas: Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Gaza Tak Penuhi Tuntutan Rakyat Palestina
(sya)