Bencana Sumatera, Pakar Geofisika ITS: Hutan Alam di Gunung Harus Dikembalikan, Bukan Kelapa Sawit - Viva
Bencana Sumatera, Pakar Geofisika ITS: Hutan Alam di Gunung Harus Dikembalikan, Bukan Kelapa Sawit
SURABAYA, KOMPAS.com - Pakar Geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengungkapkan alasan lahan perkebunan kelapa sawit tidak bisa menggantikan fungsi hutan dalam menahan longsor dan banjir di Sumatera.
Hal itu disampaikan Dr. Ir. Amien Widodo, M.Si, dosen Departemen Teknik Geofisika ITS menjelaskan pada dasarnya komposisi permukaan bumi yang mulanya didominasi bebatuan akan mengalami proses pelapukan yang dipengaruhi beberapa faktor.
Seperti iklim, topografi, vegetasi dan waktu.
“Iklim khususnya hujan dan panas dapat mempercepat proses pecahnya batu karena Indonesia iklim tropis maka tanah yang terbentuk lebih tebal dibandingkan kawasan lainnya,” jelas Amien saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/5/2025).
Kemudian, dengan adanya pohon-pohon yang besar dan lebat selain dapat melapukkan batuan, akarnya yang Panjang juga dapat mempertebal ketebalan tanah.
Ia menuturkan, tanah gunung yang tebal dapat stabil dan bertahan di lereng yang tajam karena ditahan oleh akar serabut hutan.
Sedangkan, bagian akar tunjang berfungsi sebagai angker (paku) ke lapisan tanah di bawahnya.
“Hutan pun semakin lebat dan tanah semakin tebal dan luas. Dedaunan dan ranting pohon tang jatuh ke dasar hutan akan membentuk lapisan serasah tebal yang menempati dasar hutan,” jelasnya.
Lapisan serasah merupakan lapisan tanah yang berperan penting dalam siklus nutrisi serta menjaga kelembapan tanah.
Sehingga, saat hujan datang setiap tahunnya, air yang jatuh akan ditahan oleh kanopi hutan dan jatuh ke bawah masuk lewat lapisan serasah.
Yang akhirnya meresap ke dalam tanah, mengisi cadangan air bawah tanah.
“Hutan di gunung mampu meresapkan air hujan semusim ke dalam tanah sebesar lebih 80 persen dan sebagian kecil air hujan dialirkan sebagai air permukaan,” tuturnya.
Hal ini berarti, lanjutnya, air yang terserap ke tanah akan dikeluarkan secara proporsional di sekeliling gunung sebagai mata air yang akan menyuplai dan menambah debit air sungai di sekeliling gunung.
“Akhirnya muncul simbiosis mutualisme antara tanah gunung, hutan dan iklim dalam satu ekosistem hutan asli. Mereka tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan satu sama lain,” ucapnya.
Namun, menurutnya apabila posisi hutan tersebut digantikan dengan lahan perkebunan kelapa sawit, hotel, vila, dan lain sebagianya, maka faktor-faktor dalam ekosistem tersebut ada yang dihilangkan.
“Sehingga akan menyebabkan tanah gunung tidak terlindungi dan tidak stabil. Maka, tanah gunung siap longsor menunggu pemicu,” ujarnya.
Ia menegaskan harus ada upaya mitigasi untuk mengembalikan hutan atau reboisasi di kawasan puncak gunung.
Menurutnya, kawasan tersebut hanya dialokasikan untuk hutan alam dan pelestariannya serta kawasan resapan.
“Khusus untuk kawasan-kawasan pegunungan yang rusak berat dan gundul disarankan untuk dilakukan rekayasa vegetasi dan reboisasi dengan pengawasan ketat dan penegakan hukum yang ketat pula,” terangnya.
Rekayasa vegetasi yang dapat dilakukan dengan menanam stek yaitu batang pohon yang dapat hidup dengan cara 2/3 masuk ke tanah dan 1/3 di atas tanah.
Dengan metoda tersebut diharapkan di sepanjang batang yang masuk ke dalam tanah akan muncul dan tumbuh akar yang dapat berfungsi sebagai pengikat tanah.
“Dengan semakin besarnya daya ikat tanah, maka tanah tersebut tidak mudah longsor dan tererosi,” pungkasnya.
