Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Banjir Deforestasi Featured Greenpeace Krisis Iklim Lintas Peristiwa Spesial Sumatera

    Greenpeace Sebut Banjir Sumatera akibat Deforestasi dan Krisis Iklim - Kompas

    4 min read

     

    Greenpeace Sebut Banjir Sumatera akibat Deforestasi dan Krisis Iklim

    Kompas.com, 18 Desember 2025, 12:35 WIB
    Lihat Foto

    Masjid di asrama putra Pondok Pesantren Darul Mukhlisin Aceh Tamiang masih berdiri kokoh di antaranya tumpukan kayu yang terbawa arus banjir dan tanah longsor, Jumat (13/12/2025).
    Rumah dan masjid yang tertimbun material longsor pasca bencana di Desa Lampahan Timur, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah, Aceh, Minggu (14/12/2025). Berdasarkan data pos Komando tanggap darurat bencana hidrometeorologi Aceh mencatat sebanyak 14.352 rumah warga mengalami kerusakan berat dan ringan serta enam unit rumah ibadah rusak pasca bencana hidrometeorologi pada Rabu (26/11) lalu.

    KOMPAS.com - Banjir bandang di Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara disebabkan deforestasi serta krisis iklim, menurut Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid.

    Dia menilai, bencana yang merenggut 1.058 nyawa itu sebagai ekosida atau kejahatan serius berupa perusakan lingkungan hidup berskala masif, sistematis, dan meluas yang mengancam ekosistem.

    Baca juga: 

    “Kalau kita lihat unsurnya, ini terencana, sistematik, dan meluas. Kerugiannya menurut hitungan Celios mencapai Rp 68,8 triliun, itu pun baru kerusakan infrastruktur, belum biaya pemulihan,” kata Khalisah dalam keterangannya, Kamis (18/12/2025).

    Taubat ekologis

    Masjid di asrama putra Pondok Pesantren Darul Mukhlisin Aceh Tamiang masih berdiri kokoh di antaranya tumpukan kayu yang terbawa arus banjir dan tanah longsor, Jumat (13/12/2025).
    Lihat Foto

    Khalisah menambahkan, krisis iklim tidak datang tiba-tiba, tapi lahir dari kebijakan ekonomi yang eksploitatif.

    Rupa Drone Baru Ukraina: Pemburu Shahed Rusia?

    Maka dari itu, Khalisah mendesak pemerintah melakukan taubat ekologis, sebuah konsep untuk memulihkan kerusakan alam. Tindakan itu harus menyasar pengambil keputusan termasuk politisi, dengan memastikan politik hijau menjadi agenda prioritas.

    "Serta mendorong lahirnya kebijakan yang melindungi masyarakat dan lingkungan," imbuh dia.

    Selain aktivis lingkungan, para pemuka agama menekankan taubat ekologis tidak hanya sebagai seruan moral tetapi diwujudkan dalam koreksi kebijakan negara.

    Sekretaris Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia, Aloysius Budi Purnomo menuturkan, pejabat negara menjadi tokoh yang pertama kali harus menjalankan konsep ini.

    Ia mencontohkan kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia serta penandatanganan Deklarasi Istiqlal bersama Imam Besar Masjid Istiqlal, yang salah satu isinya menyoroti degradasi lingkungan.

    “Taubat ekologis bukan omon-omon. Ia harus masuk ke kebijakan. Ini bukan pilihan, tetapi kewajiban,” jelas Aloysius.

    Baca juga:

    Tantangan ekologis

    Rumah dan masjid yang tertimbun material longsor pasca bencana di Desa Lampahan Timur, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah, Aceh, Minggu (14/12/2025). Berdasarkan data pos Komando tanggap darurat bencana hidrometeorologi Aceh mencatat sebanyak 14.352 rumah warga mengalami kerusakan berat dan ringan serta enam unit rumah ibadah rusak pasca bencana hidrometeorologi pada Rabu (26/11) lalu.
    Lihat Foto

    Sementara itu, Ketua Institute Hijau Indonesia, Chalid Muhammad berpandangan, saat ini Indonesia menghadapi tantangan ekologis yang makin serius. Seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan pokok ikut meningkat.

    “Dunia hari ini sangat kompleks, tetapi diurus dengan kebijakan yang inkonsisten. Tata konsumsi dirusak, kearifan lokal dihancurkan, dan bencana ekologis terus meningkat,” sebut Chalid.

    Ia menegaskan, taubat ekologis harus dimulai dengan pengakuan bahwa pengelolaan sumber daya alam (SDA) selama ini bersifat merusak dan hanya menguntungkan segelintir pihak.

    Menurutnya, pemulihan lingkungan harus berbasis ekonomi warga, bukan sekadar mengejar pertumbuhan eksploitatif.

    “Taubat ekologis harus dipimpin oleh presiden. Tanpa kepemimpinan di level tertinggi, koreksi kebijakan tidak akan kuat,” tutur dia.

    Baca juga:

    Komentar
    Additional JS