Isu Sensitif Dijadikan Konten, Pakar Tegaskan Ferry Irwandi Langgar Etika Publik - kabarnusa
Isu Sensitif Dijadikan Konten, Pakar Tegaskan Ferry Irwandi Langgar Etika Publik - kabarnusa.com
Jakarta – Pakar Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Indonesia, Syurya Muhammad Nur, menilai narasi yang disampaikan konten kreator Ferry Irwandi terkait adanya kasus horor berupa pelecehan seksual di lokasi bencana alam di Sumatera telah melanggar etika komunikasi publik.
“Penyampaian isu pelecehan seksual di lokasi bencana yang disebarkan lewat konten oleh Ferry ini tanpa verifikasi memadai dan berpotensi melukai psikologis korban”, kata Syurya dalam keterangan kepada wartawan, Senin (8/12/2025).
Menurut Syurya, dalam situasi darurat bencana, ruang publik seharusnya diisi oleh pesan empati, edukasi, dan penguatan solidaritas, bukan eksploitasi isu sensitif untuk kepentingan konten.
“Isu kekerasan seksual itu sangat sensitif dan berdampak langsung pada kondisi psikologis korban. Ketika disampaikan secara serampangan oleh konten kreator seperti Ferry ini di ruang publik, apalagi untuk membangun narasi dramatis, itu jelas melanggar etika komunikasi publik,” urainya.
Ia juga mengkritik cara Ferry membingkai gerakan donasi yang seolah-olah menempatkan negara dalam posisi tidak hadir. Dalam perspektif komunikasi politik, pola semacam itu dinilai sebagai upaya menciptakan framing ‘negara gagal’ di tengah kerja nyata pemerintah di lapangan.
“Donasi adalah tindakan mulia. Tapi ketika Ferry cara membungkusnya dengan pesan yang menyudutkan negara, maka nilainya bergeser dari kemanusiaan menjadi alat pembentukan opini politik,” tandasnya.
Syurya menegaskan, narasi semacam ini berisiko memunculkan distrust masyarakat terhadap negara.
“Jika dibiarkan, dampaknya tidak hanya soal citra pemerintah, tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap sistem dan institusi negara”, tegasnya.
Ia menambahkan, pernyataan influencer Rocky Gerung yang menyebut gerakan Ferry sebagai sebuah paradoks bagi pemerintah juga perlu ditempatkan secara proporsional. Menurutnya, kritik dalam demokrasi sah-sah saja, namun harus disampaikan secara etis, berbasis data, dan tidak memprovokasi publik di tengah bencana.
“Kalau kritik dibangun dari isu yang belum terverifikasi dan dikemas secara provokatif, yang lahir bukan kontrol, melainkan kegaduhan. Pola Ferry maupun Rocky Gerung ini berbahaya karena bisa memicu konflik sosial di lapangan,” jelasnya.
Syurya mengingatkan agar seluruh pihak, terutama figur publik dan konten kreator, lebih bertanggung jawab dalam memproduksi pesan di ruang digital, khususnya saat masyarakat sedang berada dalam kondisi trauma akibat bencana.
“Pengaruh mereka besar. Maka etika harus diletakkan di atas popularitas dan sensasi,” pungkasnya.***
Share Articles