MUI, NU, dan Muhammadiyah Desak Pemerintah Tetapkan Musibah Sumatera sebagai Bencana Nasional - Jawa Pos
MUI, NU, dan Muhammadiyah Desak Pemerintah Tetapkan Musibah Sumatera sebagai Bencana Nasional - Jawa Pos
JawaPos.com - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, mengalami tingkat kerusakan, jumlah korban yang besar. Namun, hingga kini pemerintah belum menetapkan musibah pada tiga provinsi tersebut sebagai bencana nasional.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Anwar Iskandar, meminta pemerintah segera menetapkan musibah tersebut sebagai bencana nasional. Hal ini penting, agar proses pemulihan terhadap terdampak bencana dapat dilakukan lebih progresif.
“Apalagi banyak daerah bencana di Sumatra seperti Aceh, Sumut, dan Sumbar ini telah meluluhlantakkan seluruh infrastruktur seperti jalan dan jembatan, juga rumah penduduk serta gedung sekolah dan tempat peribadatan. Bahkan tidak sedikit korban yang belum ketemu, bahkan belum tersentuh bantuan. Sisi lain, kemampuan pemerintah daerah juga sangat terbatas,” kata Kiai Anwar sebagaimana dikutip dalam siaran pers, Rabu (3/12).
Ia berharap, pemerintah segera menaikkan status dan level bencana di Sumatera agar penanganannya dapat dilakukan secara lebih komprehensif.
Sebab, masih ada sejumlah wilayah terdampak yang belum dapat dijangkau relawan, karena kerusakan jalur transportasi yang sangat parah sehingga harus ditempuh menggunakan jalur udara.
Ia memahami, penetapan status Bencana Nasional memerlukan kajian mendalam. Namun, ia meyakini lembaga terkait seperti BNPB mampu memberikan masukan yang komprehensif kepada Presiden Prabowo.
“Termasuk masukan dari pemerintah daerah agar bisa memberikan laporan tentang situasi di lapangan seobjektif mungkin agar Presiden tidak salah dalam mengambil keputusan. Bahkan laporan dari kawan-kawan MUI Sumatra juga membenarkan bahwa situasi di lapangan benar-benar darurat,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Al Amin, Kediri, itu.
Ia menambahkan, hingga kini belum semua korban terdampak mendapatkan penanganan optimal. Hal itu sebagaimana terjadi di Aceh. Kondisi tersebut diperparah dengan lumpuhnya jalur komunikasi, membuat relawan dan aparat kesulitan mengidentifikasi kondisi sebenarnya di lapangan.
“Sinyal HP saja tidak ada, sehingga ini makin memberatkan. Belum lagi kelangkaan BBM dan mulai naiknya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat,” tegasnya.
Senada disampaikan, Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPBI PBNU), Affan Asirozi. Ia menyampaikan, kenaikan status bencana membutuhkan kajian mendalam serta laporan resmi dari gubernur sebelum pemerintah pusat dapat menetapkan status bencana nasional.
“Pada saat pemerintah menetapkan situasi tanggap darurat itu, memang perlu beberapa kajian. Yang dikaji adalah jumlah korban, kerugian harta benda, perusahaan, sarana prasarana wilayah, serta dampak sosial ekonomi,” ujarnya.
Affan menjelaskan, mekanisme formal kenaikan status bencana tetap bertumpu pada laporan gubernur kepada pemerintah pusat. Padahal, terdapat kepala daerah yang menyatakan ketidaksanggupan menangani bencana Sumatera.
“Status bencana itu biasanya pemerintah mendapatkan laporan dari gubernur dulu. Bila gubernur sudah tidak mampu menangani atau bencana itu melampaui kewenangan dan kemampuan daerahnya, maka gubernur bersurat secara resmi kepada pemerintah pusat atau presiden. Lalu pemerintah pusat mengkaji dan kemudian menetapkan status bencana itu,” jelasnya.
Provinsi Aceh telah menyatakan ketidakmampuan dalam melaksanakan upaya penanganan darurat. Affan menilai bahwa Sumut dan Sumbar juga dapat melakukan langkah serupa untuk mendesak peningkatan status bencana.