Pakar UGM: Daerah Tetap Jadi Garda Terdepan Penanganan Bencana - ANTARA
Pakar UGM: Daerah Tetap Jadi Garda Terdepan Penanganan Bencana
Yogyakarta, Beritasatu.com - Banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025 masih meninggalkan dampak besar bagi masyarakat. Hingga Jumat (5/12/2025), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 836 korban meninggal dunia dan 509 orang masih hilang. Meski tekanan publik meningkat, pemerintah belum menetapkan peristiwa tersebut sebagai bencana nasional.
Menanggapi polemik itu, Tenaga Ahli Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM, Prof Djati Mardiatno menegaskan, penetapan bencana nasional tidak dapat dilakukan secara instan. Menurutnya, terdapat mekanisme berjenjang yang wajib diikuti, bukan sekadar melihat besarnya jumlah korban atau cakupan dampak.
Ia menjelaskan, pemerintah daerah melalui BPBD merupakan pihak pertama yang berkewajiban melakukan respons cepat. Selama pemerintah daerah masih dapat melaksanakan fungsi penanganan dan koordinasi, status bencana nasional belum perlu diberlakukan.
Kemenkes Siapkan 4 Strategi Tangani Korban Banjir Sumatera
“Ada mekanisme dan kriteria teknis, kelembagaan, dan koordinasi pemerintahan yang harus dipenuhi. Selama daerah masih mampu menangani itu tidak masalah. Pemerintah daerah adalah garda terdepan,” ujarnya.
Prof Djati memerinci eskalasi status dilakukan apabila kabupaten/kota tidak lagi mampu menangani bencana. Kepala daerah harus terlebih dahulu menyampaikan pernyataan resmi kepada pemerintah provinsi. Jika provinsi juga kewalahan, barulah pemerintah pusat turun mengambil alih.
“Sebelum naik tingkat, daerah harus terlebih dahulu menetapkan status darurat. Baru kemudian provinsi, lalu sampailah ke pusat apabila memang daerah sudah tidak sanggup,” jelasnya.
Kapolri Percepat Penelusuran Kayu Gelondongan di Banjir Sumatera
Ia menilai kehati-hatian pemerintah dalam menetapkan bencana nasional penting untuk mencegah kelumpuhan birokrasi daerah. Menurutnya, penarikan penuh kewenangan ke pusat dapat membuat aparat di daerah kehilangan ruang gerak meski masih mampu bekerja.
“Kalaupun ditetapkan sebagai bencana nasional, lalu untuk apa? Di daerah sebenarnya mereka masih mampu melakukan pencarian, pertolongan, hingga evakuasi. Namun, ketika status langsung ditarik ke pusat, semua tim dari pusat datang, sementara daerah yang masih bisa bekerja justru tidak diberi ruang,” katanya.
Terkait anggaran penanggulangan bencana, ia menekankan perlunya penguatan mitigasi. Menurutnya, anggaran prabencana jauh lebih efisien dibanding menanggung biaya besar pada fase darurat.
“Sebetulnya anggaran penanggulangan bencana itu minimal harus disiapkan 1% dari jumlah anggaran. Dan proporsi terbesar seharusnya bukan di darurat atau pascabencana, tetapi di prabencana,” tegasnya.
Nyala 1.000 Lilin Mahasiswa Kalteng untuk Korban Bencana Sumatera
Prof Djati juga menyoroti rangkaian siklon tropis dalam satu dekade terakhir yang seharusnya menjadi alarm peningkatan kesiapsiagaan hidrometeorologi. Meski BMKG telah mengeluarkan peringatan dini, ia menyebut masih ada daerah yang belum merespons secara sistematis.
“Yang perlu dipastikan adalah kesiapan daerah dalam merespon peringatan dini. Bukan hanya memiliki rencana kontingensi, tetapi juga benar-benar mengaktifkannya,” pungkasnya.