Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Bencana Featured Istimewa Lintas Peristiwa Pendidikan Spesial

    Pentingnya Pendidikan Tanggap Bencana Sejak Dini / NU dan

    8 min read

     

    Pentingnya Pendidikan Tanggap Bencana Sejak Dini

    NU Online  ·  Senin, 1 Desember 2025 | 19:30 WIB



    Pentingnya Pendidikan Tanggap Bencana Sejak Dini

    Esti Purnawinarni, pengurus LP Maarif PBNU. (Foto: dok. pribadi)

    Muhammad Asrofi

    Jakarta, NU Online

    Banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra dalam beberapa hari terakhir kembali menjadi peringatan keras bahwa Indonesia berada pada kondisi darurat kesiapsiagaan bencana.


    Musibah tersebut menimbulkan korban jiwa, memaksa ribuan warga mengungsi, dan merusak infrastruktur vital. Situasi ini dinilai menjadi alarm penting bagi dunia pendidikan untuk memperkuat pendidikan tanggap bencana sejak usia sekolah, agar generasi muda memiliki kapasitas menghadapi kondisi darurat secara cepat dan terukur.


    Esti Purnawinarni, pengurus Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan bahwa pendidikan kebencanaan tidak bisa lagi dipandang sebagai pelengkap kegiatan sekolah, tetapi harus ditempatkan sebagai kompetensi dasar yang wajib dimiliki setiap anak.

    Baca Juga

    Ancaman Longsor Meningkat, LPBINU Imbau Mayarakat Lebih Tanggap Bencana


    “Setiap individu perlu mengetahui ruang hidupnya artinya mengenal secara baik situasi dan kondisi ruang tempat hidupnya, sebagai bagian dari makhluk hidup di bumi. Mengenal ruang hidup ini dapat disebut sebagai kesadaran ruang atau geospatial awareness, atau mengenali ekosistem ruang kehidupannya,” ujar Esti kepada NU Online pada Senin (1/12/2025).


    Menurutnya, kesadaran akan ruang hidup dan potensi risiko bencana di sekitarnya harus menjadi fondasi utama dalam pendidikan bencana.


    “Mulai dari mengetahui posisi dalam ruang dengan masing-masing ukiran ruang (skala), posisi bumi dalam skala jagat raya, posisi ruang hidup dalam skala bumi (tropis, subtropis, kutub), posisi terhadap permukaan air laut rata-rata atau mean sea level (dataran tinggi, dataran rendah dan pesisir), kondisi tanah subur, sedang dan tandus juga kondisi keamanan ruang hidup yang menyangkut kestabilan tanah yang berkaitan dengan struktur lempeng bumi dan peluang terjadinya bencana akibat cuaca dan iklim yang ekstrim,” ujar Esti.


    Ia menjelaskan bahwa kemampuan mengenali ruang hidup dapat disebut sebagai geospatial awareness, yaitu pemahaman mengenai ekosistem ruang berdasarkan karakter wilayah, struktur geografis, dan potensi bahaya di kawasan tersebut.

    Baca Juga

    LPBINU: Status Bencana Nasional di Aceh-Sumatra Perlu Kajian dan Surat Resmi Gubernur ke Presiden


    Esti menjelaskan bahwa kesadaran geospasial perlu ditanamkan mulai masa sekolah dasar, agar anak mampu memahami risiko yang mungkin terjadi di wilayahnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, atau tsunami. Indonesia yang berada di pertemuan tiga lempeng tektonik dunia memiliki potensi bencana yang sangat tinggi sehingga pendidikan kebencanaan bersifat mendesak.


    “Kesadaran anak Indonesia akan posisi Indonesia yang berada di pertemuan lempeng benua sangat penting karena sewaktu-waktu dapat terjadi bencana. Jadi anak Indonesia harus mengenal jenis bencana yang dapat terjadi dan bagaimana kesiapan menyikapinya atau dididik tanggap bencana,” tegasnya.


    Menurut Esti, pendidikan kebencanaan tidak cukup dalam bentuk teori, tetapi harus dilihat sebagai wujud tanggung jawab moral dan spiritual manusia untuk menjaga bumi.


    “Dalam perspektif ekoteologi yang digagas oleh Kemenag, pendidikan kebencanaan bukan sekadar keterampilan teknis tetapi wujud tanggung jawab moral dan spiritual manusia sebagai khalifah di bumi. Melalui pendidikan ini juga siswa tidak hanya siap menghadapi kondisi darurat tapi juga tumbuh dengan kesadaran ekologis dan sikap religius bahwa melindungi alam adalah bagian dari ibadah dan amanah yang harus dijaga,” lanjutnya.

    Baca Juga

    Pasca-Bencana Banjir Bandang, LPBI PBNU Imbau Warga Aceh dan Sumatra Tetap Waspada


    Bencana besar yang terjadi di Sumatra, kata Esti, menyadarkan semua pihak bahwa kesiapsiagaan yang lemah dapat membawa konsekuensi yang sangat besar. Hilangnya nyawa, kerusakan sosial-ekonomi, dan perubahan bentang alam adalah bukti nyata bahwa mitigasi bencana tidak dapat ditunda.


    “Bencana di Sumatra mengingatkan kita akan pentingnya geospatial awareness untuk mengurangi risiko bencana yang dapat membawa perubahan bentang alam, mempengaruhi sosial masyarakat, kerusakan infrastruktur bahkan korban jiwa,” kata Esti.


    Ia menegaskan bahwa kurikulum sekolah harus dirancang secara integratif agar pendidikan keselamatan lingkungan dan mitigasi risiko menjadi bagian dari indikator keberhasilan belajar, bukan hanya prestasi akademik.


    “Dengan mengintegrasikan pendidikan tanggap bencana ke dalam kurikulum, sekolah dapat memberikan latihan yang berkelanjutan—mulai dari pengenalan jenis bencana, praktik evakuasi, hingga pemahaman peran masing-masing saat situasi darurat. Indikator keberhasilan pembelajaran hendaknya tidak hanya pada kompetensi tertentu, tetapi kompetensi pelestarian alam mestinya menjadi indikator keberhasilan pembelajaran,” tambahnya.

    Baca Juga

    Akar Penyebab Banjir dan Longsor Sumatra: Deforestasi Masif dan Hilangnya Fungsi Hidrologis Kawasan Hulu


    Lebih lanjut, kata Esti, pembelajaran sejak dini membuat siswa memiliki refleks keselamatan yang kuat, terbiasa membaca tanda bahaya, serta mampu menjaga diri dan membantu orang lain. Kurikulum tanggap bencana pada akhirnya bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi pembentukan budaya siaga yang tertanam sejak kecil, sehingga generasi mendatang lebih siap menghadapi risiko bencana apa pun.


    "Kompetensi pelestarian alam, kesadaran risiko bencana, literasi lingkungan yang kuat, serta kemampuan membaca kondisi sekitar berbasis data geospasial perlu menjadi bagian dari indikator keberhasilan belajar. Dengan demikian, sekolah dan madrasah tidak hanya menghasilkan murid yang cakap secara akademik, tetapi juga memiliki kepedulian ekologis, kesadaran keberlanjutan, serta kemampuan adaptif terhadap risiko bencana di wilayahnya," katanya.


    Integrasi kurikulum masih terbatas

    Meski pemerintah melalui Kemendikdasmen dan Kemenag telah mengembangkan program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), implementasinya dinilai masih belum merata.

    Baca Juga

    Menemukan Tuhan di Tengah Krisis Lingkungan


    “Pendidikan tanggap bencana masih belum secara utuh diterima anak didik, masih secara parsial dalam berbagai mata pelajaran, belum terintegrasi mendidik kesadaran. Masih perlu dirangkai berkesinambungan untuk membangun kesadaran menjadi bekal kehidupan,” kata Esti.


    Untuk memperluas cakupan implementasi, ia menekankan perlunya sejumlah langkah strategis: perluasan SPAB ke seluruh sekolah dan madrasah, perbaikan infrastruktur keselamatan, pelatihan guru dan fasilitator secara berkelanjutan, serta pemantauan rutin agar implementasi tidak berhenti pada administrasi. Selain itu, ia menilai kolaborasi lintas lembaga sangat penting.


    “Kolaborasi BPBD, BNPB, PMI, dinas kesehatan, perguruan tinggi, dan komunitas lokal sangat penting untuk memastikan sekolah mendapatkan dukungan teknis, sumber daya, dan pendampingan berbasis keahlian,” terangnya.


    Menurut Esti, pendidikan tanggap bencana idealnya mencakup latihan evakuasi rutin, pembuatan peta jalur evakuasi, pembiasaan membaca tanda bahaya, dan pelatihan khusus bagi guru serta tenaga sekolah. Pendidikan ini akan melahirkan refleks keselamatan yang kuat dan menjadi budaya perilaku.


    “Karena tanggap bencana merupakan respon bersama terhadap kesadaran geospasial bangsa Indonesia, baik guru, siswa, orang tua siswa dan sekolah harus memiliki satu konsep pendidikan geospatial awareness, yang membangun, sikap dan perilaku," katanya.


    "Kesadaran akan posisi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, diapit dua samudera, terbentang di khatulistiwa dan berada di pertemuan lempeng benua maka pendidikan tanggap bencana wajib dilakukan sejak usia dini sehingga menjadi perilaku yang khusus atau spesifik saat usia dewasa,” tutupnya.

    Komentar
    Additional JS