Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Istimewa Pelanggaran HAM Spesial Tesso Nilo

    Relokasi Warga TN Tesso Nilo Tak Bisa Langsung Disebut Pelanggaran HAM karena Tujuannya Konservasi - Tribunnews

    10 min read

     

    Relokasi Warga TN Tesso Nilo Tak Bisa Langsung Disebut Pelanggaran HAM karena Tujuannya Konservasi - Tribunnews.com

    Editor: Wahyu Gilang Putranto

    Ulet Ifansasti/Greenpeace
    POLEMIK TESSO NILO - Keindahan hutan Taman Nasional Tesso Nilo terancam oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit yang tidak bertanggung jawab. Foto diambil pada 9 September 2011. Guru besar UNS: Tindakan relokasi bisa disebut pelanggaran HAM jika memang ada upaya paksa yang dilakukan pemerintah tanpa dasar hukum yang jelas. 
    Ringkasan Berita:

      TRIBUNNEWS.COM - Guru Besar Hukum Tata Guna Tanah Fakultas Hukum UNS, Rahayu Subekti, menyebut rencana relokasi warga di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, tidak bisa langsung disebut sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

      Sebelumnya, alasan relokasi warga kawasan TNTN ini karena sebagai salah satu upaya untuk memulihkan kembali fungsi lahan akibat polemik yang sudah terjadi selama puluhan tahun lalu, yakni sejak 2014 wilayah TNTN terus tergerus oleh perkebunan kelapa sawit ilegal hingga permukiman masyarakat pendatang. 

      Karena hal ini, hutan yang harusnya alami, kini terus menyusut hingga menyebabkan kehidupan flora dan fauna terancam punah, termasuk gajah Sumatra yang langka dan harus dilindungi.

      TNTN diketahui memiliki luas mencapai 81.793 hektare, tetapi karena banyaknya kawasan hutan yang tergerus, saat ini hanya tinggal tersisa seluas 12.561 hektare atau sekitar 15 persen kawasan hutan yang masih bisa difungsikan sebagai hutan alami.

      Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) melalui Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan (Ditjen Gakkum Kehutanan) bersama Satuan tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) terus memperkuat operasi penertiban dan pengamanan kawasan di TNTN.

      Namun, pelaksanaan operasi penertiban ini membuat warga sekitar TNTN berdemo karena ada sebanyak 50.000 jiwa yang terdampak klaim kawasan hutan oleh pemerintah. Warga pun menolak relokasi dan mengklaim memiliki hak atas lahan, bahkan ribuan hektare lahan telah memiliki sertifikat hak milik (SHM) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

      Rekomendasi Untuk Anda
      ​Komisi IV DPR Desak Investigasi Dugaan Illegal Logging Pemicu Banjir Bandang di Sumatera

      Maka dari itu, relokasi warga kawasan TNTN ini pun dinilai bisa berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM karena mereka terancam kehilangan kehidupan layak, seperti hak tempat tinggal, hak kesejahteraan, hak atas rasa aman, hingga hak pendidikan terhadap anak.

      Selain itu, banyak warga yang sudah menempati kawasan TNTN selama lebih dari dua dekade secara legal dan memiliki bukti kepemilikan lahan secara sah, sehingga mereka merasa keberatan jika diminta pergi dari tempat tinggalnya.

      Namun, menurut Rahayu, adanya relokasi itu tidak bisa secara otomatis bisa disebut sebagai pelanggaran HAM karena tujuannya adalah untuk konservasi demi memulihkan kembali fungsi lahan, termasuk juga untuk melindungi satwa-satwa langka di Sumatra, seperti gajah Sumatra, harimau Sumatra, dan tapir.

      "Kalau kita katakan tindakan relokasi tadi apakah termasuk dalam pelanggaran HAM? Tentu itu tidak secara otomatis kalau menurut saya. Tindakan relokasi ini bisa bukan pelanggaran HAM manakala dipenuhi beberapa prinsip," katanya dalam wawancara eksklusif bersama Tribunnews dalam program Kacamata Hukum, Senin (1/12/2025).

      "Pertama terkait dengan tujuan yang sah gitu. Pada waktu relokasi itu dilakukan untuk tujuan konservasi yang merupakan kepentingan umum yang lebih tinggi gitu, karena di dalamnya adalah terkait ekosistem dan juga satwa-satwa yang langka tadi," sambungnya.

      Menurut Rahayu, tindakan relokasi itu bisa disebut sebagai pelanggaran HAM jika memang ada upaya paksa yang dilakukan oleh pemerintah tanpa dasar hukum yang jelas.

      Selain itu, tidak ada kompensasi dan ganti rugi yang layak dari pemerintah untuk warga yang direlokasi.

      "Tidak ada solusi hidup yang layak dan memadai gitu. Lalu kalau sampai juga dia mengakibatkan penderitaan dan juga kemiskinan bagi masyarakat yang direlokasi gitu," paparnya.

      Namun, apabila faktor-faktor tadi terpenuhi, kata Rahayu, maka upaya relokasi itu sudah sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak bisa disebut sebagai pelanggaran HAM.

      "Jadi sebetulnya manakala ada solusi yang bisa untuk menuntaskan ganti rugi yang bermartabat, yang bisa menuntaskan ekonomi masyarakat yang dia hidupnya tidak akan turun istilahnya. Itu sudah berdasarkan pada hukum yang berlaku," ucapnya.

      Sementara itu, Komisi Nasional (Komnas) HAM sebelumnya menyatakan relokasi ini bisa menjadi bentuk pelanggaran HAM karena ada beberapa lahan yang sudah mendapatkan legalitas hukum, seperti hak milik, tetapi tetap dilakukan penertiban oleh Satgas PKH.

      "Ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak atas bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak sebagaimana dilindungi di dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, serta Pasal 11 Konvensi Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya," ujar Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah dalam rapat bersama Komisi XIII di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2025).

      Anis juga mengatakan ada sekolah-sekolah negeri yang terancam ditutup karena ada rencana relokasi tersebut dan jika dibiarkan, maka akan merugikan masa depan anak-anak.

      "Ini juga menyebabkan terjadinya pelanggaran hak anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999," ucap dia.

      Pemerintah Lakukan Pendekatan Persuasif

      Terkait dengan relokasi ini, pihak Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) Kehutanan mengatakan bahwa mereka mengedepankan pendekatan persuasif terhadap masyarakat yang kooperatif dan bersedia mengembalikan kawasan. 

      Warga sekitar yang dimintai keterangan diberikan penjelasan mengenai status kawasan, alur penguasaan lahan, dan konsekuensi hukum dari kegiatan di dalam taman nasional. 

      Sejumlah warga pun menyatakan kesediaan menyerahkan kembali lahan yang mereka kuasai melalui surat pernyataan. 

      Ditjen Gakkum Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho mengatakan, pendekatan ini menegaskan bahwa negara tidak memburu masyarakat yang bersedia bekerja sama mengembalikan kawasan, melainkan memfokuskan penindakan pada pemilik lahan, pemodal, dan pihak yang menjadikan Tesso Nilo sebagai komoditas ilegal.

      “Penegakan hukum di Tesso Nilo diarahkan untuk mengembalikan taman nasional ini sebagai rumah Domang dan kawanan gajah lainnya, bukan hamparan kebun sawit," ungkapnya, dilansir kehutanan.go.id, Senin.

      "Operasi penertiban di Tesso Nilo kami rancang untuk memutus rantai bisnis perusakan kawasan, bukan mengorbankan rakyat. Fokus kami menyasar para pemilik lahan, pemodal, dan pengendali alat berat yang memperdagangkan kawasan hutan negara," tegas Januanto.

      Kemenhut bersama Satgas PKH pun memperkuat pengamanan kawasan dengan dukungan Kodam XIX/Tuanku Tambusai dan tambahan personel Polisi Kehutanan dan Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC).

      Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni, juga mengatakan bahwa dengan pendekatan persuasif, nantinya pada Desember 2025 sebanyak 394 Kartu Keluarga (KK) akan direlokasi ke lokasi yang sudah disiapkan. 

      Dia menegaskan bahwa TN Tesso Nilo merupakan rumah bagi Gajah Sumatra sehingga perlu dijaga secara bersama-sama.

      “Kami tau ada resistensi dari masyarakat namun dengan pendekatan persuasif selama 5 bulan terakhir, insyaAllah paling lambat pertengahan Desember kita akan mulai merelokasi temen-temen yang ada terutama di 31 ribu hektare di kawasan inti,"  katanya, dilansir kehutanan.go.id, Senin.

      "InsyaAllah akan ada sekitar 394 KK yang akan kita pindahkan dengan damai, dengan musyawarah tentunya, insya Allah warga lainnya seiring juga kita akan cari lahan pengganti."

      "InsyaAllah mereka juga akan dengan damai kita pindah ke tempat yang memang akan dilegalkan untuk mereka, tapi sekali lagi bukan di Taman Nasional yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai rumah bagi Gajah Sumatra yang memang kondisinya sangat memprihatinkan,” ujar Raja Juli.

      Warga Ngadu ke DPR

      Pada September lalu, forum masyarakat, mahasiswa, hingga perwakilan desa dari Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, bahkan menyampaikan keberatan terhadap relokasi warga dari kawasan TNTN kepada Komisi XIII DPR RI.

      Aliansi yang menamakan diri sebagai Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan itu menilai, kebijakan penataan kawasan TNTN berpotensi menimbulkan dampak sosial yang besar, terutama terhadap sekitar 50.000 warga yang mendiami tujuh desa di kawasan tersebut.

      "Dampak TNTN di tujuh desa, sejarahnya ini sudah ada sejak dahulu masyarakat di situ. Lalu, 50 ribu jiwa mau hendak dikemanakan kalau pemerintah ingin merelokasi,” kata perwakilan aliansi, Wandri Putra Simbolon di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

      Wandri mengatakan, selain ancaman relokasi, kondisi pendidikan anak-anak di dalam kawasan TNTN pun sangat memprihatinkan, karena masih banyak anak yang belajar di bawah pohon sawit imbas tidak tersedia fasilitas pendidikan yang layak.

      "Dalam TNTN itu banyak pelanggaran, termasuk anak belajar di bawah (pohon) kelapa sawit itu benar, itu real adanya bukan hoaks,” ujarnya.

      Wandri juga menyinggung adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi dalam proses penataan kawasan tersebut.

      "Jadi pada saat ini memang banyak sekali ya kalau kita bilang lebih dari satu dugaan-dugaan pelanggaran HAM yang ada di dalam kawasan yang di Pelalawan," ungkapnya.

      Menanggapi aduan tersebut, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso menyampaikan beberapa poin sikap resmi DPR yang juga mengacu pada temuan Komnas HAM, yakni menolak relokasi warga yang berada di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau, karena melanggar HAM.

      Selain itu, Komisi XIII juga mendesak agar Satgas PKH tidak melibatkan aparat TNI dan Polri secara langsung dalam penanganan konflik masyarakat dengan negara.

      Mereka juga merekomendasikan agar Kementerian Hukum dan HAM memimpin koordinasi lintas lembaga, termasuk dengan Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), untuk menangani dugaan pelanggaran HAM secara menyeluruh.

      "Komisi XIII DPR RI juga akan mendorong kasus konflik kepemilikan tanah dan hutan di Provinsi Riau menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti oleh Panitia Khusus atau Pansus Penyelesaian Konflik Agraria yang akan dibentuk DPR RI pada Sidang Paripurna 2 Oktober 2025,” tuturnya.

      (Tribunnews.com/Rifqah)

      Komentar
      Additional JS