Urgensi Kerja Sama Internasional Penanganan Bencana di Sumatera - Kompas
Urgensi Kerja Sama Internasional Penanganan Bencana di Sumatera
BANJIR besar yang melanda Sumatera telah menciptakan tragedi kemanusiaan dalam skala yang sulit dibayangkan.
Data terakhir, 883 orang tewas, ratusan ribu orang lainnya mengungsi, dan jutaan warga terdampak oleh kerusakan infrastruktur, terputusnya akses transportasi, dan kelangkaan bantuan.
Pemerintah daerah di berbagai wilayah sudah secara terbuka menyatakan bahwa kapasitas mereka telah mencapai batas. Mereka tidak lagi mampu menangani bencana dengan sumber daya yang tersedia.
Namun hingga hari ini, pemerintah pusat masih belum menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional, keputusan yang sangat penting untuk membuka koordinasi lintas lembaga dan mempercepat pengerahan bantuan dalam skala penuh.
Ada kesan bahwa Presiden Prabowo Subianto enggan mengambil langkah tersebut.
Dalam pernyataannya di HUT Golkar, Presiden Prabowo menyebut bahwa Indonesia “bersyukur bisa menangani bencana ini sendiri”, narasi yang secara tidak langsung memunculkan pertanyaan: apakah kebanggaan nasional atau kekhawatiran terhadap persepsi internasional sedang menghalangi upaya penyelamatan warga?
Padahal, dalam situasi yang sifatnya sudah jelas katastrofik, fokus utama negara seharusnya bukan pada citra, melainkan pada penyelamatan nyawa.
Bantuan internasional bukan simbol Kelemahan
Ada persepsi keliru yang sering muncul di ruang publik: menerima bantuan internasional berarti mengakui kelemahan negara. Pemikiran ini sesungguhnya tidak memiliki dasar.
Negara-negara maju sekalipun tidak ragu menerima bantuan ketika menghadapi bencana besar.
Amerika Serikat menerima bantuan dari berbagai negara ketika Katrina menghantam New Orleans.
Jepang, salah satu negara paling tangguh secara teknologi, tetap membuka diri pada bantuan internasional ketika tsunami 2011 mengakibatkan kerusakan besar.
Jika negara-negara kuat saja tidak menolak bantuan demi menyelamatkan rakyatnya, mengapa Indonesia harus merasa tabu?
Kedaulatan tidak diukur dari seberapa keras kita menutup pintu bantuan, melainkan dari seberapa cepat melindungi warga kita.
Dalam konteks kemanusiaan, martabat tertinggi negara justru terletak pada kecepatan dan ketepatan menyelamatkan rakyatnya, bukan pada kemampuan bersikap seolah dapat mengatasi semua hal sendirian.
Realitas lapangan menunjukkan bahwa bencana di Sumatera sudah melampaui kemampuan respons normal pemerintah, termasuk BNPB, Basarnas, TNI, dan jaringan relawan nasional.
Korban terus bertambah. Akses ke wilayah-wilayah terdampak masih terputus. Pengungsi kekurangan air bersih, obat-obatan, dan tenda hunian darurat.
Dalam situasi seperti ini, kecepatan respons—bukan semata jumlah personel—adalah faktor penentu dalam menyelamatkan nyawa.
Bantuan internasional dapat memberikan:
Setiap menit yang dihemat dapat berarti satu nyawa diselamatkan. Dan waktu adalah sesuatu yang sangat mahal dalam bencana.
Kerja sama multilateral fondasi dunia modern
Ketika PBB didirikan, ketika badan-badan seperti UNICEF, UNHCR, WHO, dan WFP dibentuk, dunia sepakat bahwa penderitaan manusia tidak boleh menjadi masalah satu negara saja.
Human suffering knows no borders. Inilah alasan mengapa banyak instrumen dan mekanisme kemanusiaan global ada: untuk memastikan bahwa negara yang sedang menghadapi bencana besar tidak perlu menanggung semuanya sendirian.
Jika kita tidak memanfaatkan mekanisme tersebut pada saat bencana berskala besar seperti sekarang, kapan lagi kita memerlukannya?
Kerja sama internasional bukanlah ancaman bagi Indonesia, ia adalah hak yang kita miliki sebagai bagian dari masyarakat global.
Indonesia memiliki rekam jejak panjang dalam memberikan bantuan kemanusiaan ke negara lain: dari mengirim tim SAR ke Turkiye dan Nepal, hingga bantuan medis ke Palestina. Kita bangga menjadi bangsa yang peduli.
Namun, solidaritas bukanlah jalan satu arah. Bangsa yang terhormat adalah bangsa yang bersedia membantu saat mampu, dan bersedia menerima bantuan saat membutuhkan.
Menutup pintu bagi bantuan asing justru bertentangan dengan nilai solidaritas yang selama ini kita banggakan.
Bencana Sumatera adalah ujian besar bagi pemerintah Indonesia, bukan untuk menunjukkan kekuatan politik atau kemampuan simbolik, tetapi untuk menunjukkan keberpihakan moral terhadap rakyat yang sedang menderita
Dalam situasi darurat, keberanian terbesar bukanlah menolak bantuan, tetapi mengakui bahwa bantuan diperlukan.
Indonesia tidak akan terlihat lemah dengan menerima bantuan internasional. Sebaliknya, Indonesia akan terlihat berani, rasional, dan humanis.
Dunia ada untuk saling membantu; menutup pintu justru menolak kesempatan untuk menyelamatkan lebih banyak orang.
Kini bukan saatnya berbicara tentang gengsi negara. Kini adalah saatnya berbicara tentang nyawa. Dan setiap nyawa warga Sumatera yang bisa diselamatkan adalah alasan yang cukup bagi Indonesia untuk membuka diri pada bantuan dunia.