Presiden Ukraina Buka Opsi Bahas Crimea Demi Bujuk Putin Bertemu

Presiden Volodymyr Zelensky membuka opsi membahas status Crimea dan wilayah Ukraina lainnya yang diinginkan Rusia jika Presiden Putin mau bertemu. (Foto: AFP/JOHANNA GERON)
Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, kembali menawarkan pertemuan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk mengakhiri peperangan yang berlangsung hampir 1 bulan lamannya.
Dalam tawaran terbarunya, Zelensky mengaku bersedia bertemu Putin "dalam format apa pun" dan membahas berbagai isu, termasuk status Semenanjung Crimea dan sejumlah wilayah Ukraina lainnya yang diinginkan Rusia.
Zelensky bahkan membuka opsi menggelar referendum sebelum berkompromi dengan Rusia dan jika Putin setuju untuk bertemu.
"Pada pertemuan pertama dengan presiden Rusia, saya siap mengangkat masalah-masalah ini. Tidak akan ada banding atau pidato soal sejarah. Saya akan membahas semua masalah dengan dia (Putin) secara sangat rinci," kata Zelensky pada Senin (21/3) malam waktu setempat seperti dikutip AFP.
Semenanjung Crimea merupakan wilayah Ukraina yang dicaplok Rusia pada 2014. Hingga kini, Kyiv dan komunitas internasional menganggap aneksasi oleh Rusia itu tindakan ilegal.
Sementara itu, sesaat sebelum mengumumkan operasi militer ke Ukraina, Presiden Vladimir Putin mengdeklarasikan pengakuan atas kemerdekaan Donetsk dan Luhansk.
Donetsk dan Luhansk merupakan dua wilayah di timur Ukraina yang selama ini dikuasai separatis pro-Rusia.
Zelensky meyakini perang baru bisa berakhir jika perundingan antara pemimpin kedua negara berlangsung.
"Jika saya memiliki kesempatan dan Rusia memiliki keinginan yang sama, kami bersedia menjawab semua pertanyaan yang ada," kata Zelensky kepada wartawan di Ukraina dalam sebuah wawancara yang diterbitkan Suspilne.
"Apakah kita akan menyelesaikan semuanya? Tidak. Tapi ada kemungkinan, sebagian kita bisa setidaknya menghentikan perang," paparnya menambakan.
Walaupun mengisyaratkan bersedia untuk berkompromi dengan Moskow, Zelensky menegaskan tidak akan menyerahkan satu inci wilayah Ukraina ke tangan Rusia.
Zelensky juga mewanti-wanti setiap perjanjian damai dengan Rusia yang melibatkan perubahan "bersejarah" harus melalui referendum masyarakat.
Salah satu pengamat di Universitas Nasional Australia, Sonia Mycak, memprediksi sebagian besar warga Ukraina akan menolak referendum penyerahan Kyiv kepada Rusia jika benar-benar terjadi.
Mycak mengutip dua jajak pendapat baru-baru ini yang melaporkan sebagian besar, sekitar 80 persen, warga Ukraina mengatakan tidak ingin menyerahkan diri kepada Rusia.
"Saya pikir itu akan ditolak penduduk, saya benar-benar yakin itu. Sangat banyak orang Ukraina yang mengatakan 'kita tidak boleh berhenti berjuang'," katanya.
Warga Ukraina, lanjut dia, melihat diri mereka berada di bawah ancaman eksistensial Rusia. Masyarakat Ukraina tak hanya khawatir negaranya hilang tapi juga khawatir soal fakta mereka akan hidup sebagai warga Rusia jika menyerahkan diri.
"(sebab) akan ada Russifikasi yang berat, akan ada kontrol otokratis," sambung Mycak.
Negosiasi yang sudah berlangsung berulang kali antara pejabat Ukraina dan Rusia sejauh ini gagal menghentikan atau bahkan memperlambat perang di negara eks Uni Soviet itu.
Namun militer Rusia tampaknya tidak bisa menduduki seluruh negara atau menggulingkan pemerintahan Ukraina menjelang sebulan invasi Moskow berlangsung.
(isa/rds/bac)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar