Air Mata Insih Indrawati dan Nasib Tenaga Honorer di Jember- Beritajatim

 

Air Mata Insih Indrawati dan Nasib Tenaga Honorer di Jember

Reporter : Oryza A. Wirawan

Insih Indrawati, seorang perawat honorer, meneteskan air mata dalam rapat dengar pendapat antara Komisi D dengan Forum Honorer Tenaga Kesehatan (FHTK), di gedung DPRD Jember, Jawa Timur, 27 Februari 2023
Insih Indrawati, seorang perawat honorer, meneteskan air mata dalam rapat dengar pendapat antara Komisi D dengan Forum Honorer Tenaga Kesehatan (FHTK), di gedung DPRD Jember, Jawa Timur, 27 Februari 2023

Insih Indrawati mendadak berhenti berbicara. Air matanya menetes. Ruang Komisi D DPRD Jember, Jawa Timur, mendadak hening siang itu, Senin (27/2/2023). Semua yang hadir menatap perempuan yang bekerja sebagai honorer tenaga kesehatan itu.

Insih adalah satu dari 11.644 orang tenaga honorer di Kabupaten Jember yang terancam menganggur beberapa bulan lagi. Pemerintah pusat berencana menghapus tenaga honorer di instansi atau lembaga pemerintahan mulai 28 November 2023, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Rencana ini sudah diawali dengan pendataan pegawai non-aparatur sipil negara. Sesuai Surat Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 dan B/1511/M.SM.01.00/2022 mengenai Jabatan yang Tidak Memenuhi Syarat Pendataan Non ASN, sejumlah pekerjaan seperti sopir ambulans, tenaga keamanan, tenaga kebersihan, dan lain-lain tidak memenuhi syarat pendataan non ASN.

iklan adidas

“Tujuan kami ke sini meminta dukungan karena Bapak dan Ibu adalah wakil kami di DPRD. Kami hanya rakyat kecil. Jadi mau ke siapa lagi minta dukungan,” kata Insih kepada anggota Komisi D.

Kegelisahan ini sebenarnya sudah bergaung sejak Oktober tahun lalu dalam sidang paripurna pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2023. Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jember mengingatkan kepada pemerintah daerah untuk mencari solusi yang berpihak terhadap pegawai rendah yang sudah bekerja cukup lama di masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD).

“Mereka hampir semuanya adalah bagian dari rakyat kecil kita, yang sebagian besar juga sudah bekerja mengabdi cukup lama di instansi masing-masing. Oleh karena itu bupati dan DPRD Jember harus meminta kepada Badan Kepegawaian Nasional agar tenaga honorer tersebut tetap masuk dalam pendataan tenaga Non ASN, atau dicarikan solusi lain yang tetap berpihak kepada wong cilik,” kata Indrijati, juru bicara Fraksi PDI Perjuangan saat itu,

Pemerintah Kabupaten Jember sendiri melihat potensi kerawanan di balik rencana pemerintah pusat tersebut. Kerawanan pertama adalah soal pelayanan publik, terutama bidang pendidikan dan kesehatan. Saat ini, terhitung Juni 2023, Pemkab Jember memiliki 12.854 orang pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Jember Suko Winarno mengatakan jumlah ini tak mencukupi pelayanan masyarakat, “Pengangkatan pegawai honorer dilakukan untuk menutupi kebutuhan itu,” katanya.

Tercatat berdasarkan koordinasi dengan semua organisasi perangkat daerah, total jumlah pegawai honorer di lingkungan Pemkab Jember adalah 11.644 orang. Kurang lebih lima ribu orang pegawai honorer adalah guru dan 1.400 orang adalah tenaga kesehatan. Sementara kebutuhan pegawai di Kabupaten Jember, sesuai dengan analisis jabatan dan analisis beban kerja, adalah 21 ribu orang.

Penghapusan tenaga honorer jelas akan berdampak. “Pelayanan terhadap masyarakat bisa terkendala. Walaupun tidak macet total, pasti ada dampak dan pengaruhnya terhadap pelayanan, baik pelayanan pendidikan, kesehatan, maupun yang lain,” kata Suko.

Pemkab Jember memang mengajukan pengangkatan 3.671 orang PPPK pada 2021. Namun yang dipenuhi hanya 2.600 orang. Bulan depan Pemkab Jember akan membagikan surat keputusan untuk 793 guru berstatus PPPK. “Itu formasi tahun 2022. Kami masih mengusulkan untuk formasi tahun 2023,” kata Suko.

Tambahan kurang lebih 3.200 orang PPPK untuk sektor pendidikan, kesehatan, maupun pertanian saat ini belum mencukupi. Apalagi jumlah pegawai Pemkab Jember yang pensiun cukup besar setiap tahun. Tahun ini saja ada 964 PNS yang pensiun. “Kalau dipersandingkan, pertumbuhan pegawai kita minus. Kalau 964 orang pensiun, seharusnya kita mengangkat 964 orang,” kata Suko.

Dalam waktu dekat, Pemkab Jember akan kembali melakukan analisis jabatan dan analisis beban kerja untuk menentukan kebutuhan pegawai. “Bisa saja terjadi perampingan, sehingga kebutuhan Kabupaten Jember tidak sampai 21 ribu orang. Karena kita mengedepankan jabatan fungsional, sehingga terjadi pengurangan. Beberapa tugas pokok dan fungsi bisa dijadikan satu, yang awalnya ada dua staf bisa satu staf. Itu akan kami analisis lagi. Kami menyesuaikan regulasi yang ada,” kata Suko.

Melihat kondisi ini, Suko berharap pemerintah pusat mempertimbangkan kembali rencana untuk menghapus pegawai honorer tahun ini. “Pemberhentian mereka sebaiknya mempertimbangkan kebutuhan formasi. Bila kebutuhan itu sudah diisi dengan PNS dan PPPK, kita tidak membutuhkan honorer,” katanya.

Suko mengakui jika gaji para pegawai honorer ini menjadi beban semua OPD yang dialokasikan dalam APBD. Namun itu konsekuensi logis dari pemenuhan kebutuhan tersebut. “Mereka sudah bekerja lima tahun, sepuluh tahun, lima belas tahun, masa akan diberhentikan tiba-tiba,” katanya.

Toh sebelumnya, Pemkab Jember pada 2021 dan 2022 menanggung beban gaji PPPK. Pemerintah pusat baru tahun ini memasukkan gaji PPPK dalam dana alokasi umum (DAU) yang diberikan kepada pemerintah daerah.

Selain terdampaknya pelayanan, pemutusan hubungan kerja ribuan tenaga honorer di Jember akan menambah angka pengangguran yang berpotensi memicu kerawanan sosial. “Kalau honorer diberhentikan akan bermasalah, khususnya buat Jember. Saya tidak bicara daerah lain. Saya masuk jadi bupati dengan tujuan utama menekan kemiskinan di Jember, dan memberikan peluang kerja seluas-luasnya untuk pengangguran. Jadi tidak mungkin saya memberhentikan para honorer ini,” kata Bupati Hendy Siswanto, Jumat (23/6/2023).

Hendy menegaskan, Jember termiskin kedua di Jatim dengan jumlah populasi masyarakat sangat tinggi. “Jadi apapun kebijakan pemerintah, kondisi daerah tidak sama. Kalau penduduknya besar seperti Jember, tentunya (pemberhentian) itu akan jadi problem sosial. Arahnya akan ke sana,” katanya.

“Bagaimana tidak ada korban sosial, kalau perut lapar, tidak ada pekerjaan, pekerjaan susah, yang sudah ada dipecat. Harus ada solusi untuk itu. Kecuali kalau usianya sudah tua mau pensiun. Tapi kalau masih muda-muda terus bagaimana,” kata Hendy.

Ini alasan Hendy menolak tegas rencana pemerintah pusat tersebut. Tahun lalu dia sudah melayangkan surat tertanggal 12 Oktober 2022 dan 19 Oktober 2022 kepada Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mencari solusi bagi pegawai kecil non aparatur sipil negara ini. Surat itu berisi permohonan kebijakan pendataan tenaga non ASN di Lingkungan Pemkab Jember.

“Kami sependapat bahwa tenaga kebersihan, petugas keamanan, pengemudi dan sejenisnya sebisanya masuk pada pendataan non ASN,” kata Hendy, dalam sidang paripurna pembacaan jawaban terhadap pandangan umum fraksi-fraksi DPRD Jember, di aula kantor Pemerintah Kabupaten Jember, Jumat (21/10/2022) sore.

Baru-baru ini Hendy sempat bertemu dengan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas untuk menanyakan kebijakan tersebut. “Mas Menteri, bagaimana ini? Ini harus ada solusi,” kata Hendy.

Tak ingin berjuang sendirian, Hendy membawa isu ini ke forum rapat kerja Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Jawa Timur di Surabaya, Kamis (22/6/2023). “Insyallah ada satu kebijakan, kami rekomendasikan, tidak boleh ada satupun honorer yang diberhentikan. Apapun sistemnya, dalam koridor tetap bekerja,” kata pria yang juga menjabat koordinator asosiasi tersebut.

Kegelisahan Hendy ini bisa dipahami Muhammad Iqbal, pengajar komunikasi politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember. “Kebijakan pemberhentian honorer pada November 2023 berpotensi turut mengganggu dan merusak proses demokrasi pemilu 2024. Gejolak sosial di daerah tak menutup kemungkinan ditunggangi serangan politik uang dan aneka kepentingan,” katanya, Selasa (27/6/2023).

Apalagi pemerintah memberlakukan dua kebijakan yang berbeda. Saat honorer akan diberhentikan pada November 2023, pemerintah justru memperpanjang masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Iqbal melihat hal ini berpotensi memunculkan kecemburuan sosial.

“Bayangkan saja, ketimpangan dan kecemburuan sosial macam apa yang bakal jadi tontonan di panggung demokrasi NKRI. Ketika pemilihan kepala sesa, suara elektoral kaum honorer boleh jadi merupakan salah satu penyumbang kemenangan para kades. Ketika para Kades terjamin menjabat lebih lama lagi hingga sembilan tahun, justru nasib honorer diberhentikan tanpa jaminan,” kata Iqbal.

November masih lima bulan lagi. Insih kini tinggal berharap pemerintah pusat mau mengubah kebijakannya. Dia hanya ingin bekerja dengan tenang setelah selama masa pandemi berjibaku menyelamatkan nyawa banyak orang dan melihat begitu banyak kematian. “Ketika yang lain beristirahat, kami harus tetap berjuang untuk menyelamatkan nyawa orang lain,” katanya terisak.

Insih tak mengira, setelah pandemi Covid berakhir, justru harus menyelamatkan pekerjaannya. “Ini potret buram politik kehidupan,” kata Iqbal. [wir]

Bagikan ini

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya