Revisi UU TNI, Pengamat: Tidak Boleh Beri Ruang TNI kembali ke Politik
Jakarta, Beritasatu.com - Pengamat militer yang merupakan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mengingatkan pemerintah dan DPR tidak memberi ruang kepada TNI kembali ke politik atau urusan pemerintahan sipil dalam pengaturan revisi Undang-undang TNI. Menurut Al Araf, dampak sangat besar jika TNI kembali ke politik.
"Proses demokratisasi di Indonesia yang terjadi pada 1998 menuntut militer keluar dari politik. Namun belakangan ini muncul draft RUU TNI yang membuka ruang TNI kembali ke ranah urusan pemerintahan sipil. Artinya, hal ini akan membuka kotak pandora Indonesia kembali kepada iklim yang buruk yaitu otoritarianisme," ujar Al Araf dalam diskusi bertajuk 'Involusi Sektor Pertahanan; Problem RUU TNI, Komando Teritorial, Peradilan Militer, dan Tugas Non-Militer' di Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Al Araf menilai jika tentara kembali boleh berpolitik, maka akan mendorong meningkatnya tindakan represif seperti yang terjadi di Myanmar dan Thailand. Kelompok yang memprotes kebijakan negara atau pemerintah, kata dia, akan mendapat tindakan represif dari aparat.
"Atau bahkan seperti yang terjadi di Thailand di mana pimpinan pemerintahan sipil yang sah dikudeta oleh militer, yaitu perdana Menteri Thaksin," tandas dia.
Al Araf juga menyoroti diperluasnya nomenklatur "pertahanan dan keamanan" dalam draft RUU TNI yang beredar. Menurut dia, perluasan nomenklatur tersebut pada akhirnya nanti, TNI bisa mengamankan siapapun atas nama keamanan dan pertahanan.
"Berbagai tindakan represif seperti penangkapan sewenang-wenang, penculikan itu bisa terjadi lagi. Perlu diingat, bahwa militer sejatinya bukan bagian dari criminal justice system, jadi hal ini harus ditolak," tandas dia.
Menurut dia, nomenklatur 'pertahanan dan keamanan' dalam draft RUU TNI ini bisa diartikan bahwa TNI akan dapat mengamankan mahasiswa yang demonstrasi, buruh yang demonstrasi, dan tindakan lainnya atas nama keamanan negara. Selain itu, kata dia, pasal-pasal tentang penambahan fungsi militer akan memberikan involusi atau kemunduran bagi demokrasi Indonesia dan TNI itu sendiri.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
"Lebih dari itu, militer tidak boleh melakukan operasi tanpa keputusan presiden. Dalam draft RUU TNI militer dibolehkan mengambil tindakan tanpa keputusan presiden. Artinya sama saja draft RUU TNI memberikan ruang kepada militer untuk melakukan kudeta," ungkap dia.
Pada kesempatan itu, Direktur Elsam Wahyudi Djafar menyinggung soal kekaryaan militer yang dimaknai secara tidak tepat karena konsep tentang keamanan komprehensif direspons dengan militerisasi. Padahal, seharusnya keamanan semesta tidak semata-mata mengandalkan militer.
"Ruang diskusi antara militer dan DPR belakangan ini juga tidak terjadi dengan baik. DPR gagal melakukan sejumlah agenda reformasi sektor keamanan, diantaranya adalah revisi UU No. 31 tahun 1997 terkait peradilan militer. Padahal agenda reformasi peradilan militer dituliskan secara eksplisit dalam Nawacita I Presiden Jokowi pada tahun 2014," jelas dia.
Menurut Wahyudi, gagalnya DPR dan Pemerintah dalam mereformasi peradilan militer juga menimbulkan berbagai persoalan turunan. Padahal, kata dia, revisi UU peradilan militer tersebut merupakan mandat dari UU TNI.
"Selain itu juga ketiadaan hukum acara tata usaha militer membuat pelanggaran terhadap tata usaha militer tidak dapat diproses karena tidak ada hukum acara yang mengatur," katanya.
Lebih lanjut, Wahyudi mengatakan reformasi peradilan militer saat ini bersifat mendesak, karena banyak problem yang saat ini sudah timbul akibat gagalnya reformasi sistem peradilan militer tersebut.
"Revisi terhadap UU Nomor 31/1997 tentang Peradilan Militer dapat dilakukan melalui inisiatif DPR seperti dulu, hal ini ditujukan untuk memperkuat control sipil terhadap militer," pungkas Wahyudi.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Komentar
Posting Komentar