PLTU Batu Bara Sumber Polusi, PLN Didesak Cari Solusi
Penulis: Alfida Rizky Febrianna | Editor: RZL
Jakarta, Beritasatu.com - Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara disorot lantaran menjadi penyumbang polusi udara dan emisi signifikan yang berkontribusi pada perubahan iklim global. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menekankan urgensi pengalihan dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT).
Tulus menegaskan, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sebagai perusahaan pemilik PLTU batu bara dengan kapasitas terbesar ke-8 di dunia harus mengatasinya demi kepentingan hajat hidup masyarakat.
"Dalam rangka mewujudkan net zero emission, upaya pengurangan polusi oleh energi fosil, khususnya PLTU, harus dilakukan secara serius. PLN perlu menangani masalah ini demi kepentingan masyarakat," ujar Tulus kepada Beritasatu.com, Rabu (22/11/2023).
Tulus menilai penting bagi PLN untuk memastikan bahwa seluruh PLTU yang dimilikinya telah memenuhi standar Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan HIdup) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"PLN mengeklaim bahwa PLTU-nya sudah standar Proper dari KLHK. Untuk meyakinkan publik, perlu dilakukan audit ulang untuk memastikan bahwa standar KLHK terpenuhi, termasuk batas emisi yang dihasilkan," tegas Tulus.
Dalam konteks PLTU, Tulus menyatakan bahwa idealnya energi fosil perlu digantikan dengan energi ramah lingkungan atau green energy. Namun, dia mengakui bahwa peralihan tersebut harus mempertimbangkan ketersediaan, keterjangkauan, dan keandalan energi yang memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Energi fosil masih menjadi opsi, tetapi pertimbangan harus diberikan pada tiga syarat, yakni ketersediaan, keterjangkauan, dan keandalan. Meski PLTU berkontribusi pada polusi, pertanyaannya adalah apakah energi lain dapat memenuhi syarat-syarat tersebut tanpa memberatkan masyarakat," ungkapnya.
Tulus menyoroti perlunya sinergisitas antara PLN dan pemerintah dalam mencari solusi untuk mewujudkan transisi energi. Hal ini diperlukan agar target net zero emission pada 2060 dapat tercapai tanpa mengorbankan ketersediaan, keterjangkauan, dan keandalan energi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Komentar
Posting Komentar