Jepang Rawan Dihantui Krisis Pangan, Anak Mudanya Ogah Jadi Petani
-
Jumlah penduduk muda di daerah pedesaan Jepang semakin menurun dari tahun ke tahun. Kondisi ini diakibatkan oleh menurunnya tingkat kelahiran bayi atau resesi seks dan banyaknya warga yang bermigrasi ke kota-kota besar.
Kondisi ini tentu sangat berdampak pada sektor Negeri Sakura itu mengingat para petani di desa-desa saat ini sudah mulai menua. Namun sayang banyak pemuda negara itu yang ogah untuk menggantikan kakek-nenek atau orang tua mereka untuk bekerja di ladang.
Melansir dari laporan DW, Rabu (26/6/2024), pada akhirnya banyak kawasan pertanian di Jepang yang kini mulai terbengkalai karena tidak diurus lagi. Tentu selain lahan pertanian, banyak juga rumah dan fasilitas umum lainnya di desa-desa yang kini ikut terbengkalai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah Jepang mengumumkan jumlah petani lokal negara itu telah mengalami penurunan lebih dari 50% dalam 23 tahun terakhir. Disebutkan jumlah petani lokal pada 2023 kemarin hanya sekitar 1,16 juta orang, turun drastis dari 2000 yang masih berjumlah 2,4 juta orang.
Dari sisa petani lokal tadi, hanya 20% orang yang saat ini berusia di bawah 60 tahun. Artinya usia para petani lokal ini sudah sangat tua dan perlu digantikan dalam beberapa tahun ke depan.
Dengan kondisi seperti ini, tentu pemerintah Jepang sangat khawatir kalau nantinya mereka tidak bisa lagi swasembada pangan. Ujung-ujungnya pemerintah harus mengimpor sebagian besar kebutuhan pangan yang dikonsumsi penduduknya.
Padahal negara itu selalu dilanda kekhawatiran akan konflik di Laut Cina Selatan atau di perairan sekitar Taiwan. Sebab kawasan itu merupakan jalur laut penting untuk impor dan ekspor Jepang.
Sehingga jika negara itu harus bergantung pada impor pangan, ada kemungkinan sewaktu-waktu dapat negara itu bisa mengalami krisis pangan sangat jalur perdagangan mereka terganggu.
Pertanian Jepang Harus Andalkan Pekerja Asing
Berdasarkan laporan NHK World, survei pemerintah Jepang menunjukkan jumlah petani lokal di negara itu turun lebih dari 360.000 orang antara tahun 2010 hingga 2020. Sedangkan jumlah petani asal luar negeri malah meningkat dua kali lipat.
Kondisi ini menunjukan bagaimana banyak warga lokal Negeri Sakura yang secara perlahan mulai meninggalkan sektor pertanian. Mau tidak mau, pemerintah membiarkan para pekerja asing untuk menggarap lahan pertanian mereka.
Hal ini seperti yang dilakukan seorang warga naturalisasi Victor Zambrano Rumayna yang kini bekerja sebagai petani tomat dan kubis di lahan seluas 15 hektar di kota Toyokawa, Prefektur Aichi.
Zambrano pertama kali datang ke Jepang 30 tahun lalu, dan pada 2006 ia menikah dengan seorang wanita Jepang dan memiliki dua anak. Namun setelah melihat para petani yang menua di kawasan pedesaan, ia memutuskan untuk bekerja di sektor tersebut karena berpikir bisa menghasilkan banyak uang.
"Saya pikir orang-orang dari generasi saya akan segera tiba (menggantikan jadi petani) karena mereka yang lanjut usia akan segera pensiun. kata Zambrano.
Meski begitu saat Zambrano baru memulai usahanya, dia kesulitan mencari lahan pertanian untuk disewa. Dia mengatakan para petani tua memandangnya dengan curiga dan mereka menyuruhnya untuk tidak menginjak tanah mereka, bahkan ada beberapa mengancam akan memanggil polisi.
Kondisi ini terjadi cukup lama sampai ia mendapatkan sebidang tanah seluas 500 meter persegi dan mengubahnya menjadi lahan pertanian subur. Hasil usahanya itu kemudian meyakinkan penduduk setempat dan membuatnya banyak mendapat tawaran untuk menyewa lebih banyak tanah.
Setelah 15 tahun bekerja, kini Zambrano telah menjadi salah satu petani terkemuka di wilayah tersebut. Ia bahkan sudah mempekerjakan 19 orang yang sebagian besar adalah pekerja teknis dari Indonesia.
Lihat juga Video: Kaisar Jepang Kunjungi Inggris, Pererat Hubungan Keluarga Kerajaan
(fdl/fdl)
Komentar
Posting Komentar