Deretan Penghargaan Rano Karno, Cawagub Pemenang Pilkada DKI
Jakarta, IDN Times - Yusril Ihza Mahendra kembali masuk ke dalam pemerintahan setelah Presiden Prabowo Subianto melantiknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan di Kabinet Merah Putih.
Ini merupakan keempat kalinya Yusril masuk ke dalam lingkaran eksekutif. Sebelumnya, Yusril juga pernah menjabat sebagai Menteri Hukum dan Perundang-Undangan era Presiden Abdurrahman Wahid, Menteri Kehakiman dan HAM era Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Menteri Sekretaris Negara era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Selain itu, Yusril juga pernah bekerja sebagai penulis teks pidato Presiden Soeharto dan BJ Habibie.
Ditemui IDN Times di ruang kerjanya di Jakarta Selatan, Yusril pun menceritakan segudang pengalamannya di pemerintahan tersebut. Ia juga menceritakan pengalaman bermain film hingga pandangannya tentang berbagai isu hukum di tanah air.
Berikut petikan wawancaranya.
Prof Yusril sudah beberapa kali menjabat sebagai menteri di era pemerintahan yang berbeda. Dari delapan presiden, hanya dua yang tak ada Yusril di dalamnya. Apa yang membuat Prof Yusril begitu dipercaya?
Ya, mungkin karena saya bekerja secara profesional, lebih bekerja sebagai seorang akademisi daripada sebagai seorang politisi. Dan saya mengedepankan kaedah-kaedah akademik dalam menyelesaikan banyak sekali persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini dan mempertimbangkan juga asas kemanfaatan dan kegunaan bagi kepentingan kita bersama.
Karena itu pikiran-pikirannya, walaupun kadang-kadang kontroversial, tapi pada umumnya dapat diterima oleh masyarakat. Dan mereka juga menilai saya menyelesaikan begitu banyak persoalan-persoalan yang berat dan rumit. Tapi saya merumuskannya secara sederhana dan kemudian memberikan suatu solusi yang kayaknya tepat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu.
Seperti misalnya dulu, pada masa Presiden Gus Dur, saya mencoba menyelesaikan sedikit banyaknya kasus kerusuhan di Ambon dan di Poso. Gimana jalan keluarnya. Pada masa Ibu Megawati, bagaimana harus menyelesaikan persoalan terorisme yang pada waktu itu sangat serius kita hadapi. Terutama terjadinya peledakan bom di Bali pada tahun 2002.
Begitu juga, sesudah itu banyak sekali hal-hal yang saya kerjakan, terutama sekali di awal reformasi, itu mendraft begitu banyak peraturan perundang-undangan sebagai betul-betul dasar bagi kita untuk melakukan reform dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dan sebagian besar undang-undang saya draft dan saya laki di Presiden pada waktu itu, membahasnya dengan DPR masih berlaku sampai sekarang.
Misalnya undang-undang tentang pemberantasan tidak pilihan korupsi, pembentukan KPK, PPATK, prajurit TNI, pemisahan TNI Polri, kemudian undang-undang tentang badan-badan kehakiman, undang-undang tentang pembentukan KPK dan lain-lain sebagainya. Itu banyak sekali yang sampai sekarang masih dinyatakan berlaku dan kiranya saya mencoba untuk mendraft sesuatu yang bisa bertahan cukup lama kita gunakan.
Baca Juga: Amnesty: Pidato Menteri Yusril di Hari HAM Hanya Retorika Kosong
Apa benar Prof Yusril pernah nulis pidato buat Presiden Soeharto dan Habibie?
Saya belajar pidato sebenarnya waktu saya masih kecil, masih SD, yang mengajari pidato itu bapak saya sendiri. Dan kemudian belajar menulis pidato itu ada guru saya dulu, Prof. Osman Relipi dan Pak Mohamad Natsir, bekas Perdana Menteri kita pada tahun 1950 dan tidak menyangka suatu hari saya direkrut ke Sekretariat Negara untuk menjadi speechwriter dari Presiden Soeharto, belakangan Presiden Habibie, dan juga menjadi speechwriter dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena ketika itu saya menjadi Mensesneg.
Tapi saya juga membuat pidato untuk Wakil Presiden Pak Try Sutrisno, ingat saya pada waktu itu, dan juga bahkan pidato Ibu Tin itu juga saya yang mendraf dan beliau bacakan. Ya lama-lama jadi bisa berpikir bagaimana kita seorang Presiden itu harus bicara kepada rakyatnya dalam bahasa yang bisa dimengerti semua orang, tidak hanya dimengerti oleh kaum intelektual, tapi juga harus dimengerti oleh rakyat kebanyakan, dan tahu bagaimana kita harus merumuskan kebijakan-kebijakan dan diungkapkan dalam satu bahasa yang tepat.
Pada waktu itu saya bekerja di Sekretariat Negara, juga tugas saya adalah merangkum pembicaraan dalam sidang Kabinet dan kemudian dibuat resumen sidang Kabinet hari ini, dan apa poin-poin kesimpulannya dan apa arahan Presiden kepada masing-masing menteri itu saya tanda tangan sebagai asisten Mensesneg pada waktu itu dan menjadi pegangan para anggota Kabinet.
Jadi tidak tiba-tiba saya jadi menteri, tapi belajar cukup panjang di Birokrasi Pemerintahan, dan karena memang kerjanya di Setneg, ya jadi tahu persis apa yang harus dikerjakan oleh seorang Presiden dan tidak menyangka satu hari saya menjadi Mensesneg juga.
Kalau diperhatikan tidak ada diksi mundur di pidato terakhir Presiden Soeharto? Sengaja?
Iya, jadi bahasanya itu sangat hati-hati ya, karena ini persoalan sensitif dan menyangkut hukum dan konstitusi kita, karena cara berhentinya Pak Harto itu tidak menempuh cara-cara yang normal dan biasa. Jadi Pak Harto itu bukan mengundurkan diri atau meminta mengundurkan diri, tapi Pak Harto itu secara sepihak menyatakan berhenti.
Jadi kalau Pak Harto itu minta berhenti, atau menyatakan mengundurkan diri, bahkan pengunduran diri atau permintaan berhentinya itu harus dilakukan dalam sidang istimewa Majelis Perumusyawaratan Rakyat.
Pertama situasinya tidak mungkin, pada waktu itu MPR hampir tidak mungkin dapat bersidang, karena terjadi perpecahan yang luar biasa di kalangan para politisi, walaupun Golkar dan TNI Polri masih cukup solid pada waktu itu, dan juga faktanya dalam gedung DPR itu mulai diduduki oleh begitu banyak aktivis dan demonstran rakyat sendiri, mahasiswa juga, sehingga tidak memungkinkan didakannya sidang MPR.
Di samping itu juga saya berpikir, kalau sekiranya Pak Harto itu memohon berhenti kepada MPR, terus MPR bilang, oh jangan Pak Harto, ya kan kita tidak berhenti Pak Harto. Jadi kita pada waktu itu sedang mencari jalan bagaimana caranya supaya Pak Harto itu bisa berhenti secara sah dan konstitusional.
Karena itulah saya desain seperti itu, jadi Pak Harto itu menyatakan 'dengan ini saya menyatakan berhenti.' Jadi tidak memerlukan persetujuan dari pihak manapun, karena itu merupakan satu keputusan sepihak yang beliau ambil. Tapi konsekuensinya adalah pelaksanaan ketentuan konstitusi yang mengatakan bahwa jika Presiden Mangkat berhenti, nah kata-katanya berhenti kan, jika Presiden Mangkat berhenti atau tidak mampu menjalankan tugas dan kewajibannya, maka ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya.
Jadi bagaimana transisi itu bisa berjalan cepat sekali, dan saya mengatakan, jangan satu menit pun Presiden kita itu mengalami kevakuman. Makanya begitu Pak Harto selesai mengucapkan pidato berhenti itu udah kayak orang ijab Kabul aja begitu, saya nikahkan kamu perempuan ini Mas Kawin Sekian, aku terima nikahnya, kan kayak gitu kan dalam hukum Islam kan begitu.
Jadi begitu Pak Harto selesai menyatakan berhenti, maka seketika itu juga B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden mengucapkan sumpah sebagai Presiden tidak di hadapan MPR, tapi di hadapan Mahkamah Agung. Dan itu ada TAP MPR pada waktu itu yang mengatur bagaimana kalau sekiranya terjadi keadaan darurat, Presiden itu tiba-tiba meninggal atau terbunuh atau apa, bagaimana caranya Wakil Presiden itu menggantikannya.
Kita lihat hal seperti ini tidak spesifik itu jadi pada kita, ketika Presiden John Kennedy ditembak, tiba-tiba meninggal, maka Presiden Johnson pada waktu itu mendarat di Dallas kalau tidak salah dan memastikan bahwa Presiden Kennedy meninggal dan dia di lapangan terbang mengangkat sumpah sebagai Presiden Amerika Serikat. Jadi tidak boleh terjadi kevakuman sedikit pun juga. Kalau sekiranya vakum tiba-tiba angkatan perang negara lain menyerbu Indonesia, siapa yang bisa menyatakan perang? Nggak ada, cuma Presiden yang bisa menyatakan perang, tidak bisa Wakil Presiden.
Kalau tiba-tiba terjadi kerusuhan besar, siapa yang bisa menyatakan darurat? Nggak ada, cuma Presiden. Wakil Presiden nggak bisa menyatakan darurat.
Jadi saya itu sangat hati-hati ya penamaannya jangan sampai terjadi satu kesalahan dan saya pikir Alhamdulillah bangsa ini selamat lah pada waktu itu.
Proses pembuatan pidatonya gimana? Apa Presiden langsung yang menyampaikan ke bapak?
Memang itu saya sudah mengantisipasi keadaan. Dan ada semacam briefing yang saya sampaikan kepada banyak pihak termasuk kepada Panglima TNI pada waktu itu, mengantisipasi kalau akibat krisis moneter ini Pak Harto terpaksa berhenti dari jabatannya, apa langkah yang kita harus tempuh? Itu saya sudah membuat semacam suatu skenario antisipasi terhadap keadaan itu. Dan keadaan memuncak ya ketika hari-hari terakhir Pak Harto pergi ke luar negeri, ke Mesir pada waktu itu dan pulang kesini sudah terjadi kerusuhan pada bulan Mei itu.
Dan sejumlah korban terjadi, kebakaran juga, penjarahan juga terjadi di Jakarta. Pak Harto masih berusaha untuk mengatasi keadaan tapi tidak berhasil membentuk Komite Reformasi, sehingga akhirnya Pak Harto mengatakan ya beliau mau berhenti.
Jadi itu tiba-tiba saja malam hari menjelang tanggal 21 Mei itu kira-kira jam 9.30 malam begitu Pak Harto mengatakan mau berhenti.
Tapi saya sudah siap dengan antisipasi bagaimana cara pengunduran dirinya itu termasuk malam itu juga datang Pak Bambang Kersowo, Pak Sunarto Sudarno, Pak Saifuddin Bahar yang sama-sama kita merumuskan teks pidato berhentinya Pak Harto itu.
Saat itu ada suara-suara yang minta untuk Pak Harto enggak mundur dulu atau enggak berhenti dulu Pak?
Kalau tentara kan nunggu saja, apa perintah presiden. Bagaimanapun Pak Harto itu adalah Panglima tertinggi. Dan kalau Pak Harto perintahkan misalnya ambil langkah seperti ini bisa gawat juga negara ini.
Tapi saya menyaksikan bahwa Pak Harto itu dalam keadaan tenang, sabar, di tengah tekanan politik yang luar biasa pada waktu itu. Dan saya dengan Pak Prabowo pada waktu itu, Pangkostrad, berusaha untuk menyabar-nyabarkan Amien Rais supaya tidak menggerakkan ribuan mahasiswa ke depan istana pada tanggal 20 Mei, memperingati hari kebangkitan nasional.
Karena saya sampai bilang Pak Amin, 'Pak Amin tolong jangan mahasiswa bawa ke sini. Ini Pak Harto masih ngomong tenang-tenang sama saya ini.' Tapi ya beliau kan manusia juga. Kalau ditekan terus, terus beliau mengatakan, Tentara, bereskan. Selesai itu. Bisa jadi Tiananmen saya bilang ini. Bisa jadi, habis mahasiswa dibunuhin semua.
Nah tapi ya Alhamdulillah Pak Harto masih tetap tenang. Dan Pak Amin pada malam itu tidak jadi mengerahkan ribuan mahasiswa demonstrasi di depan istana. Jadi ya banyak peristiwa-peristiwa. Pak Prabowo, saya, Pak Safri Samsudin, Pak Muchdi, Pak Wiranto, Pak Baggio itu saksi sejarah yang masih hidup ya. Yang mengalami bagaimana peristiwa bulan Mei tahun 98 itu terjadi.
Baca Juga: Yusril Tegaskan Mary Jane Tak Akan Bisa Masuk Lagi ke Indonesia
Kalau gak salah sekitar tahun 2008 Bapak pernah main film juga ya?
Iya. Saya beberapa kali main film sebenarnya. Sejak mahasiswa pun saya main film sebenarnya.
Cuma yang menjadi sorotan adalah film tentang Legend of the East ya. Dan sebagian yang diedarkan di sini itu judulnya film Laksamana Cheng Ho gitu ya. Tapi dalam bentuk serial televisi. Tapi yang dibuat di Cina sebenarnya filmnya itu film layar lebar sebenarnya. Yang diikutkan di festival film internasional di Spanyol, di Madrid. Dan film itu memenangkan sebagai film terbaik untuk kategori film non bahasa Inggris karena filmnya di dubbing menggunakan bahasa Cina dan bahasa Indonesia.
Itu awalnya gimana bisa seorang profesor yang ahli bidang hukum tiba-tiba main film? Gimana awalnya diajaknya seperti itu?
Gak tiba-tiba juga. Karena memang waktu kecil saya sering main drama. Ayah saya pada waktu itu sutradara drama internasional. Dan saya di sekolah kerjanya main drama mulu. Waktu di Jakarta pun masih saya ikut teater. Sempat sebentar saya ikut kuliah di Akademi Teater di Taman Ismail Marzuki. Yang sebelum saya pindah ketika diumumkan saya lulus di UI terus saya pindah ke UI. Jadi hanya beberapa bulan aja.
Dan karena itu kalau tiba-tiba disuruh main film sih gak kaget-kaget juga. Main drama jauh lebih sulit dari main film. Main drama itu perlu selatihan akting berbulan-bulan karena kan kita langsung tampil di pentas orang tonton. Berbeda dengan bikin film kan bisa di cut-in, bisa diulang lagi. Skenarionya tiap-tiap satu scene bisa diafalin tapi kalau main drama gak bisa. Main drama itu kalau dipentas dengan tiga jam seluruh dialog. Itu harus hafal luar kepala.
Jadi kalau orang biasa main drama suruh main film itu gak terlalu sulit. Tapi orang yang jadi bidang film belum tentu bisa main drama.
Kalau ada tawaran lagi itu mau gak Prof?
Sudah gak mau saya. Sudah lama sekali saya gak terlibat dalam dunia itu. Masih sering juga sih diajak-ajak main film. Terakhir saya hanya tampil sebentar film tentang Obama Dream kalau gak salah. The Dream Obama kalau gak salah. Tapi tidak terlalu panjang. Saya hanya jadi bintang tamu untuk film itu.
Jabatan Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan ini kan sebelumnya belum pernah ada. Ada kendala dalam bertugas?
Enggak sih. Kerjanya lebih ringan sekarang dibanding dulu awal tahun 2000. Saya masih umur 40 tahun pada waktu itu. Saya memimpin Kementerian ini gak dibagi-bagi. Kalau sekarang Menterinya ada tiga. Ada Menko lagi di atas mengkoordinasikan.
Waktu itu saya menjadi Menteri semua Kementerian ini. Yang sekarang jadi tiga itu. Dan agak berat sih memang kerja siang malam. Apalagi pada waktu itu kan awal reformasi. Kita reform begitu banyak. Dan begitu banyak peraturan perundang-undangan yang kita siapkan untuk dibahas dengan DPR.
Jadi saya tuh kadang-kadang rapat sampai pagi dengan DPR. Ya untung waktu itu masih muda ya umur 40 tahun bisa kerja sikap begitu. Dan banyak sekali tantangan-tantangan berat ya.
Anda bisa bayangkan pada waktu itu saya jadi Menteri Kehakiman. Pengadilan ada di bawah saya. Dan ketika itu Kejaksaan Agung itu menuntut paharlah ke pengadilan. Anda bisa bayangkan betapa susahnya saya mengatasi keadaan.
Begitu juga ketika kita mengatasi masalah kerusuhan, masalah pelanggaran HAM yang berat. Akibat dari berbagai peristiwa misalnya peristiwa Trisakti, Semanggi 1, 2 dan sebagainya. Dan itu memang harus kita pecahkan.
Belum lagi masalah DOM di Aceh yang pada waktu itu juga sangat gencaran. Masalah-masalah HAM seperti itu seluruh saya selesaikan.
Dan kita menghadapi tekanan dunia internasional. Saya berkali-kali harus datang ke Genewa. Harus menghadiri sedang Dewan HAM PBB dan mempertahankan posisi Indonesia dari anggapan-anggapan atau sementara tuduhan bahwa terjadi pelanggaran HAM yang berat di Indonesia.
Dan pada waktu itu ingat saya ada pihak-pihak yang mau menggalang kekuatan di Dewan Keamanan PBB untuk membentuk satu international tribunal di Indonesia seperti kasusnya Bekas Yugoslavia dan Rwanda pada waktu itu.
Setengah mati saya menyusun undang-undang pengadilan HAM. Membentuk pengadilan HAM, Pengadilan HAM ad hoc, Membentuk Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan undang-undangnya tepat waktu selesai.
Dan saya pada waktu itu datang ke Genewa dan mengatakan Dewan Keamanan tidak bisa mengintervensi kasus karena pengadilan HAM sudah terbentuk. Kami akan melakukan proses nasional dalam menyelesaikan persoalan HAM.
Jadi international tribunal dibentuk seperti di Rwanda dan di Yugoslavia itu karena tidak terjadi proses nasional, negaranya tidak bertindak menyelesaikan persoalan itu. Maka dunia internasional atas resolusi dari Dewan Keamanan itu membentuk yang disebut dengan international tribunal.
Tapi kalau proses nasional terjadi, maka mekanisme internasional tidak bisa dilakukan.
Dan saya merasa kita menang berdiplomasi. Dan pada waktu itu memang menghadapi Dewan Keamanan PBB itu. Kita sudah bersiap-siap saya melakukan lobby pada negara-negara yang mempunyai hak veto. Dan saya sudah tahu kuncinya.
Jadi ya pada waktu... Kita sudah bisa mengitung kekuatan di Dewan Keamanan. Jadi kalau sekiranya di... Karena sebelum kita berangkat ke Amerika Serikat kita sudah melakukan pendekatan-pendekatan, termasuk saya bertemu dengan Perdana Menteri India, Vajpayee pada waktu itu. Jam 2 malam di rumahnya. Dengan mengatakan permohonan minta maaf. Mohon waktu bertemu sekarang juga.
Jam 2 malam dibukakan pintu rumah Perdana Menteri. Dan saya mengatakan India salah satu anggota Dewan Keamanan, mohon nanti kalau terjadi upaya untuk seperti ini. Supaya India berpihak kepada Indonesia. Dan secara mengejutkan Perdana Menteri India bilang sama saya. 'Dulu tahun 1947 Indonesia sedang perang, India itu kelaparan. Tiba-tiba kapal Indonesia datang membawa beras, membantu India. Jadi katanya, sudah Pak Menteri, Dia bilang, besok aman. Dia angkat telpon, ditelpon Dubes India yang ada di PBB. Kalau terjadi begini, sikap kita bantu Indonesia.
Padahal India pada waktu itu bukan anggota tetap. Tapi ada negara anggota tetap yang saya nggak usah sebut lah namanya nggak enak tapi sudah kita lobby kalau sekiranya ada voting, dia akan veto.
Jadi sebenarnya kita mengalang diplomasi luar biasa pada waktu itu dan akhirnya memang tidak berhasil mengucilkan kita dengan membentuk tribunal dan macam-macam itu dan Alhamdulillah proses nasional berjalan.
Jadi walaupun belakangan Pak Himly membatalkan Undang-Undang Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kami buat, sebenarnya hanya satu pasal yang menyebabkan MK membatalkan seluruhnya yaitu dalam Undang-Undang itu dikatakan bahwa jika satu kasus pelanggaran HAM berat terjadi di masa lalu sudah ditangani oleh Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka tidak lagi dimungkinkan adanya proses pengadilan terhadap kasus itu. Ya mestinya kan pasal itu aja yang dibatalkan. Kenapa harus dibatalkan seluruh Undang-Undangnya?
Dan akibat itu dibatalkan pada tahun 2006 sampai hari ini kita gak mencapai kemajuan apapun. Menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa yang lalu yang sudah tidak mungkin dapat kita selesaikan karena mungkin pelakunya sudah pada meninggal semua. Korbannya juga meninggal, saksinya meninggal, alat-alat buktinya sudah sangat sulit untuk didapatkan.
Misalnya, satu contoh ya. Kasus Genosida di Bandaa Neira yang dilakukan oleh JP Zooncoon pada tahun 1600 sekian. Kan gak mungkin mau diungkapkan lagi. Tapi Anda masih melihat sisa-sisa pembantayan di Banda.
Dan mengapa ada orang Ambon, ada di Kepulauan Kei dan ada di Kepulauan Aru, dekat Australia. Itu akibat pembantaian terjadi di Banda Neira. Banda Neira itu negeri palah, negeri rempah-rempah. Kalau Anda membaca kitab Injil, membaca perjanjian baru ketika Yesus disalib, meninggal, Kemudian jenazahnya itu mau dimakamkan di buah kuburan batu, maka Maria Magdalena, dia membeli rempah-rempah di pasar Jerusalem untuk mengawetkan tubuh Yesus. Dan dimana asalnya rempah-rempah itu? dari Banda Neira, dari Maluku. Dan itu buku-buku sejarah banyak sekali menulis tentang itu. Sejak abad pertama Masehi, ya dunia rempah itu luar biasa ya. Ini yang kita tidak garap ya.
China membahas circlot, jalur sutra. Kita ini jalur rempah. Rempah-rempah itu luar biasanya.
Jadi orang itu kalau bawa satu karung goni kecil, satu karung gandum, apa namanya, cengkeh, dibawa ke Inggris, orang itu dikasih gelar baron sama rada Inggris. Karena begitu mahalnya harga rempah-rempah itu.
Satu hari saya teringat, Haji Agus Salim itu berdebat di Dewan Keamanan PBB mengenai konflik Indonesia-Belanda. Agus Salim itu gila-gilaannya kalau kita bilang sekarang. Dia merokok kretek dalam sidang itu sehingga banyak komplain karena Haji Agus Salim merokok. Dia bilang, 'tuan-tuan harus mengerti, gara-gara yang saya isap inilah negeri saya dijajah ratusan tahun. Bukankah tuan-tuan menjajah negeri kami untuk mengambil rempah-rempah ini?' Itu luar biasa Haji Agus Salim bisa memukul balik apa namanya, omongan-omongan dari Inggris, Belanda, Amerika, segala macam.
Ya karena rempah itulah, negeri ini dijajah. Jadi bayangkan kisah tentang rempah itu disebutkan di dalam kitab Injil. Itu bukan sesuatu yang baru, sesuatu yang sudah sangat lama dalam sejarah.
Nah jadi, apa yang kita mau omongin? Kok jadi lagi kisah rempah-rempah ini? Kisah ini apa namanya, bagaimana upaya, apa Prof tadi?
Oh iya, menyelesaikan kasus HAM di masa yang lalu. Jadi kan sering hanya dikatakan begini nih, sekarang ini kan rekonsiliasi di masa yang lalu, korban-korban itu seolah-olah yang jadi korban ini cuma orang-orang komunis saja. Orang-orang PKI yang dibantai tahun 1965, ya memang mungkin pada waktu itu sudah ada juga.
Kan Pak Jokowi sudah mendeklarasikan dengan berdasarkan Perpres nomor 72 tahun 2023, itu bahwa, apa namanya, ada penyesaian non-justisial atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa yang lalu, termasuk juga pada waktu peristiwa Pasca G30S. Tapi jangan lupa pada waktu peristiwa Madiun misalnya, berapa banyak kyiai-kyiai, tokoh-tokoh Islam yang juga dibunuhin sama kelompok komunis dalam peristiwa Madiun 1948 itu. Jadi kalau hal-hal seperti ini mau kita investigasi, peristiwa Madiun misalnya tahun 1948 itu, mencari korban-korbannya sudah nggak ada lagi.
Ya mungkin ada keluarganya masih ada, tapi tidak bisa jadi saksi lagi. Sudah anak cucunya ya, kata kakek saya dulu begini kan nggak bisa jadi sakti. Tidak bisa menerangkan proses itu terjadi.
Jadi menurut saya sih sebenarnya Komite Kebenaran rekonsiliasi itu penting untuk merekonsiliasikan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat di masa yang lalu, kita mencatat itu sebagai sejarah, dan kita sepakat tidak mengulangi lagi.
Mungkin saudara bisa baca tulisannya si orang Belanda sendiri, menulis tentang genosida di Pulau Banda. Terjadi begitu pembunuhan begitu luar biasa terhadap orang-orang yang mempunyai kebun dan orang-orang kaya di bandar yang menguasai jalur perdagangan sampai ke Eropa.
Baca Juga: Yusril: Indonesia Segera Terapkan KUHP Baru, Gantikan Hukum Kolonial
Waktu awal-awal kabinet Pak Prabowo dibentuk, salah satu kementerian yang dibawah koordinasi Pak Yusril, Kementerian HAM, sempat ramai nih karena minta anggaran sampai Rp200 triliun. Memang apa urgensinya?
Sebenarnya begini, pikiran Pak Pigai itu tidak salah ya. Beliau seorang aktivis. Jadi backgroundnya bukan birokrat dan juga bukan politisi. Beliau betul-betul aktivis HAM di lapangan. Jadi dunia aktivis dengan dunia pemerintah itu dua hal yang berbeda sebenarnya.
Kalau kita berpikir dalam perspektif aktivis, apa yang dikatakan Pak Pigai itu ada betulnya. Karena persoalan HAM kan bukan hanya persoalan genosida, persoalan massive killing, war crime, persoalan extrajudicial killing, tapi kan pemenuhan HAM. Hak setiap rakyat untuk memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak orang dapat bekerja, hak orang dapat jaminan kesehatan, hak orang memperoleh makanan, minuman, air bersih, dan sebagainya.
Menikmati pendidikan, itu kan adalah semua HAM. Tapi kan tidak semua urusan HAM itu menjadi tanggung jawabnya kementerian HAM. Yang menjadi kementerian HAM itu ada skop pembatasan tertentu.
Jadi tidak bisa juga dianggap misalnya Menteri SDM. SDM itu kan mengurusi mineral, antara lain. Asal ada mineral dianggap urusannya dia. Kan belum tentu.
Di Tugu Monas itu kan ada tanah di bawahnya itu. Kalau tanahnya itu digali kan ada mineralnya di situ. Lantas apa Tugu Monas itu urusannya Pak Bahlil kan bukan. Jadi kira-kira seperti itu. Jadi urusan pendidikan itu adalah urusan mendasar di bidang HAM.
Tapi kan tidak ditangani oleh Pak Pipgai, itu ditangani oleh kementerian pendidikan, itu juga petanian, kesehatan. Kalau di total-total jumlahnya lebih Rp20 triliun.
Tapi yang menjadi scope ruang lingkupnya Pak Pigai, ya tentu mungkin jumlahnya tidak sebesar itu. Itu wajar saja.
Pidato Prof Yusril pada saat Hari HAM dianggap pepesan kosong, bagaimana tanggapannya?
Ya persoalan-persoalan pelanggaran HAM itu akan selalu ada. Dan saya katakan bahwa setiap kejahatan pada dasarnya pelanggaran HAM. Tapi tidak semua pelanggaran HAM itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Pelanggaran HAM yang berat itu kan antara lain misalnya ethnic cleansing, penghapusan etnik. Kemudian torture, penyiksaan. Kemudian penghilangan paksa. Kemudian pemindahan paksa dan lain-lain. Itu termasuk sebagai kategori-kategori pelanggaran HAM yang berat. Termasuk juga adalah kejahatan perang dan lain-lain.
Kita sangat concern untuk mencegah hal-hal yang dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat itu supaya tidak terjadi. Tapi setiap hari kan kita menyaksikan ya ada pembunuhan, ada orang ditabrak di tepi jalan. Kan itu semua kasus-kasus pelanggaran HAM.
Jadi kalau dikatakan bahwa tidak mungkin kita atasi itu semua ya memang tidak bisa. Sampai dunia ini kiamat pun kejahatan di dunia ini akan tetap ada.
Jadi kenapa saya bilang begitu? Ini kalau kita lihat dari segi persahabat agama ya. Manusia itu diciptakan Tuhan sudah ada cenderung kepada kebaikan dan cenderung kepada kejahatan. Fujuraha wa taqwaha kata Al-Quran. Di hatinya itu ada setengah ke arah kebaikan, setengah ke arah kejahatan.
Manusia itu tidak pada dasarnya baik. Tidak. Tidak, ada dasarnya jahat. Kalau baik saja itu malaikat, kalau jahat saja itu setan. Setan tidak mungkin berbuat baik, malaikat tidak mungkin buat jahat. Tapi manusia bisa jahat bisa baik.
Jadi tanpa ada setan pun manusia itu sudah bisa jahat. Karena potensinya untuk jahat itu 50 persen pada dirinya seperti potensinya untuk berbuat baik.
Yang kedua ada setan yang akan merayu manusia itu, menggoda manusia itu sehingga yang baik terlihat jadi jelek, yang jelek terlihat jadi baik dan manusia itu gandrung kepada yang jelek dan buruk-buruk itu. Kedua.
Yang ketiga, Tuhan sendiri mengizinkan kepada setan-setan itu untuk leluasa melakukan aktivitas-aktivitasnya. Jadi kalau kita membaca Al-Quran seperti itu, apa hidup kita ini terus jadi pesimis? Sampai kiamat pun kejahatan itu akan selalu ada. Tapi justru Tuhan itu mengatakan semua itu sengaja diciptakan agar kalian itu fastabikul khairat. Kalian itu berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan.
Kalau udah nggak ada kejahatan lagi, nggak ada polisi, nggak ada jaksa, nggak ada hakim, semua kita ada. Lama-lama orang mah bosan juga ya di dunia ini. Udah nggak ada lagi kejahatan semuanya, udah teratur, baik, rapi. Sesekali kayak pengen juga kita lihat orang berantem katanya. Kira-kira seperti itu ya.
Dunia ini ya seperti itulah. Ya selama kita hidup di dunia, ya seperti itulah dunia ini. Jadi kalau dibilang pepesan kosong, ya yang ngomong itu pun nggak kalah kosongnya daripada pepesan yang saya kosongkan itu. Kira-kira seperti itu.
Masih menyangkut soal HAM. Beberapa waktu lalu sempat ramai pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Bagaimana tanggapannya?
Ya lebih baik mengajukan gugatan ke pengadilan. Satu aturan kebijakan itu kan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Jadi kalau pelarangan itu dianggap tidak bisa mereka terima kan mereka punya hak untuk melakukan perlawanan. Tapi bagaimanapun, nantinya, putusan pengadilan itu mempunyai kekuatan final and binding.
Jadi kalau saya sih tidak apriori terhadap hal-hal seperti ini. Jadi pemerintah bisa saja melarang, bisa juga membolehkan. Tapi pihak yang tidak setuju bisa melakukan perlawanan melalui proses gugatan di pengadilan seperti itu.
Baca Juga: Menko Yusril: Pemerintah Tak Niat Tarik Kembali RUU Perampasan Aset
Salah satu masalah Pemasyarakatan yang bertahun-tahun tak selesai adalah lapas yang melebihi kapasitas. Apa solusi yang Prof Yusril tawarkan untuk mengatasinya?
Ya, ini setahun lagi kita akan melaksanakan KUHP baru. Dengan berlakunya KUHP baru itu, cara kita memberikan sanksi atau setelah terjadinya satu tindak pidana itu sudah berbeda dengan KUHP yang ada sekarang.
Kalau KUHP yang kita ada sekarang itu spiritnya adalah pembalasan. Namanya penjara itu kan bikin orang jera, penjeraan gitu.
Sekarang ini kita bukan lagi tujuannya penjeraan dan penghukuman badan, tapi itu kita adalah restorasi, memperbaiki keadaan atau memulihkan keadaan. Kita merehabilitasi dan sebagainya.
Jadi pendekatan kita sudah jauh berbeda. Walaupun mentalitas orang kita itu memang begitu. Mentalitas orang kita itu kalau orang belum dipenjarakan dia belum puas. Padahal orang dipenjarakan itu kan tidak juga berarti baik bagi orang yang melakukan kejahatan itu. Itu kan sistem pidana yang diterapkan oleh Belanda dulu.
Kalau kita lihat kepada hukum asli orang Indonesia, bolehlah dibilang asli, hukum adat maupun hukum Islam, pidana itu kan merupakan alternatif terakhir.
Dalam hukum Islam, orang membunuh penyelesaiannya mana disuruh mesyawarah lebih dulu antara orang yang menjadi korban, keluarganya yang meninggal, dibunuh, dengan si pembunuh dan keluarganya. Musyawarah dulu. Kalau nggak selesai mesyawarah, baru diselesaikan secara pidana. Jadi orang itu ditawarkan alternatif.
Mau apa ini? Mau memaafkan, damai, selesai kasusnya? Atau meminta ganti rugi? Diat namanya. Atau kalau nggak mencoba ganti rugi, udah saya mau minta orang ini dihukum mati juga. Hakim bersidang. Apakah hukum mati itu pantas jatuhkan pada orang ini? Kan orang membunuh kan bisa dengan sengaja, bisa tidak sengaja, dan sebagainya.
Jadi mungkin ke depan itu penjara tidak terlalu banyak lagi penghuninya. Kalau KUHP baru sudah diterapkan karena lebih banyak kepada rehabilitasi, lebih banyak kepada proses penyadaran, dan penjatuhan terhadap pidana denda daripada pidana kurungan badan.
Jadi misalnya orang mencuri sepeda, ya kan? Harga sepeda berapalah harganya? Paling Rp1 juta, Rp2 juta. Tapi orang mencuri sepeda dihukum 6 bulan misalnya. Lalu 6 bulan itu negara mengeluarkan biaya untuk masukkan orang itu dalam LP berapa Cost yang keluar untuk itu.
Kenapa orang ini mencuri? Ya karena dia mengangguran. Ya kalau dikasih kerjaan kan mestinya dia nggak nyuri sepeda. Jadi juga ada tanggung jawab negara terhadap terjadinya kasus kejahatan yang terjadi itu.
Jadi kita tidak lagi tekanannya kepada pidana seperti itu, tapi restoratif justice dan kemudian rehabilitatif. Selain itu harus kita sadari bahwa lebih 60 persen penghuni lembaga pemasyarakatan kita itu adalah kasus-kasus narkotika dan kasus-kasus psikotropika. Jadi kalau dibilang narkoba. Sebenarnya narkotika dan obat berbahaya itu 2 kategori yang berbeda sebenarnya. Undang-undangnya juga beda itu. Tapi sehari-hari orang bilang nakoba. Sebenarnya narkotika dan obat-obat berbahaya itu 2 hal yang kategorinya berbeda.
Nah kalau 60 persen lebih penghuninya itu adalah mereka yang latar belakangnya kasus narkoba seperti ini.
Kenapa bisa itu terjadi? Karena kita itu menghukum bukan saja pengedar, tapi kita juga menghukum orang yang menggunakan (misalnya) marijuana, misalnya menggunakan ganja, dihukum juga. Memang kadang-kadang yang make juga ngedar juga. Bisa juga begitu. Tapi ini bisa murni hanya pemakai. Pun dipidana juga. Akhirnya penuh lah LP itu.
Makanya ada upaya untuk memperbaiki undang-undang narkotika itu. Sehingga kalau korban itu tidak perlu dimasukin penjara. Diadili bisa. Tapi setelah itu dihukum dihukumnya bukan dimasukin penjara. Tapi masuk apa namanya itu direhabilitasi.
Cuman pemerintah harus menyiapkan sarana dan perasana rehabilitasi ini. Baru ini pidana dijalankan. Kalau tidak orang-orang di LP itu yang kasus narkotika dikeluarin semua, direhabilitasi juga. Kalau nggak akan nanti orang di kampung-kampung marah sama saya. Ini gimana ini Pak Yusril ini katanya, Orang-orang kayak gini kok dilepasin malah bikin resah orang sekampung.
Jadi itu banyak hal yang memang kita harus persiapkan. Kalau sekiranya mereka yang dipidana karena pemakai atau pecandu narkotika itu tidak dimasukin ke dalam lembaga pemasyarakatan, maka pasti penghuni LP itu akan turun 60 persen. Seketika.
Atau misalnya juga tentang pelaksanaan berbagai jenis hukuman yang memerlukan peraturan perundang-undangan. Misalnya orang udah dipidana umurnya 70 tahun. Apa pantas orang itu dimasukin penjara. Iya itu juga ada pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Orang umur 70 tahun dimasukin penjara itu malah bikin pusing LP. Udah sakit lagi, macam-macam urusannya. Jadi banyak hal yang kita itu mengubah sistem kita.
Jadi mungkin dalam 5 tahun ke depan atau 3 tahun ke depan, kalau ini semua sudah selesai, mungkin jumlah narapidana itu tidak sebanyak yang ada sekarang. Sebab kalau kita masih pakai hukum yang seperti sekarang ini, seberapapun kita bikin penjara, nggak akan tetap bisa menampung persoalan ini.
Itu berlaku surut nggak untuk yang sudah dipidana sebelumnya?
Ya itu tentu nanti kita melihat peralihan hukum itu ya. Misalnya kan kalau dalam proses penuntutan biasanya, kalau terjadi perubahan hukum, maka yang diberlakukan adalah yang paling meringankan bagi yang bersangkutan. Tapi bagaimana halnya dengan mereka yang sudah dipidana? Misalnya orang itu dipenjara, dipidana 10 tahun. Tapi belakangan itu bukan tindak pidana lagi.
Misalnya orang nyelundup, katakanlah nyelundup kecil-kecilan gitu ya, nyelundup ikan misalnya, dijual ke negara tetangga misalnya, kecil-kecilan nelayan. Mungkin penyelundup kan dia bisa dukung sampai setahun. Tapi sekarang mungkin tidak dianggap penyelundupan. Itu dia bayar denda aja. Berapa ikan yang kamu selundupkan? Oh 500 kilo, yaudah denda. 10 ribu, 1 kilo, bayar. Selesai urusannya.
Jadi kan bukan pidananya itu sudah berubah. Nah jadi saya belum bisa menjawab pertanyaan itu karena ini mesti didiskusikan panjang dengan alih-alih pidana, dan juga bagaimana pengaturannya, ketika orang sudah dipidana terjadi perubahan hukum. Kira-kira seperti itu.
Masalah lain yang tengah disorot adalah tentang RUU Perampasan Aset. Bagaimana ketegasan Prof Yusril soal RUU Perampasan Aset ini?
Ya, ini kan sama yang seperti saya bicarakan tadi. Kemarin dalam seminar di KPK, saya kan diminta pendapat mengenai persoalan ini. Saya katakan dengan berlakunya KUHP, pendekatan kita itu lebih kepada restoratif justice, bukan lagi pada pemenjaraan.
Jadi penegakkan hukum juga mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, faktor-faktor sosial, tenaga kerja, dan lain-lain. Nah sementara pasal dua, pasal tiga itu kan pendekatannya pada kerugian negara.
Sedangkan kita sudah meratifikasi UN Convention Against Corruption. Nah ini kan banyak hal yang kita nggak kerjakan sekian lama.
Anda bisa bayangkan pada waktu saya jadi Menteri Hukum dan Pemenang Undangan tahun 1999. Itu kan yang pertama dilakukan adalah amendement terhadap Undang-Undang Tipikor, Undang-Undang 31 99. Di situlah saya memasukkan pasal-pasal tentang gratifikasi, suap yang semula delik umum, suap yang dilakukan penyelidikan negara menjadi delik khusus korupsi, dan lain-lain sepertinya.
Lalu kemudian kita membentuk Undang-Undang KPK. Itu tahun 2003. Diberikan kewenangan-kewenangan luar biasa. Saya mewakili pemerintah membahas RUU KPK sampai jadi. Kemudian kita membentuk tim menyeleksi pimpinan KPK yang pertama, yang Pak Taufik Ruki itu.
Sesudah itu Undang-Undang Tipikornya diperbaiki, KPK-nya dibentuk. Desember tahun 2003 kan saya pergi ke New York menetangani UN Convention Against Corruption. Nah itu 18 Desember, ingat saya tahun 2003.
Tahun 2006 ketika saya Mesesneg saya tagih ini kok nggak diratifikasi? Pada waktu itu Pak Hasan Wirayuda jadi Menlu, kita ratifikasi UN Convention Against Corruption.
Dan kita setelah meratifikasi itu, dalam waktu satu tahun, nah itu bunyi UN Convention itu, harus menyesuaikan perundang-undangan nasional kita dengan UN Convention Against Corruption itu.
Kita sudah ratifikasi tahun 2006. Sampai hari ini. Hampir 20 tahun. Kita tidak melakukan perubahan apapun terhadap perundang-undang korupsi kita.
Nah, kalau kita membaca UN Convention Against Corruption itu, rumusannya itu bukan lagi rumusan kerugian negara seperti kita. Lebih banyak kepada bribery. Bribery itu penyuapan, delik penyuapan.
Nah, kalaulah kita misalnya menyesuaikan Undang-Undang Tipikor itu dengan UN Convention Against Corruption, maka definisi tentang korupsi akan berubah. Bukan lagi memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara, tetapi adalah delik bribery, delik penyuapan dan pemindahan aset misalnya terhadap, juga termasuk penyuapan yang dilakukan di luar negeri.
Nah, lalu tekanannya pada penyuapan dan penekanannya bukan lagi pada penghukuman badan, tapi penekanannya lebih pada memulihkan kerugian negara. Dan ketika kita bicara memulihkan kerugian negara, bahasa yang dipakai oleh UN Convention Against Corruption itu, ialah asset recovery.
Pemulihan aset yang rugi akibat korupsi. Sebenarnya, bukan kata-katanya itu bukan perampasan. Itu asset recovery bahasa Inggrisnya.
Nah, penemuan kembali aset, bukan merampas. Merampas ini kan memang ada pembatasan-pembatasan tertentu. Kita selama ini hanya mengenal penyitaan. Penyitaan itu dilakukan oleh penyidik terhadap hasil kejahatan.
Misalnya saya beli mobil hasilnya uang mencuri, atau saya beli mobil uangnya dagang narkoba misalnya kan, itu mobil bisa disita, karena diduga saya manfaatkan mobil itu dari hasil kejahatan. Disita.
Nah, jadi mobil itu disita oleh polisi atau oleh jaksa, saya diadili. Nah, kalau putusan mengatakan, kalau saya terbukti melakukan, bahkan barang bukti mobil tadi dirampas untuk negara. Jadi kan setelah ada putusan.
Nah, kalau sekarang ini udah dirampas, misalnya Anda, tiba-tiba Anda punya rumah bagus, orang mengatakan bahwa ini Anda hasil mencuri, langsung dirampas. Atau Anda diadili, ternyata nggak terbukti Anda melakukan pencurian. Terus gimana rumah yang sudah dirampas itu? Itu jadi problem juga. Ini bisa jadi persoalan HAM, dan persoalan kepastian hukum.
Tentu tidak seperti itu. Ada batas-batasnya. Dia bisa dirampas kalau pelakunya melarikan diri. Nah, itu ya. Orang ini dituduh, misalnya dagang narkoba, terus beli hotel, misalnya.
Nah, lantas orangnya waktu dicari kabur ke luar negeri. Itu bisa dirampas. Tapi pun tetap jadi masalah juga. Iya dirampas, iya melarikan diri. Tapi kalau suatu saat dia tertangkap, terus dia adili di sini, ternyata dia tidak terbukti. Gimana juga persoalannya kalau sudah dirampas? Nah, itu persoalan.
Jadi saya kira, boleh-boleh aja kita membahas perampasan aset itu, karena memang sudah disampaikan ke DPR, dan sampai hari ini DPR kan belum mengagendakan pembahasan. Tapi mungkin, segala ekses-ekses yang bisa terjadi ketidakpastian hukum, bisa terjadi kesewenang-wenangan, penyidik nanti. Bisa aja polisi jadi sewenang-wenang, bisa penyidik jadi sewenang-wenang, main hantem kromo aja, main rampas-rampas ini. Kelabakan ke rakyat sendiri. Belum tentu orang itu melakukan kejahatan.
Kadang-kadang, orang yang nggak salah pun bisa dibikin image-nya salah karena pemberitaan media. Nah, itu kan pelanggaran HAM juga. Orang itu orang baik-baik sebenarnya, tapi tiap hari berita dia bilang dia orang jahat, kan dia juga orang jahat juga.
Sama saja kalau ada pohon besar di kampung, orang bilang ini pohon ini ada hantunya. Kalaunya dua malam ada hantu. Seribu orang bilang itu, bener-bener ada hantunya di situ. Kan disitu-situ. Jadi, orang jahat itu belum tentu jahat. Kan harus dibuktikan terlebih dahulu.
Jadi, kita sih mau aja membahas itu, tapi saya lebih cenderung bagaimana kalau kita memperbaiki undang-undang korupsi ini lebih dulu, sesuai, menyesuaikan dengan UN Convention Against Corruption.
Kemudian, metode penghukumannya menyesuaikan juga dengan apa namanya, KUHP baru kita, sehingga tidak semata-mata pada penghukuman badan.
Jadi, ambil contoh kasusnya Emirsyah Satar, kan Anda ingat? Yang Dirut Garuda. Kan dipidana karena disuap. Yang disuap sudah diadili dan dihukum di sini, yang nyuapnya siapa? Yang nyuapnya kan di Amerika. Perusahaan penerbangan yang membuat pesawat Geruda yang dibeli itu. Setelah orangnya diadili di sini, kan kita tanya pemerintah Amerika.
Ini yang menyuap, yang disuap sudah diadili dan sudah dihukum. Kita minta tolong pemerintah Amerika juga mengambil tindakan terhadap orang yang melakukan penyuapan. Itu perusahaan penerbangan, pembuat pesawat terbang, saya nggak usah sebut namanya lah. Jadi, apa jawab pemerintah Amerika? Kami sudah melakukan tindakan. Loh, apa tindakannya? Kami sudah panggil perusahaan itu, dia mengakui perbuatannya, melakukan penyuapan, dia dikasih denda, direksi yang menyuap dipecat, diberhentikan, dan perusahaan itu mengumumkan kepada publik, mereka mengaku salah, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi kejahatan seperti itu. Perusahaannya jalan terus.
Coba di sini. Pertama orang bilang, lo kok nggak dipenjarain? Satu. Ya kan? Kita kan seneng banget menjerain orang gitu.
Yang kedua, orang bilang, lo kok perusahaannya masih jalan? Nah, kalau kita di sini. Si A misalnya, punya perusahaan, plywood jaman dulu, pekebunan sawit kalau sekarang ini, ribuan tenaga kerjanya, dia dituduh melakukan kejahatan. Belum apa-apa sudah diblokir rekening banknya. Ya kan? Disita perusahaannya. Begitu disita, diadili sampai 4 tahun baru putus. Perusahaannya kocar-kacir. Ya kan? Gimana mau gaji? Rekeningnya diblokir. Gimana mau melakukan transaksi? Sudah itu diajukan lagi. Kejahatan korporasi. Disita lagi semua. Lalu, perusahaannya oleng. Lama-lama bangkrut. Negara nggak dapat pajak, nggak dapat retribusi ribuan tenaga kerja jadi pengangguran.
Yang kita dapat apa? Si pemiliknya itu yang kita tuduh penjahat, dimasukin penjara 20 tahun. Lalu apa yang kita dapat dari menindak kejahatan seperti ini? Kita mau memiskinkan orang atau memiskinkan negara? Coba dipikir baik-baik begitu. Amerika Serikat nggak mau.
Kalau misalnya dia menyita perusahaan pembuat perusahaan terbang di Amerika itu gara-gara kasusnya Emirsyah Satar, barangkali perusahaan perusahaan terbang Amerika itu sudah tutup. Amerika bilang ngapain kita tutup perusahaan ini? Kita jaga dong. Perusahaannya pembuat perusahaan terbang, terkenal di dunia. Masa mau hancur gara-gara nyuap sama Emirsyah Satar? Nah, ngomong seperti ini, ya bisa pepesan kosong. Bisa dianggap nggak heroik. Nggak populer. Nggak jagoan.
Nah, tapi saya pikir saya harus berpikir untuk menyelamatkan negara. Bukan karena nafsu kemarahan dan kebencian kepada seseorang atau kelompok seseorang. Jadi, nggak berani orang mengambil langkah-langkah seperti itu, karena langkah-langkah seperti itu nggak populer.
Tapi saya belajar dari Muhammad Natsir. Dia bilang, ya, pemimpin itu harus berani mengambil keputusan yang tidak heroik dan tidak populer. Karena manusia itu seringkali menyendari kebenaran, tapi ketika sudah terlambat. Kalau negara ini sudah hancur lebur, gara-gara semua tambangnya di Bredelin, semua kebun kelapa sawitnya ini dibangkrut, semua negara itu nggak punya apa-apa lagi. Hanya karena dendam dan kebencian.
Kita tidak boleh menegakkan hukum itu ke atas dasar kebencian kepada seseorang. Kalau saya belajar Al-Quran berkatakan, Allah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada kalian agar kalian dalam mengadili manusia memutuskannya dengan adil. Jangan sekali-kali kebencian kalian kepada segolongan orang menyebabkan kalian berlaku tidak adil terhadap mereka. Berlaku adillah, karena sesungguhnya adil itu lebih dekat kepada taqwa.
Itu ayat Al-Quran yang ada di Fakultas Hukum Universitas Harvard. Katanya kok sudah 1.500 tahun yang lalu ada orang kok bisa ngomong kayak gini? Ya, dipikir itu Nabi Muhammad yang bikin. Kalau orang Islam kan itu dibilang itu wahyu kan dari Tuhan.
Jadi, saya percaya betul bahwa kita nggak boleh menegakkan hukum itu karena kebencian. Hukum itu harus ditegakkan dengan adil. Dan sebelum kita bertindak adil pada orang lain, kita harus bertindak adil pada diri kita sendiri.
Karena Nabi itu mengatakan ketika ditanya, apa yang dimaksud dengan adil? Dia bilang, adil itu ialah berikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya dan cabut dari seseorang itu apa yang bukan menjadi haknya. Itu secara fair. Nggak bisa, karena kita menegakkan hukum itu dasarnya benci.
Itu dulu saya agak kecewa waktu saya mengusulkan Artidjo menjadi Hakim Agung. Karena dia ngomong di koran majalah, dia bilang, saya ini paling benci sama koruptor. Saya bilang, orang yang benci dengan sesuatu kelompok itu nggak bisa jadi Hakim. Saya juga nggak bisa jadi Hakim. Bukan karena saya benci, penyakit saya, saya mudah kasihan sama orang.
Orang mudah kasihan sama orang nggak bisa jadi Hakim. Saya jadi Hakim, ada ibu-ibu diadili nangis-nangis, ibu-ibunya, ah udahlah ibu ini dibebasin aja. Padahal dia bunuh orang. Kan celaka. Jadi saya juga nggak bisa jadi Hakim.
Mestinya Artidjo juga jangan mau jadi Hakim kalau dia mengandung dendam kepada sesuatu kelompok.
Nah akhirnya orang diadili dikira koruptor semua dihukum kan belum tentu orangnya dihukum sih. Nah, masa 100 orang didakwa pengadilan, seratusnya itu dihukum. Adalah 2 orang, 1 orang yang nggak salah. Salah semua. Nah, iya menurut saya bisa nggak benar juga penegakan hukum seperti itu.
Komentar
Posting Komentar