Bunyi Aturan Syarat Jadi Capres yang Dicap MK Inkonstitusional
Kamis, 02 Jan 2025 18:39 WIB
MK menyatakan persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
--
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan konstitusi.
MK menilai ketentuan dalam Pasal a quo melanggar hak politik dan kedaulatan rakyat serta melanggar moralitas.
Berikut bunyi Pasal 222 UU Pemilu:
"Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya."
MK mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan oleh empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoriul Fatna.
Para pemohon mendalilkan prinsip one man one vote one value tersimpangi oleh presidential threshold. Hal itu menimbulkan penyimpangan pada prinsip one value karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama.
Idealnya, menurut para pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan. Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi.
Oleh karena itu, hal itu menunjukkan ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik.
Pertimbangan hukum
Sementara itu, menurut MK, Pasal 222 UU Pemilu tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
"Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ucap MK.
Terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki perbedaan pendapat atau dissenting opinion yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Menurut MK, hal tersebut berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih untuk mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, MK menilai dengan terus mempertahankan presidential threshold dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon.
Padahal, kata MK, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia apabila penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Bahkan, jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, lanjut MK, tidak menutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.
Kecenderungan demikian paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.
Atas alasan itu, menurut MK, membiarkan atau mempertahankan presidential threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi," ucap hakim konstitusi Saldi Isra.
(ryn/gil)
Komentar
Posting Komentar