Sapi, Spesies Rekayasa Manusia yang Menghancurkan Alam

tirto.id - Percaya tidak percaya, sapi bukanlah hewan yang muncul dari alam. Hewan ini eksis akibat intervensi manusia. Ia lahir dari obsesi manusia terhadap spesies yang mampu menyediakan banyak kebutuhan, tetapi saat itu terlampau sulit untuk ditaklukkan.
Dahulu kala, sapi punya bentuk dan karakteristik yang amat berbeda. Posturnya tinggi, besar, dan kokoh. Bobotnya bisa mencapai lebih dari 800 kilogram. Ototnya bak terbuat dari kawat dan tanduknya lebih besar dari sabit.
Sebelum didomestikasi, hewan ini bergerak liar di padang rumput purba. Yang mereka makan hanyalah makanan yang disediakan oleh alam. Di sisi lain, mereka secara alami membantu alam kembali tumbuh berseri. Kuku-kukunya membantu penanaman benih. Kotoran yang mereka keluarkan menyuburkan tanah. Hidup mati mereka benar-benar sesuai dengan kehendak alam liar. Mereka pun tidak disebut sapi, melainkan auroch.
Kini, yang terlihat sama sekali berbeda. Sapi modern terkungkung di balik pagar, memamah rumput sembari bersantai di bawah sinar mentari. Mereka sudah tidak lagi menunjukkan karakteristik moyangnya karena manusia membuatnya demikian. Perubahan dari auroch menjadi sapi tidak terjadi karena evolusi, melainkan lewat pembiakan selektif.
Tak seperti auroch yang begitu berjasa kepada alam, sapi justru menghancurkannya.
Dari Raksasa Liar Menjadi Pelayan Manusia
Auroch adalah mahakarya alam. Posturnya yang tinggi besar dan kokoh membuatnya tak cuma mampu melawan predator dengan manuver ofensif, tetapi juga sanggup meloloskan diri melalui manuver evasif (menghindar).
Cara hidup auroch pun sangat bermanfaat bagi kelangsungan lingkungan hidup. Hentakan kaki mereka menggemburkan tanah dan membantu pembibitan. Pergerakan mereka mencegah adanya dominasi dari satu spesies tumbuhan.
Pendek kata, auroch adalah hewan yang liar, tangguh, independen, dan tak tergantikan.
Namun, auroch kini tinggal kenangan. Pada 1627, di Hutan Jaktorów, Polandia, auroch terakhir mati. Itu bukan cuma kematian seekor spesies, melainkan juga kematian cara hidup yang sebelumnya membentuk biodiversitas alam.
Kepunahan auroch adalah babak akhir dari sebuah proses panjang. Sekitar 10.500 tahun silam, di wilayah Hilal Subur (Fertile Crescent)—sekarang bagian dari Irak, Suriah, Turki, dan Iran, masyarakat agrikultural awal kali bertemu dengan auroch. Hewan ini sangat sulit diburu, mustahil untuk dijinakkan, tetapi terlalu berharga untuk tidak diacuhkan. Daging, susu, dan kulitnya sangatlah berharga bagi mereka, jauh lebih berharga daripada yang mampu diberikan spesies lain.
Manusia pun mencari akal. Jika auroch dewasa sudah terlalu sulit untuk diburu dan dijinakkan, auroch yang masih kanak-kanak tentu lebih mudah dikendalikan. Begitu kiranya latar belakang pemikiran mereka. Lantas, anak-anak auroch "diculik", lalu dibiakkan secara selektif. Hanya yang paling jinak dan lemah yang boleh dibiakkan. Sementara itu, yang tumbuh menjadi auroch ganas akan segera disembelih.
Dari situlah, ratusan generasi setelahnya, bentuk auroch perlahan berubah. Ukuran mereka jadi lebih kecil, tanduknya lebih pendek, dan tak lagi ganas. Mereka berubah menjadi hewan yang patuh dan tunduk pada keinginan para penciptanya: manusia.
Sampai akhirnya, kurang lebih 8.000 tahun silam, terciptalah dua spesies sapi yang kemudian menjadi moyang baru dari sapi yang ada saat ini. Dari wilayah Hilal Subur, ada Bos taurus yang menjadi moyang dari sebagian besar sapi Eropa dan Asia. Sementara itu, dari anak benua India, muncullah Bos indicus alias sapi zebu yang masih eksis hingga kini.
Seiring dengan migrasi manusia, hewan-hewan ternak pun ikut serta. Di sinilah evolusi terjadi. Sapi yang dibawa ke Skotlandia menjadi sapi Highland berbulu tebal dan lebat yang melindungi mereka dari dingin. Di India dan Afrika, sapi zebu beradaptasi terhadap panas dan kering. Namun, di daratan Eropa, intervensi terus terjadi: sapi-sapi dibiakkan sedemikian rupa sehingga menjadi lebih besar supaya lebih banyak daging yang bisa diambil darinya.
Intervensi pun berlanjut ke titik yang lebih ekstrem lagi pada masa revolusi industri. Sapi tidak cukup hanya menjadi hewan ternak yang bisa menyediakan daging atau susu.
Manusia butuh spesialisasi yang lebih pasti. Ada sapi khusus perah. Ada sapi khusus pedaging. Lagi-lagi pembiakan selektif dilakukan. Hasilnya adalah kelahiran sapi Holstein berwarna hitam-putih, yang merupakan spesialis penghasil susu; sapi Angus, yang dibiakkan khusus untuk jadi pedaging; serta sapi Jersey, yang susunya kemudian diolah menjadi produk lain, seperti keju dan mentega.
Inilah sapi-sapi yang dikenal oleh manusia modern. Mereka bukan lagi jawara padang rumput melainkan "alat" bagi manusia untuk memenuhi segala kebutuhannya. Sapi, pada dasarnya, adalah keturunan auroch yang telah kehilangan kekuatan alaminya.
Bahaya Sapi bagi Lingkungan Hidup
Menurut estimasi Organisasi Pangan dan Agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa, ada 1,5 miliar ekor sapi yang hidup di muka bumi saat ini. Tentu saja, karena merupakan hasil rekayasa genetika untuk keperluan manusia, jenis yang dominan pun ialah sapi yang memiliki manfaat industri.
Seekor sapi Holstein mampu menghasilkan 10 ribu liter susu setiap tahunnya. Tapi, tubuh mereka biasanya sudah remuk setelah empat sampai enam tahun. Sapi Angus, di sisi lain, tumbuh besar dengan cepat dan sering kali sudah disembelih sebelum berusia dua tahun.
Kehidupan sapi berpusat pada manusia. Tak cuma menjadi penghasil komoditas, mereka juga sudah tidak lagi bisa bertahan hidup tanpa manusia. Sapi-sapi modern mesti dilindungi sedemikian rupa karena mereka tak lagi memiliki kemampuan yang diperlukan untuk bertahan di alam bebas.
Ongkos untuk memelihara sapi, agar tetap bisa menyuplai kebutuhan manusia, pun teramat sangat besar. Di hutan hujan Amazon, misalnya, sebagian besar kebakaran lahan setiap tahunnya terjadi karena sapi. Lihat contohnya, pada 2019, ada lebih dari 80 ribu kasus kebakaran lahan di Amazon. Sekitar 80 persennya terjadi karena hutan-hutan tersebut dikonversi menjadi lahan untuk pakan sapi.
Itu belum termasuk pelepasan gas metana yang berasal dari usus sapi. Setiap ekor sapi melepaskan ratusan liter gas metana setiap harinya. Gas metana, untuk jangka waktu pendek (sekitar 20 tahun), 80 kali lebih ampuh dalam memerangkap panas di atmosfer ketimbang karbon dioksida. Tak heran jika 14,5 persen dari gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia berasal dari peternakan sapi berskala besar.
Permasalahan selanjutnya adalah kebutuhan akan air. Rata-rata, seekor sapi butuh 100-150 liter air per hari, hanya untuk minum. Untuk memproduksi satu kilogram daging sapi, diperlukan 15 ribu liter air. Adapun satu liter susu sapi membutuhkan 628 liter air. Jika ditotal, selama hidupnya yang singkat, seekor sapi perah memerlukan 45.000 liter air.
Persoalan terakhir adalah konsumsi makanan berlebihan. Dalam sejarah, (peternakan) sapi sudah terbukti mampu menghasilkan bencana ekologi di Amerika Serikat.
Pada abad ke-18 dan 19, banyak peternak membawa sapinya ke wilayah Great Plains, wilayah Amerika bagian tengah yang ditumbuhi rerumputan subur. Namun, karena konsumsi pakan berlebihan (overgrazing), wilayah rerumputan itu kini berubah menjadi apa yang disebut Dust Bowl alias Mangkok Debu. Tak ada lagi rerumputan, yang tersisa hanyalah hamparan tanah gersang berdebu yang rawan badai pasir. Yang terjadi di Great Plains itu kini juga berpotensi terjadi pula di sejumlah wilayah di Australia serta Amerika bagian barat daya.
Mungkinkah Auroch Kembali?
Auroch terakhir sudah mati pada awal abad ke-17. Akan tetapi, bukan berarti jejaknya hilang begitu saja. Ada sekelompok manusia yang mengerti betul betapa krusialnya keberadaan auroch bagi lingkungan hidup. Berbekal teknologi yang memadai, mereka berusaha mewujudkan sebuah mimpi: menghidupkan kembali auroch.
Di Eropa, ada program bernama TaurOs program, Uruz Project, dan Rewilding Europe, yang berupaya agar auroch bisa muncul kembali. Caranya? Sama persis dengan cara manusia memusnahkah auroch, yaitu pembiakan selektif. Mereka dengan hati-hati memilih hewan yang masih berkarakteristik auroch, misalnya banteng petarung Spanyol dan Maremmana dari Italia, untuk dibiakkan kembali menjadi sesuatu yang mendekati auroch.
Proyek-proyek ini tidak sekadar bertujuan memunculkan kembali auroch. Lebih dari itu, mereka berencana melepasliarkan hewan-hewan hasil pembiakan selektif tersebut supaya bisa kembali berkontribusi untuk alam. Hasil akhirnya tentu masih terlampau dini untuk diprediksi. Akan tetapi, ini merupakan langkah yang patut diapresiasi. Karena, mengembalikan auroch ke alam bukan hanya soal resureksi, melainkan restitusi.
tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar