Su-57 Tak Jauh Beda dengan F-35 Karena Lambatnya Proses Pengembangan, Sudah Benar Indonesia Utamakan Rafale - Zona Jakarta - Opsiin

Informasi Pilihanku

demo-image
demo-image

Su-57 Tak Jauh Beda dengan F-35 Karena Lambatnya Proses Pengembangan, Sudah Benar Indonesia Utamakan Rafale - Zona Jakarta

Share This
Responsive Ads Here

 

Su-57 Tak Jauh Beda dengan F-35 Karena Lambatnya Proses Pengembangan, Sudah Benar Indonesia Utamakan Rafale - Zona Jakarta

Indonesia tepat pertahankan Rafale karena Su-57 memiliki masalah yang tak jauh berbeda dengan F-35. (Dassault Aviation)

ZONAJAKARTA.com - Keputusan Indonesia untuk tetap setia bersama Rafale dan mengutamakan jet tempur generasi 4,5 itu dinilai sangat tepat.

Pasalnya Su-57 yang digadang-gadang mampu menggeser dominasi F-35 sebagai jet tempur generasi kelima terbaik dunia justru memiliki masalah yang tak kalah peliknya.

Bahkan keduanya secara hakiki tidak jauh berbeda lantaran proses pengembangan yang terkesan lambat.

Baca Juga:

Dalam beberapa waktu belakangan, Rusia melalui Rosoboronexport tak lagi malu-malu untuk memasarkan Su-57 secara masif.

Digelarnya pameran industri dirgantara bertajuk LIMA 2025 di Kuala Lumpur, Malaysia beberapa waktu lalu menjadikan Negeri Tirai Besi itu semakin berani unjuk gigi untuk bisa menjangkau pasar Asia Pasifik khususnya ASEAN.

Apalagi saingan pesawat buatan Sukhoi itu terbilang berat karena lahirnya calon raksasa baru yakni KF-21 Boramae (Korea Selatan) dan KAAN (Turki).

Sebagai perusahaan eksportir, Rosoboronexport bahkan mengklaim bahwa Su-57 yang dipasarkannya benar-benar aman digunakan siapapun.

Jaminan keamanan tersebut mencakup kemampuan untuk bertahan dari ancaman peperangan elektronik (EW) milik kubu lawan.

"Komponen penerbangan adalah tema utama pameran tersebut. Di segmen ini, perusahaan akan menampilkan jet tempur generasi kelima Rusia Su-57E terbaru, yang akan menarik minat perwakilan Angkatan Udara Kerajaan Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Keunggulan dasarnya dibandingkan sekelompok kecil pesaing adalah pengalaman tempurnya yang sukses dalam konflik bersenjata nyata di tengah penggunaan kemampuan serangan udara, pertahanan AI, dan peperangan elektronik canggih oleh musuh," demikian keterangan resmi Rosoboronexport sebagaimana dikutip ZONAJAKARTA.com dari laman Military Watch Magazine melalui artikel berjudul "Will the Su-57 Find Clients in Southeast Asia? Russia Escalates Efforts to Market its Stealth Fighter" yang dimuat pada Rabu, 21 Mei 2025.

Baca Juga:

Terkait Indonesia yang dijadikan sebagai salah satu target pasar potensial, ada satu faktor besar yang tidak bisa dinafikan.

Negeri ini diketahui pernah menandatangani kontrak pengadaan sebelas unit Su-35 senilai 1,1 miliar dolar AS pada awal 2018 silam.

Walaupun dalam praktiknya, kontrak tersebut masih ditangguhkan karena berbagai persoalan yang membuat pembelian urung dilaksanakan sampai dengan sekarang.

user-author
Indonesia tepat pertahankan Rafale karena Su-57 memiliki masalah yang tak jauh berbeda dengan F-35. (Dassault Aviation)

Akan tetapi, Indonesia tidak boleh serta-merta tergiur dengan campaign Rosoboronexport yang mengklaim bahwa Su-57 benar-benar aman.

Sebab, sebuah media asing pernah membeberkan seperti apa bobroknya pesawat ini karena lambatnya proses pengembangan.

Lambatnya pengembangan produk yang diandalkan negara pimpinan Presiden Vladmir Putin itu tak lepas dari adanya sanksi Barat sejak konflik Rusia versus Ukraina, sehingga menyebabkan akses komponen dari supplier Barat terganggu.

Walaupun di sisi lain, Moskow selalu punya cara untuk mengakali berbagai hambatan yang ada demi memperoleh komponen berkualitas tinggi.

"Sanksi Barat terhadap Rusia, menyusul invasi ilegal Putin ke Ukraina, telah mempersulit produksi persenjataan Rusia, termasuk pesawat tempur generasi kelima Su-57. Namun, Rusia telah terbukti pandai mengakali sanksi tersebut untuk mendapatkan akses ke peralatan berteknologi tinggi," tulis analis militer Harrison Kass melalui artikel berjudul "Russia's Su-57 Felon Stealth Fighter Program Has Been 'Crippled'" yang dimuat oleh laman National Interest pada 5 Oktober 2024.

Selain itu, masalah tersebut juga membuat jumlah armada Su-57 yang dimiliki oleh Angkatan Udara Rusia (VKS) masih terbatas yang diperparah dengan sulitnya proses pengadaan sistem avionik dan radar modern.

"Hanya sekitar tiga puluh dua Su-57 yang telah dibangun (hingga Oktober 2024). Sanksi telah membuat pengadaan sistem avionik dan radar modern, yang menggabungkan komponen berteknologi tinggi, menjadi lebih sulit," ujarnya menambahkan.

Baca Juga:

Fakta ini menunjukkan bahwa secara hakiki, Su-57 memiliki masalah yang tidak jauh berbeda dengan F-35.

Produk generasi kelima buatan Lockheed Martin yang kerap dibanggakan Amerika Serikat sebagai jet tempur terbaik dunia ini memiliki segudang masalah dalam beberapa waktu belakangan.

Ini semakin terang benderang dengan adanya temuan Kantor Akuntabilitas Pemerintahan (GAO) mengenai lambatnya implementasi Technology Refreshment 3 (TR-3).

Terlambatnya implementasi program ini tak lepas dari adanya masalah rantai pasok dan software.

"Penundaan perangkat keras dan perangkat lunak—khususnya yang terkait dengan Technology Refresh 3 (TR-3)—merupakan faktor lain yang mendorong penundaan dan menghambat kemajuan program dalam menyelesaikan modernisasi Blok 4. TR-3 merupakan rangkaian peningkatan perangkat keras dan perangkat lunak senilai $1,8 miliar yang sangat penting bagi upaya modernisasi Blok 4. Pemasok TR-3 telah menghadapi kemunduran termasuk masalah rantai pasokan dan masalah perangkat lunak. Program dan kontraktor sedang menyelesaikan masalah ini," tulis GAO dikutip dari laman Gao.gov edisi 16 Mei 2024 dalam artikelnya yang berjudul "F-35 Joint Strike Fighter: Program Continues to Encounter Production Issues and Modernization Delays".

GAO juga merekomendasikan Gedung Putih dan Pentagon untuk meninjau ulang kebijakan mempertahankan F-35 hingga 2088.

Menurut pihaknya, "pemaksaan" kebijakan ini bisa memboroskan APBN Negeri Paman Sam hingga 2 triliun dolar AS.

Halaman:
user-author
Indonesia tepat pertahankan Rafale karena Su-57 memiliki masalah yang tak jauh berbeda dengan F-35. (Dassault Aviation)

Indonesia sendiri memang pernah tertarik untuk membeli F-35 sebanyak 48 unit.

Bahkan kontrak nyaris ditandatangani pada tahun 2021 ketika prioritas alokasi APBN masih bergelut dengan pandemi Covid-19.

Namun karena adanya fitur siluman dengan efek samping berbahaya sebagaimana saran dari para ahli, Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI akhirnya mengurungkan rencana itu.

Sedangkan di sisi lain, tawaran Su-57 juga masih belum kunjung digubris sebagaimana halnya kontrak Su-35 yang tak pernah dieksekusi hingga kini karena kekhawatiran terkena sanksi Amerika Serikat berdasarkan regulasi The Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA).

Artinya, keputusan Indonesia untuk tetap bertahan dengan Rafale sudah sangat tepat mengingat pembayarannya sudah lunas dan hanya tinggal menunggu waktu kedatangannya pada tahun 2026 mendatang.

Bahkan, pemerintah justru dianjurkan untuk menambah armadanya minimal 58 unit sehingga nantinya jumlah pesawat milik TNI AU setidaknya genap berjumlah 100 unit.

Jika itu dipenuhi, Dassault Aviation dengan senang hati akan memberikan transfer teknologi secara maksimal kepada PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang nantinya sangat berguna bagi kemajuan industri dirgantara nasional.

"Transfer Teknologi pesawat tempur Dassault Rafale belum 100 persen jika dibandingkan dengan KFX/IFX 21 Boramae. Beberapa persyaratan harus dipenuhi Indonesia, salah satunya dengan pembelian minimal 100 unit pesawat tempur Dassault Rafale," demikian narasi penelitian dari sebuah jurnal terbitan UMY berjudul "MOTIVASI INDONESIA DALAM PENGADAAN ALUTSISTA ERA PEMERINTAHAN PRESIDEN JOKO WIDODO (STUDI KASUS: PEMBELIAN PESAWAT TEMPUR DASSAULT RAFALE DARI PERANCIS TAHUN 2022)" yang dipublikasikan pada Januari 2024.***

Halaman:
Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Opsi lain

Arenanews

Berbagi Informasi

Media Informasi

Opsiinfo9

Post Bottom Ad

Pages