Empat Pulau “Digeser” ke Sumut, Permahi: Jangan Bangunkan Singa yang Tidur - The Aceh Post - Opsiin

Informasi Pilihanku

powered by Surfing Waves
demo-image

Empat Pulau “Digeser” ke Sumut, Permahi: Jangan Bangunkan Singa yang Tidur - The Aceh Post

Share This
Responsive Ads Here

 

Empat Pulau “Digeser” ke Sumut, Permahi: Jangan Bangunkan Singa yang Tidur

wp-img-20250614-wa0004-images-600x315.jpg

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Aroma pengkhianatan terhadap perdamaian tercium dari keputusan pemerintah pusat yang diduga mengalihkan empat pulau dari wilayah Aceh ke Sumatera Utara. Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Aceh mengecam keras langkah tersebut, yang dinilai melanggar ketentuan hukum dan semangat otonomi khusus Aceh.

Keempat pulau yang dimaksud—Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan—selama ini berada dalam wilayah administratif Aceh. Namun, melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, wilayah tersebut diklaim masuk ke Sumatera Utara tanpa melalui proses perundingan.

Twibify.com

“Ini pengkhianatan terhadap perdamaian. Pemerintah pusat gagal menunjukkan keadilan dalam mengelola wilayah negara,” tegas Rifqi Maulana, perwakilan Permahi Aceh, Sabtu (14/6/2025).

Menurut Rifqi, dasar hukum yang mengatur batas wilayah Aceh sudah sangat jelas, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Aceh, yang berlaku sejak 1 Juli 1956. Dalam aturan tersebut, batas wilayah Aceh telah ditetapkan dan tidak dapat diubah hanya dengan keputusan menteri.

“Pasal 114 menyatakan bahwa batas wilayah provinsi mengikuti ketentuan yang berlaku per 1 Juli 1956. Keputusan menteri yang bertentangan dengan UU otomatis cacat hukum dan batal demi hukum,” ujarnya.

Rifqi juga menjelaskan bahwa secara administratif, historis, dan faktual, keempat pulau tersebut telah dikelola oleh Pemerintah Aceh, bahkan pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut menggunakan anggaran APBD Aceh sejak 2007.

“Kepmen ini jelas melanggar ketentuan konstitusional. Bukan hanya bertentangan dengan UU 24/1956, tetapi juga merusak semangat otonomi khusus Aceh dan berpotensi mengganggu stabilitas perdamaian yang dibangun atas dasar kepercayaan,” lanjutnya.

Permahi Aceh menolak dalih teknis seperti peta topografi versi militer atau penyesuaian administratif sebagai dasar pemindahan wilayah. Menurut mereka, ketika undang-undang sudah mengatur secara eksplisit, segala bentuk argumentasi teknokratik tidak bisa dijadikan pembenaran.

“Ketika undang-undang telah bicara, semua dalih teknis hanyalah upaya membenarkan pelanggaran,” tegas Rifqi.

Bagi masyarakat Aceh, tambahnya, tanah bukan hanya aset, tetapi bagian dari identitas yang lahir dari sejarah panjang perjuangan dan konflik. Setiap jengkal wilayah mengandung nilai simbolik yang tinggi. Maka, pemindahan wilayah secara sepihak bukan hanya soal peta, tetapi menyangkut harga diri.

“Kami tidak bicara atas dasar emosi semata. Ini soal sejarah yang telah berurat-akar, dan soal kesepakatan damai yang menjadi fondasi perdamaian Aceh. Jangan main-main dengan itu,” pungkas Rifqi.

Baca berita lainnya di Google News dan saluran WhatsApp.

Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Opsi lain

Arenanews

Berbagi Informasi

Media Informasi

Opsiinfo9

Post Bottom Ad

Pages