Skip to main content

Ad Code

728
728

Femisida yang Tak Kunjung Reda, Tuntut Aksi Konkret Negara - Tirto

 

Femisida yang Tak Kunjung Reda, Tuntut Aksi Konkret Negara

tirto.id - Peringatan pemicu: artikel ini mengandung deskripsi soal femisida, yang bisa mengganggu kenyamanan Anda.

Perempuan seperti hidup dalam bayang-bayang kekerasan. Sudahlah tak punya ruang aman di mana-mana, perempuan bahkan bisa dibunuh hanya karena mereka perempuan. Kasus semacam ini disebut dengan femisida. Celakanya, praktik femisida masih terus terekam di Indonesia.

Pada medio Juni 2025, kasus mutilasi terhadap perempuan berusia 25 tahun terjadi di Padang Pariaman, Sumatra Barat. Hasil penyelidikan kepolisian menunjukkan kalau motif tersangka membunuh korban karena adanya persoalan utang.

Tapi, manusia berakal mana yang lebih memilih untuk menghilangkan nyawa perempuan ketimbang mencari solusi penyelesaian utang lain? Pelaku jelas punya pandangan misoginis dan menganggap kedudukan perempuan lebih rendah.

Apalagi, berdasar laporan BBC Indonesia, pelaku juga tak hanya sekali membunuh perempuan secara sadis. Pelaku yang merupakan pria 25 tahun bernama Satria Juhanda, diketahui pernah membunuh pacarnya dan seorang perempuan lain pada awal 2024.

Alasannya, sesedehana pelaku dibakar api cemburu. Dia kemudian melampiaskannya dengan membunuh sang kekasih. Sementara perempuan lain yang dibunuh, dituduh ikut mendukung kedekatan sang pacar dengan laki-laki lain saat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Tak hanya di Sumbar, kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap perempuan juga terjadi di Jawa Timur. Pada akhir Januari 2025, warga menemukan tubuh korban di dalam koper berwarna merah di Kabupaten Ngawi.

Mengutip Antara, pelaku berinisial RTH (32) adalah teman dekat atau kekasih korban. Dengan alasan serupa seperti kasus sebelumnya, pelaku disebut cemburu dan sakit hati atas kata-kata korban sehingga nekat membunuh dan memutilasi korban.

Sementara di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, terungkap pula peristiwa femisida yang dilakukan seorang suami berinisial EA (31) terhadap istrinya A (35). Femisida tersebut dilakukan secara terencana yang berawal dari cekcok suami-istri, yang berujung satu nyawa hilang.

Tak cukup membunuh, pelaku juga memasukan jasad istri ke dalam drum, sebelum menguburnya di tanah dan menuntaskannya dengan cor-coran semen di atasnya.

Kasus femisida, seperti halnya kekerasan-kekerasan lain, ibarat fenomena gunung es. Kasusnya yang banyak terjadi di lapangan, tapi hanya sedikit yang terungkap. Hasil pemantauan Komnas Perempuan yang dilakukan melalui pemberitaan media daring selama periode 1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024, menemukan 290 kasus dengan indikasi femisida. Pantauan ini dilakukan dengan menyaring 33.225 berita.

Angka itu lebih tinggi dibanding pantauan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 159 kasus pada 2023. Namun begitu, kasus indikasi femisida pada 2022 sempat menyentuh 307 kasus. Lalu pada 2021 kasus femisida terpantau 237 kasus, dan pada 2020 terpantau 95 kasus.

Dengan kecenderungan bertambahnya kasus femisida ini tentu menyalakan alarm dan mendesak adanya perhatian dari semua pihak. Terlebih, kejadian femisida nyatanya juga menjadi isu global. Laporan dari Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dan UN Women, menunjukkan bahwa femisida meningkat di seluruh dunia.

Femisida, yang dalam Bahasa Inggris disebut sebagai “femicide” atau “feminicide”, merupakan bentuk kekerasan paling brutal dan ekstrim terhadap perempuan dan anak perempuan. Kekerasan ini didefinisikan sebagai pembunuhan yang disengaja dengan motivasi terkait gender.

Berbeda dengan pembunuhan biasa, femisida didorong oleh diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, hubungan kekuasaan yang tidak setara, stereotip gender, atau norma sosial yang merugikan.

“Pada tahun 2023, sekitar 51.100 perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia dibunuh oleh pasangan intim mereka atau anggota keluarga lainnya (termasuk ayah, ibu, paman, dan saudara laki-laki). Ini berarti bahwa, rata-rata, 140 perempuan atau anak perempuan dibunuh setiap hari oleh seseorang dalam keluarga mereka sendiri,” tulis UN Women dalam laman resminya, Senin (25/11/2024).

Pola Pikir Bias Gender dan Patriarkis Jadi Akar

Program Director Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist), Anindya Nastiti Restuviani, mengatakan kalau femisida berakar dari pola pikir bias gender yang sering kali menganggap perempuan lesser atau kurang.

Kemungkinan lainnya juga adanya mindset patriarki yang mendominasi kontrol pada tubuh dan ruang untuk perempuan. Ketika pemikiran ini langgeng dan tidak diluruskan, timbullah kekerasan yang bisa jadi awal mulanya sebatas verbal atau pelecehan. Karena pembiaran, maka kemudian dapat tereskalasi menjadi kekerasan yang lebih parah, hingga puncaknya femisida.

Kita dapat melihat fenomena femisida ini menggunakan piramida kekerasan seksual, di mana femisida menjadi puncak dari piramida tersebut,” tegas Vivi kepada Tirto, Jumat (27/6/2025).

Riset Jakarta Feminist tahun 2024, yang menghitung kasus femisida sepanjang 2023, menemukan adanya eskalasi bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pelaku.

Sebagai contoh, dalam femisida pasangan intim seperti suami atau pacar, pelaku sudah melakukan kekerasan fisik maupun mental sebelumnya. Contoh lain femisida orang tidak dikenal, pelaku biasanya juga sudah pernah melakukan kekerasan seksual lainnya.

Oleh karenanya, kata Vivi, femisida seringkali diikuti oleh kekerasan seksual baik yang terjadi sebelum, saat, atau sesudah pembunuhan terjadi.

“Lebih parahnya lagi, mindset ketidakberhargaan perempuan ini juga terlihat dari bagaimana jenazah korban diperlakukan. Lebih dari 30 persen jenazah korban ditinggalkan begitu saja dalam kondisi yang mengenaskan,” tuturnya.

Penting dicatat, femisida bukan hanya melibatkan satu korban. Vivi menjelaskan kalau korban femisida tidak hanya perempuan yang kehilangan nyawanya, tapi ada anak dan keluarga mereka yang ditinggalkan, yang mengalami trauma cukup mendalam. Hal itu bisa disebut sebagai extended/secondary victim.

“Dalam pelaporan media juga kita melihat bahwa kerahasiaan atau privasi korban dan keluarga ini sering kali tidak terjamin, mereka perlu perlindungan juga. Sayangnya, sebetulnya jika memang penegak hukum mau menggunakan UU TPKS dengan benar, maka hak korban termasuk restitusi untuk keluarga ini bisa terjamin,” terang Vivi.

Merujuk pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS, restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan. Putusan ini berkekuatan hukum tetap. Perhitungannya atas kerugian materiil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.

Seolah bagus di atas kertas, secara implementasi UU TPKS tidak banyak dilakukan dengan baik. Menurut Vivi, bahkan di seluruh kasus femisida yang ditemukan oleh Jakarta Feminist pada 2023, tidak ada kasus yang diadili menggunakan UU TPKS, walaupun ada kekerasan seksual terjadi di dalamnya.

Selain persoalan implementasi UU TPKS, Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, juga menyoroti soal belum adanya hukum tindak pidana terkhusus kasus femisida. Padahal femisida merupakan kasus dengan konteks pidana yang sedikit berbeda.

Begitu pula aparat penegak hukum (APH) juga disebut Mike belum cukup memiliki perspektif terhadap motif-motif pembunuhan atau kekerasan berbasis gender. Dengan demikian, dalam banyak kasus, APH justru menyalahkan perempuan yang menjadi korban.

“Aparat penegak hukum yang juga harusnya memberikan kepastian hukum atau keadilan terhadap korban femisida. Ini tidak pernah dikuatkan, (jadi) ini akan terus-menerus terjadi. Karena tidak ada sebuah proses hukum yang betul-betul bisa menunjukkan bahwa femisida itu nggak boleh,” tegas Mike kepada Tirto, Jumat (27/6/2025).

Negara Harus Ambil Langkah Konkret

Kunci dari mencapai keadilan dalam penyelesaian kasus femisida adalah negara tidak boleh abai dan harus bisa memberikan pandangan kalau femisida merupakan kasus faktual.

Sebagai upaya mencapainya, Mike bilang, negara bisa memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang kerentanan perempuan dan kelompok rentan lainnya terhadap kekerasan dan femisida.

“Nah ini memang harus dibantu ya. Harus dibantu dengan sosialisasi yang kuat, pendidikan kesadaran terhadap penghormatan martabat manusia, termasuk bagaimana melihat femisida ini sebagai sebuah ancaman yang yang tidak boleh dinetralkan,” tutur Mike dari Koalisi Perempuan Indonesia.

Jadi, negara harus menekankan kepada masyarakat bahwa femisida membahayakan perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas tertentu –mereka yang bisa jadi karena pekerjaannya atau konteks sosialnya ditolak oleh cara pandang patriarki.

Penyelesaian yang tidak adil terhadap kasus femisida disebut Mike berakibat pada rasa tidak nyaman atau tidak aman bagi masyarakat luas. Hal ini tentu merupakan sebuah “penundukan” secara luas.

“Saya melihat ini (sebagai) penundukan bagi perempuan gitu ya. Jadi perempuan enggak boleh macam-macam, perempuan enggak boleh cantik, perempuan enggak boleh punya bentuk badan tertentu, misalnya. Atau perempuan enggak boleh aktif, perempuan enggak boleh mengaktualisasi diri. Karena ini tadi, ancaman pembunuhan baik di dalam rumah maupun di luar,” tegas Mike.

Maka, sekali lagi, negara harus melihat femisida sebagai kasus yang jelas dan ini bukan sebuah kejadian satu dua kali, tetapi ini sudah menjadi sebuah fenomena yang terus menerus muncul. Negara mesti mengambil tindakan yang konkret, seperti misal melakukan penguatan kapasitas bagi APH, supaya mereka mampu melihat ini sebagai femisida, bukan kejahatan biasa.

Ilustrasi Femisida

Ilustrasi Femisida. foto/IStokcphoto

Sementara Vivi dari Jakarta Feminist juga mendorong pemerintah untuk melakukan pengakuan secara hukum terminologi femisida, melakukan pendataan yang mumpuni, dan mengimplementasikan danger assessment tools bagi laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Bagaimana pemerintah bisa menghentikan femisida jika pemerintah aja gak mau mendata dengan benar? Sampai sekarang kan pemerintah belum memiliki data resmi terkait femisida. Dalam dokumen putusan pengadilan terkait pembunuhan pun tidak ada segregasi gender pada data korban pembunuhan, terminologi femisida pun belum diakui secara hukum. Jadi sulit untuk dapat menganalisis penyebab dan melakukan pencegahan yang tepat,” tutup Vivi.


tirto.id - News

Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto

Posting Komentar

0 Komentar

728