Hasto Kristiyanto Ungkap Alasan Pernah Tolak Jabatan Menteri Sekretaris Negara dan Menkominfo - Halaman all - Tribunnews


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan suap dan peringatan penyidikan Hasto Kristiyanto angkat bicara soal keterangan saksi Cecep Hidayat yang menyebut dirinya pernah menolak jabatan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) 2014 dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) 2019.
Hasto Kristiyanto menyebut pelembagaan partai menghasilkan pemimpin-pemimpin yang baik jauh lebih penting.
Sebagai informasi Cecep Hidayat merupakan teman kuliah S3 Hasto Kristiyanto di Universitas Pertahanan. Dia dihadirkan sebagai saksi meringankan di persidangan hari ini.
Baca juga: Teman Kuliah Hasto Kristiyanto Dihadirkan Jadi Saksi Meringankan di Persidangan
"Artinya kalau kita melihat bagaimana partai menjalankan fungsi kaderisasi kepemimpinan. Bayangkan setiap 5 tahun kami menghasilkan 19.000 calon anggota legislatif, kami menghasilkan 2 kali calon kepala daerah di 514 daerah, kami menghasilkan pemimpin-pemimpin di seluruh tingkatan sampai ke akar rumput," kata Hasto Kristiyanto kepada awak media di PN Tipikor Jakarta, Jumat (20/6/2025).
Lanjut Hasto Kristiyanto sekiranya proses menyiapkan pemimpin dapat dilakukan dengan baik secara terlembaga, secara sistemik termasuk melalui psikotes.
"Maka ini akan menghasilkan suatu kontribusi bagi bangsa di dalam melahirkan pemimpin yang baik," jelasnya.
Ia melanjutkan pihaknya telah bekerja sama dengan ahli psikologi.
"Kemudian saya pernah bertanya apakah mungkin seseorang yang punya kecenderungan untuk menyalahgunakan hukum untuk melakukan korupsi, itu bisa dilakukan pendekatan dengan psikotes," kata Hasto Kristiyanto.
"Ternyata belum memungkinkan, satu pendekatan yang memungkinkan adalah untuk mengukur integritasnya," imbuhnya.
Atas hal itu, Hasto Kristiyanto menyampaikan pihaknya melakukan psikotes dimana integritas itu menjadi salah satu dimensi yang diukur di luar aspek kepemimpinan, kemampuan menyelesaikan masalah dan kemampuan membangun organisasi.
Baca juga: Ahli Bahasa UI Sebut Hasil Analisa Kasus Hasto Kristiyanto Hanya Berdasarkan Ilustrasi Penyidik KPK
"Sehingga pelembagaan itu jauh lebih penting karena kami punya tekad untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin yang baik di tengah liberalisasi politik yang sangat mengedepankan urusan kapital," tandasnya.
Seperti diketahui Sekjen PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.
Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jum'at (14/3/2025).
"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu," kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.
Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaannya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Baca juga: Di Sidang Hasto Kristiyanto, Ahli Bahasa UI Ditanya Jaksa soal Percakapan di WhatsApp
Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
"Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme," ucap Jaksa.
Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.
Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.
Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.
Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).
Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.
"Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa," ujar Jaksa.
Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.
Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.
Baca juga: Hasto Kristiyanto Sebut Kesaksian Saeful Bahri di Persidangan ‘Akrobat Hukum’
Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.
"Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," sebutnya.
Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.
Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.
Dimana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.
Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
0 Komentar