Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home F-22 F-35 Featured Rafale

    Indonesia Akan Beli Rafale Tambahan, Rafale Diklaim Lebih Unggul dari Pesawat Tempur F-22 dan F-35 AS dalam Hal Ini - Zona Jakarta

    5 min read

     

    Indonesia Akan Beli Rafale Tambahan, Rafale Diklaim Lebih Unggul dari Pesawat Tempur F-22 dan F-35 AS dalam Hal Ini - Zona Jakarta

    Keunggulan Rafale yang juga dibeli Indonesia dibanding F-22 dan F-35. (Dassault Aviation)
    Keunggulan Rafale yang juga dibeli Indonesia dibanding F-22 dan F-35. (Dassault Aviation)

    ZONAJAKARTA.COM - Indonesia disebut mempunyai rencana untuk membeli Rafale tambahan.

    Ternyata jet tempur Prancis itu punya keunggulan dibandingan F-22 dan F-35 buatan Amerika Serikat (AS).

    Indonesia sebenarnya sudah mengakuisisi 42 unit Rafale pada 2022.

    Pengadaan 42 unit Rafale itu senilai 8,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 133,7 trilin.

    Enam pesawat Rafale pertama akan dikirim Prancis ke Indonesia pada 2026.

    Setelah mengakuisisi jumlah tersebut, Indonesia berencana untuk membeli Rafale tambahan.

    Prancis dan Indonesia mengadakan pertemuan bilateral di Istana Merdeka, Jakarta pada 28 Mei 2025.

    Baca Juga:

    Dalam pertemuan itu terjadi penandatanganan Letter of Intent (LoI).

    Penandatanganan tersebut membuka peluang Indonesia untuk menambah Rafale, kapal selam Scorpen, dan beberapa fregat ringan dari Prancis.

    Selain ketiga alat pertahanan di atas, Indonesia juga berpotensi membeli system artileri CAESAR untuk kebutuhan TNI Angkatan Darat.

    Emmanuel Macron mengaku senang dengan penandatanganan LoI.

    "Saya senang, penandatanganan Letter of Intent hari ini membuka peluang baru untuk memperkuat hubungan pertahanan kita, termasuk pesanan baru untuk Rafale, Scorpene, dan fregat ringan," kata Emmanuel Macron dalam temu pers di Jakarta, Rabu (28/5/2025).

    Baca Juga:

    Keunggulan Rafale yang juga dibeli Indonesia dibanding F-22 dan F-35. (Dassault Aviation)

    Menteri 

    Angkatan Bersenjata Prancis, Sebastien Lecornu dalam akun X-nya pada 28 Mei 2025, mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Indonesia untuk mengakuisisi Rafale tambahan dari Prancis.

    "Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada mitra kami dari Indonesia atas kepercayaan ini," tulis Lecornu.

    "Hal ini menunjukkan keunggulan peralatan Prancis dan komitmen kami untuk membangun kemitraan yang langgeng yang menguntungkan industri pertahanan local," ujarnya.

    Isu Rafale juga menjadi perhatian media lokal Prancis, apalagi setelah klaim Pakistan menembak tiga Rafale India dengan J-10 dalam Operasi Sindoor pada awal Mei 2025.

    Media Open News menilai ada kampanye disinformasi oleh pro-China dan pro-Pakistan dalam beberapa waktu terakhir.

    Baca Juga:

    Karena itu, mereka mengulas dan menyoroti keunggulan Rafale.

    Salah satu keunggulan Rafale ialah fleksibilitas dibandung dengan pesawat khusus Amerika.

    Pada pidato 9 April 2025, CEO Dassault Aviation (produsen Rafale), Eric Trappier menjelaskan bahwa Rafale dikagumi saat ini karena keberhasilannya, tetapi juga karena pesawat ini dapat melakukan hampir semua hal, sementara yang lain—terutama Amerika—memproduksi pesawat khusus, dilansir dari Opex News dalam artikel "Rafale: French excellence that dominates the skies" yang dimuat pada 8 Mei 2025.

    Lebih lanjut dijelaskan, ia mengutip contoh F-22 yang bertanggung jawab atas pertahanan Udara.

    F-22 dinilai jauh lebih mahal dari Rafale serta unit yang terbatas.

    "Pesawat ini sangat besar dan harganya enam kali lebih mahal daripada Rafale, diproduksi dalam jumlah yang sangat sedikit, dan tidak diekspor," ujar Trappier.

    Baca Juga:

    Kemudian menurut Trappier, soal F-35 sebagai pesawat udara-ke-darat multiperan dengan biaya lebih rendah, pada akhirnya akan lebih mahal dari Rafale.

    Halaman:
    Keunggulan Rafale yang juga dibeli Indonesia dibanding F-22 dan F-35. (Dassault Aviation)

    Kemudian, menurut eksekutif Dassault, F-35 yang didanai beberapa Eropa, beberapa di antaranya terlibat dalam Eurofigter adalah hal yang paradoks.

    Baginya, menjalankan misi superioritas udara dan kemudian beralih ke serangan darat tanpa mengganti pesawat tetap menjadi keuntungan taktis dan finansial yang besar.

     ***

    Komentar
    Additional JS