Skip to main content
728

Iran Tak akan Mundur, tapi Siapa yang Terseret ke Jurang? | Sindonews

 Dunia Internasional,Konflik Timur Tengah,

Iran Tak akan Mundur, tapi Siapa yang Terseret ke Jurang? | Halaman Lengkap

Eko Ernada. Foto/Istimewa

Eko Ernada
Dosen dan Peneliti Kajian Timur Tengah Universitas Jember

SATU lagi rudal jatuh di Tel Aviv. Di selatan Lebanon, Hizbullah mulai menggeliat. Kapal induk Amerika telah tiba di Mediterania. Dan dunia—untuk kesekian kalinya—kembali berada di ujung krisis Timur Tengah yang tak kunjung reda. Tapi kali ini terasa berbeda. Iran tidak lagi berlindung di balik proksi. Mereka maju sendiri, menyerang langsung, dan menantang terbuka. Jika ini bukan pertanda perang regional yang lebih luas, lalu apa?

Konflik bersenjata yang pecah kembali antara Iran dan Israel sejak Juni 2025 bukan hanya soal serangan balasan. Ini adalah klimaks dari ketegangan panjang yang selama puluhan tahun disimpan dalam bentuk serangan bayangan, sabotase diam-diam, dan ancaman bersayap. Namun, setelah fasilitas nuklir Iran dihantam dan komandan elite mereka dibunuh oleh serangan Israel, Tehran memutuskan untuk tidak lagi bermain di balik layar. Ratusan rudal, drone jarak jauh, dan peluru kendali diluncurkan langsung ke jantung Israel. Dunia terkejut. Tapi bagi Iran, inilah waktunya menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar “pengganggu” kawasan—mereka adalah kekuatan yang harus dihitung.

Langkah ini bukan tanpa risiko. Militer Israel dikenal sebagai salah satu yang paling canggih di dunia, dan responsnya datang secepat yang diperkirakan. Serangan udara menghantam depot senjata, markas komando, bahkan instalasi strategis di dalam wilayah Iran. Tapi Iran tetap berdiri. Serangan dibalas, komunikasi propaganda terus berjalan, dan pemimpin tertingginya menyatakan: Iran tidak akan mundur, berapa pun harganya.

Baca Juga: Prabowo soal Perang Iran vs Israel: Kita Ingin Semua Turunkan Suhu

Tentu, ini bukan hanya soal Iran dan Israel. Saat peralatan militer dari Amerika Serikat dan Jerman tiba bertubi-tubi di bandara-bandara Israel, sinyal yang dikirim jelas: jika perang ini berkembang, barat akan berada di belakang Tel Aviv. Kapal induk USS Gerald R. Ford kini bersiaga di Laut Tengah, sementara jet-jet tempur AS dikirim ke pangkalan di Qatar dan Bahrain. Intervensi langsung mungkin belum terjadi, tetapi posisinya telah disiapkan.

Dan seperti dominonya, negara-negara lain mulai terdorong masuk ke pusaran. Hizbullah di Lebanon tak tinggal diam, sementara milisi Syiah di Irak mulai menyatakan kesiapan. Houthi di Yaman mengancam jalur pelayaran Laut Merah. Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain tampak gelisah. Mereka tidak ingin perang ini mengganggu infrastruktur energi mereka, namun mereka juga tahu bahwa menutup mata terlalu lama bisa memancing serangan tak terduga.

Di luar kawasan, Rusia dan China mengamati dengan cermat. Tak hanya sebagai penonton, tetapi sebagai aktor global yang siap memanfaatkan disorientasi Barat. Bahkan Turki dan Mesir, yang selama ini menjaga keseimbangan, mulai bersuara lebih keras, khawatir bahwa perang ini akan menjebol batas-batas lama.

Iran tampaknya memahami permainannya: bukan untuk menang secara militer, tetapi untuk tidak kalah secara politik. Mereka tahu bahwa bertahan dalam badai—tanpa runtuh—sudah cukup untuk mengirimkan pesan. Sebaliknya, Israel tahu waktu bukan berpihak padanya. Semakin lama perang berlangsung, semakin besar tekanan internasional, semakin tinggi risiko kehilangan kendali.

Baca Juga: Iran Tembakkan Rudal Sejjil ke Israel: Gerbang Neraka Akan Terbuka untuk Zionis!

Amerika Serikat pun tidak berada di posisi nyaman. Di satu sisi, mereka harus menunjukkan komitmen penuh pada sekutunya. Tapi di sisi lain, mereka tahu bahwa satu langkah terlalu jauh bisa menyeret mereka ke dalam perang kawasan yang memakan biaya dan menguras legitimasi. Inilah titik di mana semua pihak tahu apa yang dipertaruhkan, tetapi tidak tahu bagaimana cara berhenti.

Jika eskalasi berlanjut, ada setidaknya tiga kemungkinan skenario. Pertama, perang penuh di mana semua proksi Iran ikut terlibat, dan AS turun tangan secara langsung. Ini akan menjadi perang Timur Tengah berskala besar pertama sejak invasi Irak 2003, dan bisa mengguncang pasar minyak, stabilitas regional, bahkan aliansi global. Kedua, konflik tetap terlokalisasi antara Iran dan Israel, tetapi dengan intensitas tinggi. Ini membuat kawasan dalam ketegangan permanen, dengan risiko penyebaran mendadak ke negara-negara tetangga. Ketiga, gencatan senjata rapuh dipaksakan lewat tekanan diplomatik. Tapi ini hanya akan menjadi jeda, bukan solusi—sebuah waktu istirahat sebelum krisis berikutnya.

Apa pun skenario yang terjadi, satu hal kini tampak jelas: kekuatan militer saja tak cukup untuk memenangkan perang semacam ini. Ini adalah perang ketahanan, perang legitimasi, perang persepsi. Dan dalam arena semacam ini, pihak yang paling keras bukan selalu pihak yang menang. Bisa jadi, yang menang adalah yang mampu bertahan lebih lama, meski babak belur, dan masih punya cukup kekuatan untuk berdiri saat yang lain mulai limbung.

Iran mungkin tidak akan menang dalam pengertian konvensional. Tapi mereka tahu betul: jika mereka tidak tumbang, dan lawan mereka mulai kehilangan arah, maka itu sudah cukup untuk mengklaim kemenangan. Dan jika dunia tidak segera mendorong jalan keluar diplomatik yang nyata, maka satu demi satu negara akan terseret—bukan karena mereka menginginkannya, tetapi karena logika konflik tak pernah mengenal batas.

(zik)

Posting Komentar

0 Komentar

728