Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Berita Featured

    Setelah Efisiensi, Defisit Anggaran Malah Membesar | tempo

    7 min read

     

    Setelah Efisiensi, Defisit Anggaran Malah Membesar | Tempo

    BESAR pasak daripada tiang. Tak ada pepatah yang pas menggambarkan pengelolaan anggaran Indonesia di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani saat ini. Belanja besar, utang besar, tapi pemasukan serba sedikit. Pemasukan tetap pun kini berpindah pembukuannya.

    Akibatnya, seperti disampaikan Sri Mulyani Indrawati kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada 1 Juli 2025, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 diperkirakan Rp 662 triliun atau setara dengan 2,78 persen dari produk domestik bruto (PDB).

    Angka itu melebar dari target awal pemerintah untuk menjaga defisit APBN sebesar Rp 616 triliun atau 2,53 persen dari PDB sebagaimana tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2025.

    Menurut Sri Mulyani, penambahan defisit ini akibat perlambatan penerimaan negara pada kuartal pertama 2025. "Kami cukup mendapatkan tekanan dari sisi pendapatan negara karena beberapa hal, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) yang tidak jadi dipungut dan dividen badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak dibayarkan karena sekarang dipegang Danantara,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Selasa, 1 Juli 2025.

    Penerimaan pajak tahun ini diperkirakan hanya Rp 2.076,9 triliun. Angka ini lebih rendah Rp 112,4 triliun dibanding target pada APBN sebesar Rp 2.189,3 triliun.

    Penerimaan kepabeanan dan cukai diproyeksikan naik dari target APBN sebesar Rp 301,6 triliun menjadi Rp 310,4 triliun. Namun penerimaan perpajakan 2025 tetap diproyeksikan turun Rp 103,6 triliun, dari Rp 2.490,9 triliun menjadi Rp 2.387,3 triliun.

    Karena itu, meski terjadi efisiensi atau pemangkasan anggaran lebih dari Rp 300 triliun di banyak kementerian dan lembaga negara, penerimaan negara yang berkurang membuat defisit tetap besar.

    Sri Mulyani berdalih penurunan penerimaan negara dipicu berbagai faktor, seperti melemahnya harga minyak mentah Indonesia (ICP), pengalihan dividen BUMN ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Ditambah penerapan PPN secara terbatas atas barang mewah.

    https://images-tm.tempo.co/all/2025/07/03/890326/890326_1200.jpg

    Di sisi belanja, kendati ada program efisiensi, belanja pemerintah pusat justru naik karena program-program pemerintah yang membutuhkan anggaran besar seperti makan bergizi gratis, sekolah rakyat, serta penguatan ketahanan pangan. Hingga akhir tahun, belanja negara diperkirakan sebesar Rp 3.527 triliun. Angka ini terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp 2.663 triliun dan transfer ke daerah Rp 864,1 triliun.

    Untuk membiayai defisit APBN, Sri Mulyani meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggunakan sisa lebih pembiayaan anggaran (SAL) sebanyak Rp 85,6 triliun. Meski demikian, kenaikan defisit anggaran tetap akan ditutup sebagian besar dengan penerbitan surat utang negara, baik dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) domestik maupun global.

    Tanpa protes berarti, Badan Anggaran DPR menyetujui penggunaan SAL untuk mengurangi surat utang membiayai APBN ke depan. Wakil Ketua Badan Anggaran Wihadi Wiyanto mengatakan keputusan tersebut mengacu pada rapat Panja Perumus Kesimpulan Realisasi Semester I dan Prognosis Semester II Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2025.

    Politikus Partai Gerindra itu menyatakan bahwa penggunaan SAL tidak menjadi masalah selama digunakan untuk menekan defisit, terutama di tengah gejolak pasar global saat ini. Apalagi, penerbitan utang tidak bisa terus diperbesar. Meski begitu, ia menekankan pentingnya menggenjot penerimaan negara agar tercukupinya APBN 2025 di sisa waktu yang ada.

    https://images-tm.tempo.co/all/2025/07/03/890332/890332_1200.jpg

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) bersama Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu (kanan) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 3 Juli 2025. TEMPO/Amston Probel

    Sebelumnya, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memproyeksikan defisit anggaran Indonesia akan meningkat dari 2,3 persen menjadi 2,8 persen terhadap PDB pada 2025. Dalam economic outlook edisi Juni 2025, OECD menyebutkan program makan bergizi gratis, hilangnya potensi pendapatan akibat diskon tarif listrik, dan pembentukan Danantara akan memberikan tekanan tambahan terhadap anggaran sekitar 1,6 persen dari PDB.

    Menurut OECD, tekanan tersebut akan dikompensasi oleh pemotongan belanja secara menyeluruh sekitar 1,3 persen dari PDB. Sehingga defisit anggaran tetap berada di bawah batas maksimal 3 persen dari PDB sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.

    Meskipun defisit anggaran diperkirakan meningkat, OECD menilai kebijakan fiskal Indonesia pada 2025 tetap akan bersifat netral. Sebab, hanya sebagian dana yang dialokasikan ke Danantara yang akan benar-benar dibelanjakan pada tahun tersebut.

    Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menjelaskan, menaikkan defisit APBN merupakan langkah countercyclical pemerintah untuk melindungi daya beli masyarakat. Kebijakan ini dirancang agar perekonomian domestik lebih tahan terhadap tekanan eksternal, seperti volatilitas pasar keuangan, risiko stagflasi, dan ketegangan geopolitik yang makin kompleks.

    Namun Josua mengingatkan bahwa penambahan defisit bukan tanpa risiko. “Defisit yang berkepanjangan berisiko menambah beban utang negara dan menimbulkan tekanan terhadap keberlanjutan fiskal, terutama jika pemulihan penerimaan pajak tidak berjalan optimal,” ujar Josua kepada Tempo, Selasa, 3 Juli 2025.

    Josua menjelaskan bahwa penambahan defisit bisa mempengaruhi persepsi investor terhadap risiko fiskal Indonesia, khususnya di tengah tren suku bunga global yang tinggi dan potensi keluarnya aliran modal asing. Apabila pelebaran defisit tidak diimbangi dengan perbaikan efektivitas dan efisiensi belanja negara, risiko persepsi sovereign risk di mata investor akan makin besar. 

    Karena itu, ia menekankan pentingnya pemerintah menjaga kredibilitas fiskal dengan kebijakan yang hati-hati, fleksibel, dan terukur agar utang tetap dikelola dalam batas aman.

    Ia juga menilai ruang fiskal pemerintah makin terbatas karena defisit mendekati ambang maksimal 3 persen PDB sebagaimana diatur undang-undang. Sementara itu, komposisi pembiayaan yang mengandalkan penerbitan SBN dan penggunaan SAL relatif aman dalam jangka pendek, berkat kuatnya permintaan domestik serta arus masuk investor asing.

    https://images-tm.tempo.co/all/2025/07/03/890333/890333_1200.jpg

    Wajib pajak di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta, 3 Juli 2025. ANTARA/Dhemas Reviyanto

    Ekonom Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, memperingatkan bahwa penambahan defisit APBN 2025 akan berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan pembiayaan melalui utang. Dalam situasi ekonomi global yang tidak menentu, biaya penerbitan utang menjadi makin mahal karena investor menuntut imbal hasil yang lebih tinggi.

    Akibatnya, pembayaran bunga utang akan terus menggerus APBN, yang saat ini saja telah mengalokasikan sekitar 15 persen anggaran hanya untuk bunga utang. “Tidak ada ruang fiskal yang cukup untuk program pembangunan nasional,” ujar Nailul kepada Tempo, Kamis, 3 Juli 2025.

    Nailul menyebutkan, saat ini pembayaran utang mencapai Rp 450-500 triliun, lebih besar dibanding alokasi untuk program sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan masyarakat. Situasi ini membuat ruang fiskal untuk pembangunan ekonomi makin sempit dan mendorong ketergantungan pada utang baru untuk membayar utang lama. Walhasil, kemampuan pemerintah dalam mengelola kewajiban fiskal jangka panjang akan memburuk. 

    Ada juga penurunan minat investor terhadap SBN akibat margin imbal hasil yang makin tipis. Dengan suku bunga acuan Bank Indonesia 5,5 persen, obligasi jangka pendek pemerintah hanya menawarkan imbal hasil 6,5 persen, sedangkan obligasi jangka panjang 7 persen.

    Dalam kondisi seperti ini, investor akan cenderung memilih instrumen perbankan seperti deposito. Akibatnya, pemerintah terpaksa menaikkan tingkat bunga SBN untuk menarik pembeli. 

    Nailul menekankan bahwa solusi jangka panjang perlu difokuskan pada perbaikan kualitas penerimaan negara, terutama dari sektor perpajakan sebagai sumber utama. Namun ia menilai saat ini belum ada kebijakan yang efektif meningkatkan penerimaan tanpa menaikkan tarif. Padahal langkah tersebut tidak sejalan dengan kondisi ekonomi yang sedang melemah. 

    Komentar
    Additional JS