Komnas Perempuan: Kematian Ibu dan Bayi di Papua Usai Ditolak 4 RS adalah Bentuk Femisida - NU Online
Komnas Perempuan: Kematian Ibu dan Bayi di Papua Usai Ditolak 4 RS adalah Bentuk Femisida
NU Online · Kamis, 27 November 2025 | 20:45 WIB
Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor (kiri) dan Menteri PPPA Arifah Fauzi (kanan) usai Acara Kampanye 16 HAKTP di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, Jakarta, Kamis (27/11/2025). (NU Online/Rikhul Jannah)
Jakarta, NU Online
Ketua Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfah Anshor menyampaikan duka cita mendalam atas meninggalnya Irene Sokoy yang meninggal bersama bayi dalam kandungannya setelah ditolak oleh empat rumah sakit di Jayapura, Papua.
Maria menegaskan bahwa kasus itu tidak hanya dipandang sebagai kegagalan layanan kesehatan, tetapi sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling ekstrem, yang masuk dalam kategori femisida tidak langsung (indirect femicide).
”Kematian Irene Sokoy seharusnya dapat dicegah. Ini merupakan bentuk femisida tidak langsung sekaligus mencerminkan bagaimana pengabaian, diskriminasi, dan kegagalan sistemik layanan kesehatan yang berujung pada hilangnya nyawa perempuan,” ujarnya usai Acara Kampanye 16 HAKTP di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, Jakarta, Kamis (27/11/2025).
Baca Juga
Panitera Muda MA Nilai UU TPKS dan KUHP Baru Perkuat Perlindungan Korban Femisida
Ia menyebutkan bahwa layanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang harus dipenuhi tanpa diskriminasi.
”Tapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa pemenuhan hak ini masih jauh dari memadai. Bahkan angka kematian ibu (AKI) Indonesia masih menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara,” katanya.
Maria menyoroti persoalan yang terus berulang yaitu keterlambatan diagnosis dan keterlambatan rujukan ke fasilitas kesehatan yang memiliki layanan obstetri lengkap.
”Penyebab struktural ini bukan persoalan teknis semata, melainkan cerminan ketimpangan layanan, diskriminasi akses kesehatan dan sistem rujukan, serta lemahnya perlindungan negara terhadap keselamatan perempuan, terutama bagi perempuan yang sedang hamil,” ujarnya.
Baca Juga
KontraS Soroti Praktik Femisida yang Dilakukan Anggota TNI: Cerminan Kultur Militer dan Patriarki
Ia menegaskan perlu adanya pembenahan menyeluruh pada sistem layanan kesehatan, termasuk life saving fund, selain Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dapat diakses oleh perempuan dalam situasi krisis, khususnya pada layanan maternal dan neonatal perempuan dalam menjalani proses reproduksinya.
”Seharusnya ambil tindakan menyelamatkan ibu dan bayinya dahulu, baru mengurus administrasi termasuk biaya yang diminta rumah sakit, sampai empat rumah sakit loh, itu sangat menyakitkan sekali,” ucapnya.
Maria menegaskan, negara memiliki kewajiban untuk memastikan setiap fasilitas kesehatan memberikan layanan yang setara, responsif, dan berperspektif hak asasi manusia (HAM).
”Reformasi pelayanan material tidak dapat ditunda, dan harus mencakup penegakan standar tidak boleh ada penolakan layanan, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, penguatan sistem rujukan, serta mekanisme akuntabilitas yang memastikan tidak ada lagi perempuan yang kehilangan nyawanya akibat penolakan layanan yang seharusnya dapat menyelamatkan hidup mereka,” tegasnya.
Baca Juga
Akademisi: Ketiadaan Payung Hukum Femisida Tunjukkan Kelalaian Negara Lindungi Perempuan
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi menyampaikan bahwa hak perempuan mendapatkan pelayanan kesehatan tidak boleh dipersulit.
”Pastinya (kami) tidak menginginkan siapa pun, (termasuk) perempuan tidak kesulitan untuk mendapatkan haknya,” kata Arifah.