Asal-usul Stasiun Gawok Sukoharjo: Stasiun Bersejarah yang Sempat Mati Suri, Bangkit Setelah Ada KRL - Tribunsolo
Asal-usul Stasiun Gawok Sukoharjo: Stasiun Bersejarah yang Sempat Mati Suri, Bangkit Setelah Ada KRL - Tribunsolo.com
Ringkasan Berita:
- Stasiun Gawok di Gatak, Sukoharjo, merupakan stasiun kecil bersejarah sejak 1887 yang sempat “mati suri”, lalu kembali aktif sejak 10 Februari 2021 melayani KRL Commuter Line Yogyakarta–Palur.
- Meski berdampak positif, Stasiun Gawok juga mencatat insiden kecelakaan fatal, menjadi pengingat pentingnya keselamatan seiring meningkatnya mobilitas kereta.
TRIBUNSOLO.COM, SUKOHARJO - Tak banyak yang mengenal Gawok sebelum nama kawasan ini kembali mencuat bersama beroperasinya KRL Commuter Line Yogyakarta–Solo.
Gawok merupakan sebuah wilayah di Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, yang jaraknya hanya sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Solo.
Dari Stasiun Solo Balapan, jaraknya sekitar 11 kilometer, sedangkan dari Stasiun Purwosari hanya sekitar sembilan kilometer, ibarat “sepelemparan batu”.
Di kawasan inilah berdiri Stasiun Gawok (GW), sebuah stasiun kereta api kelas III atau stasiun kecil yang kini berada di bawah pengelolaan PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi VI Yogyakarta.
Stasiun ini terletak di Luwang, Gatak, Sukoharjo, pada ketinggian +118 meter di atas permukaan laut.
Lokasinya cukup strategis karena tidak jauh dari Pasar Gawok serta sentra industri rotan Trangsan yang dikenal secara nasional.
Jejak Sejarah Panjang Stasiun Gawok
Stasiun Gawok memiliki sejarah panjang sejak masa kolonial.
Stasiun ini pertama kali dibuka pada 16 Maret 1887, pada era pemerintahan Hindia Belanda.
Bangunan generasi awalnya berdiri di sisi timur rel dan berfungsi sebagai bagian penting jalur kereta di wilayah selatan Solo.
Memasuki masa kemerdekaan, pemerintah Indonesia kembali membangun Stasiun Gawok pada era 1950-an.
Namun seiring waktu, perannya terus meredup. Stasiun ini sempat direhabilitasi pada 2005–2006, tetapi tetap minim aktivitas dan kerap disebut sebagai stasiun “mati suri”.
Bangunan lama peninggalan DKA akhirnya dibongkar pada 2007 dalam proyek jalur ganda Kutoarjo–Yogyakarta–Purwosari.
Kini, bangunan utama stasiun berada di sisi barat rel dan hanya menyisakan fondasi bangunan lama sebagai saksi sejarah.

Perubahan Tata Letak dan Modernisasi
Saat ini Stasiun Gawok memiliki empat jalur kereta api.
Awalnya, jalur 1 merupakan sepur lurus.
Namun sejak pengoperasian jalur ganda Delanggu–Solo Balapan pada 8 Januari 2007, tata letak stasiun mengalami perubahan signifikan
Jalur 2 lama diubah menjadi jalur 3 sebagai sepur lurus arah Yogyakarta, sedangkan jalur 1 lama menjadi jalur 4 sebagai sepur lurus arah Solo.
Modernisasi berlanjut dengan pemasangan sistem persinyalan elektrik buatan PT Len Industri (Persero) pada 2013, yang resmi dioperasikan menggantikan sistem mekanik pada Desember 2015.
Perubahan ini kembali menggeser penomoran jalur tanpa mengubah jumlah total jalur. Kini, Stasiun Gawok memiliki sepur lurus di jalur 2 dan 3.
Seiring melayani KRL, sejak 2021 stasiun ini dilengkapi peron tinggi berkanopi, yakni di antara jalur 1 dan 2 serta di sisi jalur 4, sehingga lebih ramah bagi penumpang KRL Commuter Line.
Bangkit Bersama KRL Jogja–Solo
Titik balik Stasiun Gawok terjadi pada 10 Februari 2021.
Sejak tanggal tersebut, bertepatan dengan berlakunya Grafik Perjalanan Kereta Api (Gapeka) 2021, Stasiun Gawok resmi melayani penumpang KRL Commuter Line Yogyakarta.
Bersama Stasiun Delanggu, Ceper, dan Srowot, Gawok kembali “hidup” setelah puluhan tahun nyaris tanpa denyut penumpang.
Hingga Gapeka 2025 per 1 Februari 2025, satu-satunya layanan yang berhenti di stasiun ini adalah Commuter Line Yogyakarta dengan relasi Yogyakarta–Palur.
Aktivasi ulang stasiun ini terbukti membawa dampak besar bagi kawasan sekitar.
Kedekatannya dengan Pasar Gawok membuat arus manusia meningkat signifikan.
Pedagang kecil, warung makan, dan jasa penitipan sepeda motor mulai bermunculan.
Tanah di sekitar stasiun pun menjadi incaran untuk hunian, terutama bagi pekerja dan profesional yang beraktivitas di Kota Solo.
“Hukum besi” ekonomi pun bekerja: ketika mobilitas manusia meningkat, aktivitas ekonomi ikut tumbuh.
Dampak Ekonomi dan Antusiasme Penumpang
Data PT Kereta Api Indonesia menunjukkan perkembangan penumpang KRL Solo–Jogja sejak diluncurkan pada Februari 2021 sangat signifikan.
Pada hari pertama, jumlah penumpang tercatat 3.320 orang.
Rata-rata harian meningkat menjadi 4.809 orang pada Februari 2021, lalu melonjak menjadi 6.291 orang pada Maret dan 7.051 orang pada April 2021.
Puncaknya terjadi pada 11 April 2021 dengan 12.253 penumpang dalam satu hari.
Meski kemudian menurun saat memasuki bulan puasa, angka tersebut menunjukkan besarnya kebutuhan masyarakat akan transportasi massal berbasis rel yang murah, cepat, dan nyaman.
Perjalanan Solo–Yogyakarta dapat ditempuh sekitar satu jam dengan tarif terjangkau.
Dengan biaya Rp8.000, penumpang bahkan bisa pulang-pergi selama tidak keluar area stasiun tujuan.
Kedisiplinan penumpang juga terlihat meningkat, mulai dari budaya antre hingga kepatuhan terhadap aturan di stasiun.
Catatan Kelam
Di balik geliat positif tersebut, Stasiun Gawok juga menyimpan catatan kelam.
Pada 21 Februari 2010, seorang remaja berusia 19 tahun tewas tertabrak kereta api di dekat stasiun.
Insiden serupa kembali terjadi pada 12 Juni 2025, ketika seorang pria berusia sekitar 34 tahun meninggal dunia setelah tersambar KRL di lintas Purwosari–Gawok.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa peningkatan aktivitas kereta harus diiringi kesadaran keselamatan, baik bagi masyarakat maupun pengguna jalur rel.
Ke depan, Stasiun Gawok berpotensi semakin strategis apabila jalur KRL diperpanjang, baik ke arah Purworejo dari Yogyakarta maupun Madiun dari Solo
Kehadiran kereta bandara Yogyakarta International Airport (YIA) dan konektivitas antarmoda lainnya akan memperkuat peran kawasan ini sebagai simpul mobilitas baru.
(*)