Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Banjir Banjir Bandang Bencana Featured Gajah Sumatera Istimewa Lintas Peristiwa Spesial Sumatera

    Banjir Bandang di Aceh: Gajah Sumatra Mati, Desa Lenyap, Warga Butuh Bantuan - NU Online

    7 min read

     

    Banjir Bandang di Aceh: Gajah Sumatra Mati, Desa Lenyap, Warga Butuh Bantuan

    NU Online  ·  Selasa, 2 Desember 2025 | 18:15 WIB

    Seekor gajah mati terjepit tumpukan kayu akibat bencana banjir di Aceh. (Foto: Helmi)

    Helmi Abu Bakar

    Pidie Jaya, NU Online

    Air memang telah surut, tetapi jejak kehancuran masih tertinggal. Lumpur basah mengeras di halaman rumah, kayu-kayu gelondongan berserakan di mana-mana, dan bau anyir banjir masih memenuhi udara.


    Di antara puing dan lumpur itu, satu pemandangan menjadi simbol betapa dahsyatnya bencana ini. Seekor gajah sumatra (elephas maximus sumatranus) dewasa ditemukan mati terjepit tumpukan kayu dan lumpur di Gampong Meunasah Lhok, Kecamatan Meureudu.


    Gajah tersebut ditemukan warga pada Sabtu (29/11/2025). Tubuhnya setengah terkubur lumpur dengan posisi kepala mengarah ke bawah. Lokasinya berada jauh dari permukiman dan hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki sekitar dua jam, melewati semak, sisa banjir, dan jalur yang kini tidak lagi jelas sebagai jalan.

    Baca Juga

    Hari Ke-5 Pasca-Banjir di Aceh: 443 Ribu Jiwa Mengungsi, 173 Orang Meninggal


    “Di desa ini tidak ada gajah. Kami tidak pernah melihat gajah masuk ke wilayah pemukiman karena habitatnya di hutan. Baru kali ini kami menemukan gajah mati karena banjir,” ujar Muhammad Yunus, warga yang pertama kali melihat bangkai gajah itu.


    Warga hanya terpaku. Bukan karena takut, tetapi sulit mempercayai bahwa air yang datang dalam hitungan jam bisa menyeret makhluk sebesar itu jauh dari hutan menuju wilayah manusia.


    Hujan turun tanpa henti selama beberapa hari. Sungai Meureudu di Pidie Jaya, Aceh, meluap. Namun tidak ada yang menduga bahwa aliran itu akan berubah menjadi gelombang besar yang membawa lumpur, pepohonan, batu, bangunan, bahkan hewan liar.


    “Air itu datang bukan sebagai banjir biasa,” kata Tgk Razali, agamawan muda dan pimpinan dayah di Pidie Jaya yang meninjau lokasi terparah, pada Senin (1/12/2025).

    Baca Juga

    Korban Banjir Aceh Bertambah, PC ISNU Pidie Salurkan Bantuan untuk Warga Terdampak


    “Banjir datang seperti dinding air, deru kerasnya seperti gempa. Orang-orang hanya punya waktu beberapa detik untuk menyelamatkan diri," katanya.


    Di Gampong Meunasah Lhok, salah satu desa terdampak paling parah, rumah-rumah bukan hanya terendam, bahkan beberapa hilang tanpa bekas. Jalan berubah menjadi aliran sungai, masjid tertutup lumpur hingga jendela, dan kendaraan menumpuk seperti sampah logam di tepi sungai.


    Tgk Razali mengaku sempat terdiam saat melihat kondisi tersebut.


    “Ada rumah yang hanya tersisa fondasi. Ada orang yang kehilangan keluarga, kehilangan rumah, kehilangan semua ingatan hidup mereka,” ujarnya.

    Baca Juga

    Data Terbaru Korban Bencana di Aceh, Sumut, Sumbar: 659 Jiwa Meninggal, 475 Orang Masih Hilang


    Ia menambahkan bahwa pemandangan gajah mati di Meunasah Lhok menjadi titik paling emosional dari peninjauan itu.


    “Jika gajah saja tak mampu melawan arus itu, bagaimana manusia bisa?” katanya, melontarkan pertanyaan retoris.


    Kayu gelondongan

    Selain lumpur, banjir juga membawa ribuan kayu gelondongan berdiameter besar. Batang-batang kayu itu menumpuk di halaman rumah, kebun, jalan desa, hingga pinggir sungai.

    Baca Juga

    Walhi Sebut Banjir di Pulau Sumatra Akibat Eksploitasi Hutan Sejak Soeharto Jadi Presiden


    “Kami juga terkejut karena kayu-kayu sebesar ini hanyut sampai ke sini. Belum pernah terjadi sebelumnya,” lanjutnya.


    Banyak warga menduga kerusakan parah terjadi di hulu sungai. Pohon-pohon besar yang selama ini menjadi penahan air tampaknya ikut tumbang dan hanyut.


    Relawan mencatat banyak warga kehilangan tempat tinggal. Sebagian masih mencari anggota keluarga yang belum ditemukan. Anak-anak masih mengalami shock, hewan ternak mati, dan sawah tertimbun lumpur serta kayu.


    Di posko pengungsian, cerita-cerita kehilangan terus terdengar. Ada ibu yang kehilangan seluruh dokumen, pakaian, dan dapur tempat ia memasak. Seorang bapak bercerita, ia harus menggendong ibunya yang sakit melewati arus setinggi dada. Ada keluarga yang kehilangan rumah dan mata pencaharian dalam satu malam.


    Namun di tengah tragedi, solidaritas tetap tumbuh. Pemuda desa membentuk relawan spontan, para ibu berbagi makanan seadanya, dan azan masih terdengar meski masjid belum sepenuhnya bersih dari lumpur.


    Bantuan mendesak

    Hingga saat ini, warga masih bertahan di tenda darurat. Beberapa lokasi pengungsian mulai kehabisan makanan bayi. Selimut yang basah dan udara lembap membuat anak-anak rentan sakit. Air bersih terbatas, sementara BBM langka, warga harus antre di SPBU Meurah Dua, Ulee Glee, dan sekitarnya hingga ratusan meter.


    “Kita butuh aksi cepat, bukan hanya simpati,” tegas Tgk Razali.


    Menurutnya, bantuan paling mendesak meliputi sembako dan makanan siap saji, pakaian layak pakai, selimut dan kebutuhan bayi, obat-obatan dan tenaga medis, bantuan logistik, alat berat, serta gas dan BBM.


    Ia mengajak pemerintah, lembaga sosial, organisasi kemanusiaan, serta masyarakat luas—baik dari Aceh, Sumatra, daerah lain, hingga luar negeri—untuk turun tangan.

    Aceh pernah runtuh dan pernah bangkit

    Aceh telah melewati banyak peristiwa besar: tsunami, konflik, gempa, pandemi, dan kini banjir bandang terbesar dalam satu dekade terakhir.


    “Bencana ini adalah ujian. Tapi selama kita masih saling membantu, Aceh tidak akan pernah kalah," katanya.


    Tak jauh dari bangkai gajah yang terdiam, seorang anak berdiri menatap kebingungan. Ia mungkin belum memahami sepenuhnya tragedi ini.

    Komentar
    Additional JS